Nikah/Keluarga

Ketentuan Gugat Cerai Seorang Istri Kepada Suaminya

Sel, 7 Maret 2023 | 11:00 WIB

Ketentuan Gugat Cerai Seorang Istri Kepada Suaminya

Gugat cerai (Ilustrasi: NU Online)

Pernikahan adalah ikatan suci di antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. Agama mengajak setiap suami dan istri untuk berkomitmen menjaga langgengnya pernikahan. Beratnya badai permasalahan hidup tidak boleh sampai menghancurkan bahtera rumah tangga. Kehidupan memang selalu menyimpan kebahagiaan dan kesedihan yang terus berganti tetapi bukan alasan untuk memutus tali pernikahan.


Ajakan agama Islam untuk melanggengkan pernikahan tercermin dalam sabda Rasulullah:


قال رسول الله أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق


Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Perkara halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah (jatuhnya) talak,’” (HR Abu Dawud).


Pada dasarnya, keputusan untuk menjatuhkan talak adalah milik suami. Sedangkan, hikmah dibaliknya menurut Dr. Wahbah Zuhaili adalah


1. Perempuan pada umumnya lebih sensitif perasaannya daripada laki-laki. Seandainya keputusan menjatuhkan talak dimiliki oleh perempuan, niscaya ia akan mudah menjatuhkan talak dengan alasan-alasan yang remeh yang tidak sepatutnya menjadi alasan perceraian.


2. Jatuhnya talak berhubungan erat dengan urusan harta yang dibebankan kepada suami. Diantaranya adalah kewajiban melunasi mahar (ketika suami memberikan mahar dalam bentuk cicilan), nafkah istri pada masa iddah, serta pemberian hadiah mut’ah (pemberian hadiah sebab jatuhnya talak). Tanggungan harta ini tentu menjadikan suami sangat berhati-hati dalam menjatuhkan talak.


Adapun perempuan pada umumnya tidak mengalami kerugian secara materi dengan jatuhnya talak. Seandainya keputusan menjatuhkan talak dimiliki oleh perempuan, niscaya ia akan mudah menjatuhkan talak ketika ia menilai tidak ada kerugian secara materi dengan jatuhnya talak. (Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu [Damaskus: Darul Fikr, 2002], juz IX, halaman 6877).


Sedangkan istri memiliki empat cara untuk mewujudkan perceraian dengan suaminya, yaitu:


1. Istri meminta cerai kepada suaminya. Ini adalah cara yang paling mudah akan tetapi membutuhkan keputusan suami untuk menjatuhkan talak. Seandainya suami tidak mau untuk menjatuhkan talak, maka perceraian tidak dapat terjadi. Perlu diingat bahwa agama islam melarang perempuan untuk meminta diceraikan tanpa alasan mendesak yang dilegalkan oleh syariat. 


Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:


قال رسول الله أيما امرأة سألت زواجها طلاقا في غير ما بأس فحرام عليها رئحة الجنة


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab yang mendesak (al-ba’s) maka haram baginya (perempuan tersebut) bau harumnya surga,’” (HR Abu Dawud).


Syekh Abdurrauf al-Munawi berkomentar “Maksud dari lafal al-Ba’s (البأس) dalam hadits ini adalah keadaan mendesak yang memaksanya menuju perceraian seperti kekhawatirannya (sang istri) tidak mampu memenuhi perintah Allah yang dibebankan kepadanya (sang istri) selama pernikahan,” (Al-Munawi Abdurrauf, Faidhul Qadir, [Mesir, Maktabah Tijariyah: 2002 M], juz III, halaman 137).


2. Istri mengajukan khuluk kepada suami. Khuluk menurut syariat adalah jatuhnya talak dengan adanya timbal balik (‘iwadh) materi yang disepakati.  Pada umumnya, khuluk terjadi karena keinginan istri untuk bercerai dari suaminya. Khuluk menurut qaul jadid mazhab Syafi’i adalah talak ba’in sughra di mana suami tidak boleh ruju’ dengan istri selama masa ‘iddah dan suami membutuhkan akad nikah yang baru agar dapat kembali kepada istri yang telah khuluk. (Syihabuddin Ar-Ramli, Fathur Rahman [Beirut: Darul Minhaj, 2009] halaman 780).


Penyebutan (sighat) khuluk juga harus menyebutkan bentuk timbal balik (‘iwadh) yang diketahui nominalnya serta memiliki nilai ekonomi. Seandainya bentuk timbal balik (‘iwadh) tidak diketahui bentuknya (majhul) ataupun berupa barang yang najis seperti arak dan sejenisnya ataupun berupa barang yang tidak dilegalkan dalam syariat Islam maka ditetapkan ukuran mahar mitsl (mahar yang berpatokan kepada mahar kerabat perempuan sang istri) sebagai bentuk timbal balik (‘iwadh).


Selain itu, khuluk yang diajukan oleh istri termasuk akad ju’alah (sayembara) karena penyebutan (sighat) khuluk dari perempuan pada umumnya adalah “seandainya kamu mau menjatuhkan talak kepadaku, niscaya kamu akan mendapatkan harta sekian.” Oleh karena itu, khuluk yang diajukan istri sangat membutuhkan persetujuan dari suami, seandainya suami tidak mau menceraikan maka khuluk tidak dapat berakibat talak. (Al-Juwaini Abdul Malik, Nihayatul Mathlab [Beirut, Darul Minhaj: 2007 M], juz XIII, halaman 328).


