Khutbah

Khutbah Jumat: Bersyukur Datangnya Ramadhan Suci dengan Penguatan Tradisi 

Rab, 6 Maret 2024 | 16:00 WIB

Khutbah Jumat: Bersyukur Datangnya Ramadhan Suci dengan Penguatan Tradisi 

Ramadhan dan tradisi. (Foto: NU Online/Freepik)

Indonesia merupakan negara multikultural dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Di antara kultur yang sudah berjalan secara turun temurun, yang disebut dengan tradisi adalah ketika menjelang bulan Ramadhan. Tepatnya, pada 10 terakhir bulan Sya’ban kita melihat tradisi yang beragam di banyak daerah dalam menyambut bulan yang penuh berkah. 


Naskah Khutbah Jumat ini berjudul: “Khutbah Jumat: Bersyukur Datangnya Ramadhan Suci dengan Penguatan Tradisi”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)



Khutbah I


الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَحْدَه لَاشَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ اْلمُبِيْن. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَـمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْن. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ 


Hadirin jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah,

Dalam hitungan hari bulan suci Ramadhan akan hadir di tengah-tengah kita. Bulan yang penuh berkah ini disambut dengan penuh antusias dan kegembiraan oleh seluruh umat Islam di dunia. Hal ini disebabkan keistimewaan yang ada di dalamnya sehingga umat berbondong-bondong menyambutnya. Janji-janji Allah seperti ganjaran pahala, ampunan, dan rahmat-Nya melimpah di bulan ini.


Penyambutan ini juga bisa kita lihat di negeri kita, Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir kita melihat di banyak media seputar adat dan tradisi sebagian masyarakat dalam menyambut bulan yang penuh berkah ini. Di Jawa, misalnya, ada tradisi melakukan ziarah kubur ke keluarga atau sanak saudara yang sudah meninggal. 


Tradisi ini dilakukan demi mempererat antar generasi sehingga generasi yang masih hidup tidak lupa dan senantiasa mendoakan keluarganya yang sudah wafat. Selain itu, sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa ziarah kubur bertujuan untuk mengingatkan kematian kepada yang masih hidup. Betapa banyak di sekitar kita yang tahun lalu masih bisa puasa dan tarawih bareng namun pada Ramadhan kali ini sudah tidak bersama lagi.


Tradisi ziarah kubur menjelang Ramadhan ini sebenarnya tidak hanya dilakukan masyarakat Jawa, tapi di kalangan lain seperti Sunda dan Sumatera juga ada. Keberagaman inilah yang membuat istilah ziarah kubur memiliki nama yang variatif. Ada istilah nyekar, arwahan, ruwahan, dan munggahan. Semua ini menunjukkan kemufakatan tradisi ini yang layak dilestarikan.


Sesuai namanya, nyekar bermakna menaburkan bunga di atas kuburan, arwahan dan ruwahan berasal dari kata arwah dan ruh yang bermaksud mendoakan arwah-arwah atau ruh-ruh yang sudah meninggal, sedangkan munggahan dalam bahasa Sunda bermakna naik dengan maksud agar menaikkan kualitas ibadah pada masa bulan suci Ramadhan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.


Jamaah shalat Jumat hafidzakumullah,

Nama-nama tradisi yang disebut tadi pada kenyataannya tidak sesaklek itu. Artinya, meskipun namanya sedikit banyak mengarah kepada ziarah kubur, namun pada praktiknya tidak hanya itu saja. Ada yang dilanjutkan dengan silaturrahmi ke tetangga sekitar, ada juga yang sembari berkumpul bersama keluarga besar dengan hidangan yang bermacam-macam.


Selain itu, bahkan ada juga yang dilengkapi dengan gotong-royong membersihkan jalanan-jalanan desa. Biasanya tradisi yang lengkap semacam ini disebut dengan nyadran. Kata nyadran berasal dari bahasa Sansekerta berupa ‘sraddha’ yang bermakna keyakinan. Dalam artian, orang-orang yang melakukan nyadran ini berkeyakinan akan adanya keberkahan dari aktivitas yang dilakukan.


Aktivitas seperti ziarah kubur, silaturrahmi, membersihkan desa, dan makan-makan bersama diyakini mempunyai nilai berkah dan pahala. Terlebih tradisi ini dilakukan dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah. Jadi, tradisi ini tidak dilakukan hanya berdasarkan keyakinan semata, melainkan ada nilai filosofi dan tujuan yang diharapkan di dalamnya.


Termasuk juga tradisi lain seperti padusan. Nama ini berasal dari bahasa Jawa ‘adus’ yang bermakna mandi. Maksudnya adalah dalam rangka menyambut bulan suci maka mandi di sumber mata air untuk membersihkan diri sebagai simbol bahwa tubuh dalam kondisi suci dan bersih dari dosa sehingga siap melakukan ibadah-ibadah selama bulan Ramadhan.


