Syariah

Memandikan Jenazah Korban Virus Corona dan Wabah Berbahaya Lainnya (1)

Sab, 14 Maret 2020 | 10:00 WIB

Memandikan Jenazah Korban Virus Corona dan Wabah Berbahaya Lainnya (1)

Empat hal yang fardhu kifayah dilakukan terhadap jenazah Muslim: memandikan, mengafani, menshalati dan menguburkan.

Dalam dunia biologi, makhluk hidup umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu prokariotik dan eukariotik. Prokariotik dicirikan oleh keberadaan tidak memiliki membran inti sel yang jelas. Sementara eukariotik dicirikan dengan keberadaan membran inti. Makhluk hidup prokariotik umumnya memiliki struktur tubuh yang unik dibanding makhluk hidup eukariotik, sebab bisa hidup pada lingkungan suhu yang sangat ekstrem, seperti sangat dingin, atau sangat panas, atau bahkan sangat asam (asin).

 

Nah, virus merupakan kelompok dari makhluk hidup dengan struktur prokariotik itu. Akan tetapi, strukturnya lebih sederhana lagi dibanding makhluk hidup prokariotik lainnya. Strukturnya tergolong sederhana karena virus dicirikan oleh keberadaan materi genetik yang hanya dibungkus selapis membran saja. Dan ini letak pembedanya dari makhluk hidup prokariotik lainnya yang masih memiliki organel yang berfungsi layaknya organ tubuh, seperti badan golgi, retikulum endoplasma, membran sel, dan lain-lain. Jadi, virus layaknya organisme minimalis, praktis, tapi berbahaya.

 

Sifat bahaya virus ditunjukkan oleh beberapa hal. Pertama, ia merupakan makhluk hidup yang bisa berada dalam kondisi antara benda mati dan benda hidup. Ketika menempel pada benda mati, maka ia berperan layaknya benda mati dan tidak menunjukkan aktivitas kehidupan. Akan tetapi, ketika ia menempel pada makhluk hidup yang dijadikan inang (host), maka dengan cepat ia bisa melakukan replikasi (penggandaan diri).

 

Hingga detik ini, kita masih disuguhi oleh berbagai penyakit yang diakibatkan oleh virus. Datang dan pergi dengan sendirinya. Beberapa di antaranya belum ditemukan obat untuk menangkal serangannya. Seperti influenza, yang datang setiap waktu ketika kondisi daya tahan (imunitas) tubuh mengalami penurunan. Penangkalnya hanya dengan upaya meningkatkan daya tahan tubuh itu. Virus HIV/AIDS, hingga detik ini belum ditemukan penangkalnya dan yang diserang selalu berupa daya tahan tubuh. Dan lain sebagainya masih banyak lagi. Belum lagi virus yang menyerang tumbuhan atau hewan. Dua-duanya hingga detik ini ditanggulangi hanya dengan eradikasi (pembakaran semata) dengan memusnahkan objek tanaman yang terkena virus.

 

Kedua, berbicara mengenai virus yang menyerang pada manusia, baik yang penyebarannya lewat percikan ludah (droplet infection), atau lewat persentuhan, kita sering dihadapkan pada bahaya kontaminasi dan penularan. Karena struktur sederhananya virus, maka virus juga bisa disebarkan lewat udara. Jadi, berada satu ruangan dengan pihak yang terkena virus, juga bisa menjadikan kita sebagai suspect virus. Bukti sederhananya adalah, berada satu ruangan dengan orang yang terkena influenza, kita menjadi suspect influenza. Tergantung imunitas tubuh kita. Untuk itu, mempertahankan imunitas tubuh ini merupakan hal yang terpenting untuk berhadapan dengan wabah virus dalam rangka pencegahan (preventif).

 

Ketiga, persoalannya adalah “virus itu berbahaya menurut tingkatannya.” Dan hal ini hanya bisa ditunjukkan lewat informasi kedokteran. Sebagaimana yang sedang beredar kali ini, virus Corona atau Covid-19. Berbahayanya sudah pasti diakibatkan karena tubuh kita belum memiliki kesiapan memproduksi antibodi sebagaimana layaknya antibodi terhadap virus lainnya. Penyebabnya, Covid-19 merupakan galur baru dari virus Corona yang pernah menggemparkan sebelumnya, yaitu SARS. Karena ketidaksiapan ini, maka sekuat-kuatnya daya tahan tubuh, ia tetap suspek terhadap penularan virus. Itulah sebabnya perlu ada Standart Operating Procedure (SOP) penanggulangan dan penanganan virus. Termasuk kontak dengan korban meninggal.

 

لاضرر ولاضرار

 

“Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain.”

 

Inilah yang kemudian menjadi persoalan fiqih mengenai tajhiz mayyit (penanganan jenazah) korban virus Corona. Menilik dari teks rujukan kitab-kitab fiqih otoritatif, syariat menjelaskan bahwa empat hal yang tidak boleh ditinggalkan dan merupakan fardhu kifayah (kewajiban kolektif) bagi seorang Muslim terhadap mayit (jenazah) Muslim lainnya, yaitu: memandikan, mengafani, menshalati dan menguburkan. Mazhab Hanafi menyebut, memandikan saja yang wajib secara kifayah. Sementara lainnya merupakan wajib ‘ain (kewajiban individual).

 

اعلم بأن غسل الميت واجب، وهو حق المسلم على المسلم، قال عليه الصلاة والسلام : للمسلم على المسلم ستة حقوق، وفي جملته "أن يغسله بعد موته"، ولكن إذا قام به بعض المسلمين سقط عن الباقين لحصول المقصود

 

“Ketahuilah bahwa memandikan mayit, hukumnya adalah wajib dan ini merupakan hak Muslim atas Muslim lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesama Muslim terdapat 6 hak. Termasuk di dalam 6 hak itu adalah memandikannya setelah kematiannya.’ Akan tetapi, bila memandikan ini sudah dilakukan oleh sebagian Muslim, maka gugur kewajiban Muslim lainnya, karena sudah tercapainya maksud” (Al-Mabsuth, Juz 2, halaman 58).

 

Menurut kalangan Malikiyah terdapat khilaf mengenai hukum memandikan mayit. Pendapat yang masyhur adalah wajib.

 

وفي الكافي لابن عبد البر: إغماض الميت سنة، وغسله واجب مثل مواراته والصلاة عليه والقول الآخر عند المالكية أن غسل الميت سنة مؤكدة، حكاه ابن أبي زيد، وابن يونس، وابن الجلاّب، وشَهَرَه ابن بَزيزَة

 

“Di dalam al-Kafi karya Abdul Barr, disebutkan bahwa memejamkan mata mayit adalah sunnah. Sementara memandikannya adalah wajib. Demikian halnya dengan kewajiban mengafani dan menshalatinya. Pendapat lain dari mazhab Maliki, adalah memandikan mayyit adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), sebagaimana disampaikan oleh Ibn Abi Zaid, Ibnu Yunus, dan Ibnu al-Jallab yang masyhur dengan Ibnu Bazizah.” (Hasyiyatu al-Dasuqy, Juz 4, halaman 94).

 

Adapun dari kalangan mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah sendiri menjelaskan:

 

حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لايسع عامتهم، وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية أجزأ إن شاء الله تعالى

 

“Merupakan hak wajib seseorang atas manusia lainnya adalah memandikan mayit, menshalatinya dan menguburkannya, meski kewajiban ini tidak memuat semua orang. Jika sudah ada pihak yang melakukannya, maka hal itu sudah cukup bagi kewajiban sebagian lainnya, insyaallah ta’ala.” (Al-Umm, Juz 1, halaman 312).

 

Imam Nawawi rahimahullah, salah satu ulama otoritatif dari kalangan Mazhab Syafi’i, menjelaskan:

 

وغسل الميت فرض كفاية بإجماع المسلمين، ومعنى فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين، وإن تركوه كلهم أثموا كلهم، واعلم أن غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف

 

“Memandikan mayit adalah fardhu kifayah secara ijma’. Makna fardhu kifayah ini adalah bahwa bila sudah ada seseorang yang melakukan dengan niat kifayah, maka gugur tanggungan bagi yang lain. Dan jika sama sekali tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sesungguhnya memandikan mayit, mengafaninya, menshalatinya, adalah fardhu kifayah, tanpa khilaf.” (Al-Majmu Syarah al-Muhadzab, Juz 5, halaman 128).

 

Ulama dari kalangan mazhab Hanbali, yang diwakili oleh Al-Mardawi, menyebutkan mengenai hukum memandikan, mengafani, menshalati, dan menguburkan mayit:

 

غُسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فرض كفاية ، بلا نزاع ، فلو دُفن قبل الغسل من أمكن غسله لزم نبشه على الصحيح من المذهب

 

“Memandikan mayyit, mengafaninya, menshalatinya, menguburkannya, hukumnya adalah fardhu kifayah, tanpa bisa dipungkiri. Jika ada mayit yang dikuburkan sebelum dimandikan padahal ada kesempatan untuk memandikannya, maka wajib untuk menggalinya kembali menurut pendapat shahih dari mazhab Hanbali.” (al-Inshaf, juz 2, halaman 470).

 

Walhasil, ulama dari 4 mazhab, dalam semua qaul masyhur-nya menyebutkan bahwa hukum memandikan mayit, adalah fardhu kifayah. Namun, ada dari kalangan mazhab Malikiyah yang menyebut hukumnya sunnah muakkadah (tidak sampai wajib tapi sangat dianjurkan), sebagaimana disampaikan oleh Ibn Abi zaid, Ibnu Yunus, dan Ibnu al-Jallab. Ketiga ulama ini juga diakui sebagai bagian dari ulama otoritatif mazhab Maliki. Sementara itu, hukum mengafani, menshalati, dan menguburkan, semua ulama sepakat hukumnya wajib. Lantas bagaimana bila berhadapan dengan mayit yang potensial menularkan virus atau wabah berbahaya lainnya?

 

(Bersambung)

 

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Aswaja NU Center – PWNU Jawa Timur; sarjana biologi UIN Malang.