3. Istri mengajukan fasakh nikah kepada pengadilan agama. Pada umumnya fasakh nikah adalah istri mengajukan kepada hakim untuk menjatuhkan fasakh nikah karena suami tidak mampu menafkahi dengan paling sedikitnya nafkah dari harta yang halal. Misal, suami jatuh miskin hingga tidak mampu menafkahi sedikitpun ataupun suami mampu menafkahi tapi dari pekerjaan yang haram maka istri boleh meminta fasakh nikah kepada hakim.


Menurut Ibnu Shalah, istri juga berhak mengajukan fasakh nikah seandainya suami meninggalkannya dan tidak diketahui keberadaannya serta tidak memberikan nafkah sedikitpun (Ad-Dimyathi Abu Bakar Syatha, ‘Ianah Ath-Thalibin [Beirut: Darul Fikr, 1997] juz IV, halaman 97).


Sang istri juga diperbolehkan mengajukan fasakh nikah karena suami memiliki cacat fisik (‘aib) seperti mengalami impoten dan telah menunggu selama satu tahun. Selain itu, fasakh nikah juga dijatuhkan seandainya suami murtad ataupun tidak memenuhi syarat dan rukun dalam akad nikah. (Al-Imrani Abu Husain Yahya, Al-Bayan fi Mazhabil Imamis Syafi’i  [KSA: Darul Minhaj, 2000] juz IX, halaman 297).


Adapun di Indonesia permintaan fasakh nikah oleh istri karena ditinggal pergi oleh suami tanpa kejelasan dan izin dari istri dapat diajukan ketika telah ditinggal pergi selama dua tahun. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi “Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena ada hal lain yang di luar kemampuannya.”


Adapun fasakh nikah karena cacat fisik juga telah tercantum dalam Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri”. Sedangkan, fasakh nikah karena suami murtad juga telah tercantum dalam Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.”


4. Istri melaporkan kepada hakim terkait pertikaian ataupun bahaya yang dialami oleh istri dari perbuatan suaminya. Menurut ulama mazhab Syafi’I, hakim harus menasihati suami agar merubah sikapnya kepada istri dan hakim juga berhak menghukum (takzir) suami seandainya ia tidak merubah sikapnya terhadap istri. Seandainya perselisihan diantara suami dan istri bertambah parah, maka hakim dapat mengangkat satu perwakilan dari pihak suami dan satu perwakilan dari pihak istri untuk memusyawarahkan permasalahan keduanya atas izin suami dan istri.


Konsepnya adalah suami mewakilkan kewenangan menjatuhkan talak dan menerima khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya, sedangkan istri mewakilkan kewenangan mengajukan khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya. Maka, kesepakatan perwakilan dari suami dan istri berhak memberikan keputusan talak, khulu', maupun tetap melanjutkan pernikahan suami dan istri tersebut. (Asy-Syirbini Muhammad bin Ahmad, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz Minhaj, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M], juz IV, halaman 429).


Hal ini sesuai dengan firman Allah:


وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلحا يفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا


Artinya,“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami dan istri), maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai tersebut) bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi petunjuk kepada keduanya (suami dan istri). Sungguh Allah Maha Mengetahui Maha Teliti,” (Qs An-Nisa’ ayat 35).


Adapun di Indonesia, penerapan Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi “Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” adalah sesuai dengan pendapat mazhab Maliki. Akan tetapi hal ini, setelah hakim memberikan nasihat dan bimbingan kepada suami agar tidak menyakiti istrinya. Apabila suami tetap menyakiti istrinya, maka hakim berhak menceraikan istri dari suaminya.


وقيل لا تطلق نفسها إلا بعد الرفع للحاكم فإن الحاكم يزجره ابتداء بما يقتضيه اجتهاده من توبيخ أو سجن أو غيره فإن عاد لمضارتها قضي عليه بالطلاق


Artinya, “Dan dikatakan bahwa perempuan tidak boleh menceraikan dirinya sendiri sebelum melaporkan kepada hakim karena hakim wajib memperingatkannya (suami) dengan keputusan yang sesuai dengan ijtihadnya seperti mencela (kejahatan), memenjarakannya (suami), dan sejenis. Apabila dia (suami) mengulangi perbuatan menyakitinya (istri) maka hakim berhak memutuskan cerai kepadanya (suami),” (Asy-Syinqiti Muhammad bin Ahmad, Lawami’ud Durar fi Hatki Astaril Mukhtashar, [Beirut: Dar Ridhwan, 2015 M], juz VI, halaman 644).


Simpulan di sini adalah syariat islam sangat menjaga agar sebisa mungkin tidak terjadi perceraian diantara suami dan istri. Akan tetapi, istri juga memiliki hak untuk melindungi dirinya dari kekerasan ataupun sifat buruk dari suaminya dengan mengajukan perceraian. Hal ini sesuai dengan konsep talak  yang berupa “Mempertahankan pernikahan dengan cara yang baik ataupun melepaskan ikatan pernikahan dengan cara yang baik” sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an.


الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان


Artinya, “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, maka (suami) dapat menahan (pernikahan) dengan baik ataupun melepaskan dengan baik,” (Qs Al-Baqarah ayat 229).


Adapun perceraian melalui persidangan pengadilan negeri agama meskipun secara Islam dapat terjadi cukup dengan suami menjatuhkan talak adalah salah satu hukum yang harus kita patuhi. Hal ini sebagaimana perintah al-Qur’an.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ


Artinya,“Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu,” (Qs An-Nisa’ ayat 59).


Ustadz Muhammad Tholchah Al-Fayyadl, mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.