Para hadirin yang dirahmati Allah,

Jika kita merenung atas berbagai fenomena di atas, mungkin kita akan bertanya-tanya: mengapa masyarakat sangat antusias melakukan tradisi tersebut? Lebih spesifik lagi: mengapa mereka gembira dengan kedatangan bulan Ramadhan? Bukankah pada bulan itu dilarang makan dan minum yang justru memberatkan kita?


Inilah keunikan masyarakat kita. Atas keberkahan dakwah yang tidak bosan-bosannya disampaikan oleh para wali dan ulama kita, membuat umat Islam di Indonesia sumringah dalam menghadapi perintah untuk tidak makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan. Tentu saja pada dasarnya, perintah ini dirasa berat sebab berlawanan dengan kebutuhan manusia, namun atas keberkahan para ulama tadi menjadikan rasa berat tersebut menjadi sirna.


Bahkan, sebagaimana terlihat dalam pekan ini, antusias masyarakat kita begitu membara dalam menyambut bulan Ramadhan. Dengan kata lain, mereka bersyukur dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan dan siap mengerjakan ketentuan yang sudah ditetapkan syariat selama di bulan ini. Bersyukur semacam ini pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadits riwayat Imam Tirmidzi yang menceritakan ketika Siti Aisyah mengomentari shalat malam yang dilakukan Nabi dengan cukup lama sehingga membuat kaki beliau bengkak.


Bukankah dosa-dosa Anda, baik yang lama maupun yang akan datang, sudah diampuni?”, tanya siti Aisyah. Nabi pun merespon komentar istri tercintanya itu dengan sabdanya:


أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا


Artinya: “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba bersyukur?


Syekh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi mengatakan justru itu sebagai bentuk syukur Nabi Muhammad atas segala ampunan dan berbagai macam anugerah yang diberikan kepada beliau. Cara syukur bagi Nabi Muhammad tidak cukup hanya sekedar mengucapkan hamdalah, melainkan dengan berlama-lama melaksanakan ibadah, khususnya shalat selaku ibadah paling romantis dengan Dzat yang disembah.


Cara bersyukur Nabi ini sebenarnya sudah ada pedomannya dalam al-Qur'an. Pada ayat 7 surat Ibrahim disebutkan: 


وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ


Artinya: “Dan (ingatlah) ketika tuhan kalian memaklumatkan: ‘niscaya jika kalian bersyukur maka niscaya sungguh akan saya tambah (anugerah) kepada kalian, dan niscaya jika kalian mengingkari (atas anugerah-Ku) sesungguhnya siksaan-Ku sangat pedih.’”


Nikmat dan anugerah yang sangat besar yang diterima Nabi Muhammad membuat beliau merasa kurang adil bila cara bersyukurnya hanya dengan mengucapkan hamdalah saja. Meskipun kalimat itu dibaca berulang kali tetap saja nilainya akan berbeda jika dibandingkan dengan cara bersyukur Nabi tadi, yaitu memperlama shalat Tahajjud hingga kakinya bengkak.


Hadirin shalat Jumat hafidzakumullah,

Sudah sepatutnya kita meningkatkan cara bersyukur kita atas anugerah iman, islam, kesehatan, kelapangan, kesejahteraan dan berbagai macam lainnya yang membuat kita dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk, termasuk ibadah-ibadah khusus pada bulan Ramadhan yang akan kita lakukan nanti. 


Cara bersyukur di sini sebagaimana yang sudah terlihat dalam ragam tradisi-tradisi masyarakat kita. Kegembiraan dan kesenangan mereka saat hendak bertemu dengan bulan Ramadhan diekspresikan dengan tradisi-tradisi tadi sebagai bentuk syukur atas anugerah tersebut. Semoga kegembiraan yang tergambar pada banyak tradisi itu menjadi bukti kerelaan dan keikhlasan kita dalam melaksanakan ibadah pada bulan Ramadhan nanti.


بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ


Khutbah II


اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ ۰ فَيَاعِبَادَ ﷲ اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَاتَّقُوْا اللهَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ.  إِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيْمًا:  ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻭَﻣَﻼَﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ، ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮْﺍ ﺻَﻠُّﻮْﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮْﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴْﻤًﺎ . ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰسَيِّدِنَا ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁلهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْن

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْنَا وَأَصْلِحْ أَحْوَالَنَا، وَأَصْلِحْ مَنْ فِي صَلَاحِهِمْ صَلَاحُنَا وَصَلَاحُ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأْهْلِكْ مَنْ فِي هَلَاكِهِمْ صَلاحُنَا وَصَلَاحُ الْمُسْلِمِيْنَ، اللهُمَّ وَحِّدْ صُفُوْفَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَارْزُقْنَا وَإِيَّاهُمْ زِيَادَةَ التَّقْوَى وَالْإِيْمَانِ،  اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ  اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences