Nikah/Keluarga

Istri Masih Iddah, Bolehkah Suami Langsung Ajak Hubungan Intim?

Sel, 2 Mei 2023 | 17:00 WIB

Istri Masih Iddah, Bolehkah Suami Langsung Ajak Hubungan Intim?

Ilustrasi: suami-istri cerai (NU Online).

Masa iddah merupakan masa tunggu istri setelah diceraikan suami. Selama masa ini, suami boleh merujuk istrinya dan melanjutkan perkawinan. Atas dasar itu, tak heran jika ada suami yang menceraikan istrinya merasa bahwa istrinya itu masih setengah miliknya.   

 

Hal ini salah satunya didasarkan pada ayat Al-Quran juga menyatakan bahwa suami lebih berhak merujuk istrinya sekalipun istrinya tidak rela.
 

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا 
 

Artinya, “Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan,” (QS. Al-Baqarah: 228).   

 

Pertanyaannya, bagaimana jika ada suami yang mengajak hubungan intim kepada istri yang masih dalam masa iddahnya? Apakah hal itu dibenarkan secara syariat atau tidak? Apakah jimaknya suami kepada istri yang masih dalam masa iddah diaggap rujuk? 

 

Untuk menjawabnya kita bisa melihat mekanisme dan ketentuan rujuk yang ditetapkan oleh para ulama, khususnya para ulama Syafi’i. Apakah jimak termasuk cara rujuk atau bukan? Dengan begitu, kita bisa menetapkan kebolehan dan status hubungan badan antara suami dengan istri yang dicerainya.  

 

Menurut pandangan ulama Syafi’i, rujuk harus dengan ucapan, tidak bisa dengan perbuatan seperti berjimak, mencium, dan bercumbu. Alasannya, rujuk adalah membolehkan sebagian perkara yang perlu disaksikan. Sehingga seperti akad nikah, harus dengan ucapan. Lagi pula, talak itu menghapus ikatan pernikahan. 

 

إذا طلَّقَ الحُرُّ طَلْقةً أو طَلْقتينِ، أو طلَّقَ العبْدُ طلْقة بعد الدُّخولِ بلا عِوَضٍ، فلهُ قبلَ أن تنقضي العِدَّةُ أنْ يُراجِعَ -سواءٌ رَضِيَتْ أمْ لا- ولهُ أنْ يُطلِّقها، وإنْ ماتَ أحدُهُما ورِثَهُ الآخرُ، لكنْ لا يحِلُّ لهُ وَطْؤُها ولا النَّظرُ إليها ولا الاستمتاعُ بها قبلَ المُراجعةِ، وإنْ كانَ الطَّلاقُ قبلَ الدُّخول، أو بعدَهُ بعِوضٍ، فلا رجعةَ لهُ، ولا تصِحُّ الرَجعةُ إلا باللفظِ فقط، فيقولُ: راجَعْتُها، أو ردَدْتُها، أو أمْسَكْتُها

 

Artinya, “Ketika suami merdeka menalak dengan talak satu atau dua; atau seorang budak menalak dengan talak satu, setelah adanya jimak dan talaknya tanpa tebusan, maka suami boleh merujuk istrinya sebelum masa habis iddahnya, baik istrinya rela ataupun tidak. Selain itu, suaminua boleh kembali menjatuhkan talak kepadanya. Jika salah seorangnya meninggal, maka yang lain bisa mewarisi. Namun, sang suami tidak boleh menggauli istrinya, tidak boleh memandangnya, tidak boleh bersenang-senang bersamanya sebelum merujuknya. Kemudian, jika talak terjadi sebelum jimak, atau seteleah jimak tetapi dengan tebusan, maka tidak ada hak rujuk baginya (suami). Selanjutnya, tidak sah rujuk kecuali dengan ucapan saja. Seperti si suami mengatakan, “Aku merujuknya,” atau, “Aku mengembalikannya,” atau, “Aku menahannya lagi.” (Ibnun Naqib, Umdatus Salik wa Iddatun Nasik, jilid I, halaman 219).  

 

Lantas apakah para ulama sepakat tentang ketentuan rujuk dengan ucapan ini?
 

Jika dikaji lebih jauh, ternyata ulama dari mazhab-mazhab lain memiliki pandangan yang berbeda. Ini artinya, masalah rujuk dengan berjimak ini merupakan masalah khilafiyah atau diperdebatkan. Yang melatari perdebatan mereka adalah ayat di atas. Ini pula yang melahirkan ketentuan dan rukun rujuk yang berbeda-beda.      

 

Secara umum, ketentuan dan rukun rujuk sudah dirangkum oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya.     

 

وركن الرجعة عند الحنفية: الصيغة أو الفعل فقط، وعند الجمهور: أركانها ثلاثة: مرتجع، وزوجة، وصيغة فقط عند الشافعية وكذا وطء عند الحنابلة، أو فعل أو نية عند المالكية
 

Artinya, “Rukun rujuk menurut mazhab Hanafi adalah redaksi rujuk atau perbuatan saja. Sementara menurut jumhur ulama ada tiga: suami yang merujuk, istri yang dirujuk, dan redaksi rujuk saja. Ini pula pandangan mazhab Syafi’i. Namun ditambah boleh dengan jimak menurut ulama Hanbali. Atau dengan suatu perbuatan atau suatu niat menurut ulama Maliki. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6987). 

 

Berbeda dengan pandangan mazhab Syafi’i yang tidak memperbolehkan rujuk dengan jimak, jumhur ulama (Hanafi, Maliki, dan satu riwayat mazhab Hanbali) justru berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, rujuk bisa dilakukan dengan jimak, mencium, menyentuh dengan syahwat, dan melihat kemaluan. Sebab, rujuk artinya mengembalikan istri ke dalam ikatan perkawinan, sehingga mengembalikan sesuatu tidak mesti dengan ucapan. (Tim Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Al-Mausu’atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Darus Salasil], 1427 H, jilid XXII, halaman 149). 

 

Simpulan

Dengan demikian, berdasarkan kutipan dan ragam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan ulama Syafi’i tidak diperbolehkan merujuk istri yang dicerai dengan perbuatan, seperti jimak, mencium, mencumbu, dan sebagainya. Karenanya seorang suamitidak boleh mengajak istrinya berhubungan badan sampai ia meyatakan rujuk dengan ucapan. Sementara jumhur membolehkannya. 

 

Ini artinya, selaku mayoritas pengikut mazhab Syafi’i, kita dituntut untuk mengedepankan pandangan ulama Syafi’i. Namun, tidak pula bisa disalahkan jika ada suami yang mengajak hubungan intim istri yang dicerainya atau mungkin telah melakukannya selama dalam masa iddah mengingat pendapat jumhur ulama membolehkannya. Wallahu a’lam.

 

Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.