Nikah/Keluarga

Ila’ dalam Bingkai Hukum Positif di Indonesia

NU Online  ·  Kamis, 10 Juli 2025 | 15:00 WIB

Ila’ dalam Bingkai Hukum Positif di Indonesia

Ilustrasi Cerai. (Foto: NU Online/Freepik)

Zaman dulu, ila’ atau sumpah pisah ranjang merupakan cara masyarakat Jahiliah untuk membuat istri mereka menderita. Kalau seorang laki-laki tidak menghendaki lagi istrinya, pada saat yang sama juga tidak ingin istrinya itu dinikahi orang lain, ia bersumpah untuk tidak mendekatinya selamanya. Ia membiarkan istrinya dalam status menggantung, tidak janda dan tidak pula bersuami.

 

Islam kemudian datang dan menentukan tempo yang menunjukkan keinginan lelaki terhadap istrinya itu adalah empat bulan. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 226-227:

 

لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۝٢٢٦ وَاِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۝٢٢٧

 

Artinya: “Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

 

Sebagaimana dikutip dari kitab Fathul Qarib karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, definisi ila’ adalah sebagaimana berikut:

 

وهو لغةً مصدر آلى يوليّ إيلاءً إذا حلف، وشرعًا حلف زوجٍ يصح طلاقُه ليمتنع من وطء زوجته في قُبُلها مطلقا، أو فوق أربعةَ أشهر

 

Artinya: "Ila’ secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata ala-yu’li yang berarti ‘sumpah’. Sedangkan secara terminologi syariah, ila’ adalah sumpah seorang suami yang memiliki hak talak untuk tidak menggauli istrinya, baik dalam tempo tak terbatas maupun dalam tempo empat bulan." (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 246)

 

Menurut jumhur ulama, hukum ila’ adalah haram karena menyengsarakan istri dan membiarkan kewajiban suami. Pasalnya, dengan ila’ suami tidak menceraikan dan tidak mencampuri istrinya. Dari sudut pandang pihak istri, ila’ akan terasa sangat menyakitkan dan merupakan tindakan semena-mena.

 

Dengan ila`, sepertinya suami tidak membutuhkan eksistensi sang istri. Ila’ yang semangatnya menelantarkan istri mungkin saja terjadi karena pria yang pada waktu itu masih mempunyai “reserve” tidak punya beban psikis dan kultural untuk mengekspresikan bahwa dirinya tidak berminat terhadap istrinya.

 

Jika seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya secara mutlak atau dalam tempo lebih dari empat bulan, maka berlaku beberapa ketentuan sebagai berikut:

 
  1. Dalam tempo waktu empat bulan, si suami diberi kesempatan oleh hakim; apakah akan kembali kepada istrinya dan membayar kafarat, atau menalak istrinya.
  2. Jika setelah empat bulan perkara itu tidak kunjung selesai lalu diadukan oleh sang istri ke pengadilan, maka hakim boleh memutuskan dua perkara. [1] suami dituntut menarik sumpah dan kembali kepada istrinya, disertai membayar kafarat sumpah. [2] hakim menuntutnya untuk menceraikan istrinya. Hanya saja, jika si suami masih bersikukuh terhadap sumpahnya, maka hakim bisa menjatuhkan putusan talak satu dengan tujuan untuk menghilangkan kemudaratan pada istri. (Mushthafa al-Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Daul Qalam: 1413 H], jilid. IV, hlm. 145).
 

Ila’ dalam Hukum Positif

Dalam hukum keluarga Islam di Indonesia, ila’ merupakan salah satu bentuk sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya, hal ini bisa berdampak pada perceraian jika berlangsung dalam waktu tertentu. Namun, dalam praktik peradilan agama di Indonesia, ila’ tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang positif.

 

Ila’ tidak secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun demikian, esensinya diakomodasi dalam bentuk:

 
  1. Penelantaran batin (tidak memenuhi kewajiban suami terhadap istri secara seksual)
  2. Ta’liq talak (janji suami setelah akad nikah yang menyatakan bahwa jika ia meninggalkan istri atau tidak memberi nafkah lahir batin dalam waktu tertentu, istri bisa minta cerai).
 

Dengan demikian, jika suami bersumpah atau bersikap tidak menggauli istrinya selama kurang lebih 4 bulan tanpa uzur yang dibenarkan, maka istri dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, dengan alasan penelantaran batin dan pelanggaran ta’liq talak. Dalam hal ini, ila’ dianggap sebagai bentuk penelantaran batin, terutama bila pihak istri tidak rida.

 

Adapun mengenai proses dalam pengadilan, hakim akan memeriksa kebenaran dari tindakan pihak suami. Jika terbukti, hakim dapat mengabulkan gugatan cerai istri berdasarkan ta’liq talak atau penelantaran batin tersebut.

 

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ila’ tidak disebutkan secara eksplisit dalam hukum positif Indonesia, Namun demikian, dalam praktik peradilan agama dianggap sebagai penelantaran batin, dan dapat menjadi alasan sah gugatan cerai oleh pihak istri. Oleh karena itu, hakim akan memediasi dan memberi waktu untuk rujuk, jika tidak maka gugatan cerai bisa dikabulkan. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.