Nikah/Keluarga

Penjelasan Ulama soal Jeda dalam Prosesi Akad Nikah

NU Online  ·  Selasa, 20 Mei 2025 | 14:00 WIB

Penjelasan Ulama soal Jeda dalam Prosesi Akad Nikah

Ilustrasi akad nikah. (Foto: NU Online/Canva)

Akad nikah dalam Islam merupakan momen sakral yang menjadi pintu keabsahan hubungan suami-istri. Namun dalam praktiknya, ijab kabul kadang tidak berlangsung secara cepat. Hal ini terjadi bisa karena mempelai gugup, wali mengulang lafal, atau penghulu memberikan arahan ulang. Pertanyaannya, apakah akad nikah tetap sah jika ada jeda sesaat?

 

Keabsahan akad nikah dinilai dari terjadinya ijab (penyerahan) dan kabul (penerimaan) yang diucapkan oleh wali dan mempelai pria atau wakilnya. Dalil naqli yang mendasari keabsahan ijab kabul ini berasal dari firman Allah:

 

فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

 

Artinya: "Maka, nikahilah mereka dengan izin keluarga (tuan) mereka dan berilah mereka maskawin dengan cara yang pantas....” (QS. An-Nisa: 25)

 

Ayat ini menekankan perlunya kejelasan dan kerelaan kedua belah pihak yang diwujudkan melalui akad. Dalam kitab al-Umm, Imam al-Syafi‘i menyatakan:

 

وَلَا يَكُونُ التَّزْوِيجُ إلَّا لِامْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا وَرَجُلٍ بِعَيْنِهِ وَيَنْعَقِدُ النِّكَاحُ مِنْ سَاعَتِهِ لَا يَتَأَخَّرُ بِشَرْطٍ وَلَا غَيْرِهِ وَيَكُونُ مُطْلَقًا

 

Artinya: "Dan tidaklah pernikahan itu kecuali untuk seorang wanita tertentu dan seorang laki-laki tertentu dan akad nikah terjadi seketika itu juga, tidak ditunda dengan syarat atau selainnya dan harus mutlak." (Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i, al-Umm, [Bairût: Dar al-Fikr: 1990] Juz 5, hlm. 41)

 

Namun, apakah maksud ‘min sa‘atihi’ itu seketika dalam satu majelis? Imam an-Nawawi dalam Raudhatuth Thalibin menjelaskan bahwa yang dimaksud seketika dalam satu majelis bukan berarti tanpa jeda sama sekali. Ia menulis:

 

تُشْتَرَطُ الْمُوَالَاةُ بَيْنَ الْإِيجَابِ وَالْقَبُولِ عَلَى مَا سَبَقَ فِي الْبَيْعِ. وَنَقَلَ الْقَاضِي أَبُو سَعْدٍ الْهَرَوِيُّ: أَنَّ أَصْحَابَنَا الْعِرَاقِيِّينَ اكْتَفَوْا بِوُقُوعِ الْقَبُولِ فِي مَجْلِسِ الْإِيجَابِ. قُلْتُ: الصَّحِيحُ اشْتِرَاطُ الْقَبُولِ عَلَى الْفَوْرِ، فَلَا يَضُرُّ الْفَصْلُ الْيَسِيرُ، وَيَضُرُّ الطَّوِيلُ، وَهُوَ مَا أَشْعَرَ بِإِعْرَاضِهِ عَنِ الْقَبُولِ

 

Artinya: “Disyaratkan muwalat (berurutan) antara ijab dan kabul sebagaimana telah dijelaskan dalam bab jual beli. Qadhi Abu Sa'ad al-Harawi meriwayatkan: bahwa ulama Irak dari kalangan mazhab kami mencukupkan dengan terjadinya kabul dalam majelis ijab. Aku (Imam Nawawi) berkata: Pendapat yang sahih adalah disyaratkan kabul dilakukan segera, maka pemisahan yang sebentar tidak membahayakan, sedangkan pemisahan yang lama membahayakan, yaitu yang menunjukkan berpalingnya dari kabul.” (Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudlatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1991], juz VII, hal. 39)

 

Dengan demikian, selama jeda tidak terlalu lama dan tidak disela pembicaraan yang tidak relevan, maka akad nikah tetap sah. Ini adalah pendapat yang disepakati oleh banyak fuqaha Syafi‘iyyah. Pendapat ulama Irak dari kalangan mazhab Syafi‘i, sebagaimana dinukil Imam an-Nawawi, bahkan mengafirmasi kebolehan jeda yang terjadi dalam majelis ijab:

 

وَنَقَلَ الْقَاضِي أَبُو سَعْدٍ الْهَرَوِيُّ: أَنَّ أَصْحَابَنَا الْعِرَاقِيِّينَ اكْتَفَوْا بِوُقُوعِ الْقَبُولِ فِي مَجْلِسِ الْإِيجَابِ

 

Artinya: "Ulama Irak mencukupkan dengan terjadinya kabul dalam majelis ijab." (Abû Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudlatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami:1991], juz VII, hal. 39)

 

Dalam hal ini, ukuran "jeda" yang dimaksud oleh para ulama bukanlah berdasarkan hitungan detik atau menit secara pasti. Tidak ada dalil eksplisit yang menetapkan batasan waktu dalam ukuran kronologis seperti itu. Hal yang menjadi tolok ukurnya adalah kondisi dan suasana akad, bukan durasinya.

 

Jika jeda yang terjadi masih dalam suasana ijab kabul dan tidak diselingi oleh hal-hal yang menunjukkan berpaling dari akad, maka akad tetap sah. Sebaliknya, jika jeda tersebut menunjukkan sikap berpaling atau tidak melanjutkan akad, seperti berdiri meninggalkan tempat, mengobrol panjang tentang hal lain, atau melakukan aktivitas lain yang memutus suasana akad, maka akad nikah tersebut dianggap batal.

 

Contoh berpaling dari akad yang dapat membatalkan ijab kabul menurut sebagian fuqaha adalah ketika pihak yang seharusnya mengucapkan kabul malah menjawab telepon, bercakap-cakap dengan orang lain mengenai hal di luar akad, atau bahkan berdiri meninggalkan majelis meski sebentar.

 

Aktivitas-aktivitas ini dipandang sebagai bentuk ta‘arudh (berpaling) yang memutus kesinambungan majelis dan mengindikasikan bahwa pihak tersebut tidak lagi berfokus pada akad. Oleh karena itu, penting untuk menjaga suasana majelis tetap khidmat dan tidak diselingi aktivitas yang tidak relevan.

 

Ibnu Qudamah, salah seorang ulama mazhab Hanbali, dalam kitab al-Mughni menjelaskan:

 

إذَا تَرَاخَى الْقَبُولُ عَنْ الْإِيجَابِ، صَحَّ، مَا دَامَا فِي الْمَجْلِسِ، وَلَمْ يَتَشَاغَلَا عَنْهُ بِغَيْرِهِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْمَجْلِسِ حُكْمُ حَالَةِ الْعَقْدِ، بِدَلِيلِ الْقَبْضِ فِيمَا يُشْتَرَطُ الْقَبْضُ فِيهِ، وَثُبُوتِ الْخِيَارِ فِي عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ. فَإِنْ تَفَرَّقَا قَبْلَ الْقَبُولِ، بَطَلَ الْإِيجَابُ؛ فَإِنَّهُ لَا يُوجَدُ مَعْنَاهُ، فَإِنَّ الْإِعْرَاضَ قَدْ وُجِدَ مِنْ جِهَتِهِ بِالتَّفَرُّقِ، فَلَا يَكُونُ قَبُولًا. وَكَذَلِكَ إنْ تَشَاغَلَا عَنْهُ بِمَا يَقْطَعُهُ؛ لِأَنَّهُ مُعْرِضٌ عَنْ الْعَقْدِ أَيْضًا بِالِاشْتِغَالِ عَنْ قَبُولِهِ. وَقَدْ نَقَلَ أَبُو طَالِبٍ، عَنْ أَحْمَدَ، فِي رَجُلٍ مَشَى إلَيْهِ قَوْمٌ فَقَالُوا لَهُ: زَوِّجْ فُلَانًا. قَالَ: قَدْ زَوَّجْته عَلَى أَلْفٍ. فَرَجَعُوا إلَى الزَّوْجِ فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ: قَدْ قَبِلْت. هَلْ يَكُونُ هَذَا نِكَاحًا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ الْقَاضِي: هَذَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ وَكَّلَ مَنْ قَبِلَ الْعَقْدَ فِي الْمَجْلِسِ. وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَسْأَلَةُ أَبِي طَالِبٍ تَتَوَجَّهُ عَلَى قَوْلَيْنِ. وَاخْتَارَ أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ الْقَبُولِ فِي الْمَجْلِسِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

 

Artinya: "Apabila kabul ditunda dari ijab, maka sah, selama keduanya masih berada di majelis dan tidak menyibukkan diri dengan hal lain; karena hukum majelis adalah hukum keadaan akad, dengan dalil adanya serah terima dalam hal yang disyaratkan adanya serah terima di dalamnya, dan tetapnya hak khiyar (memilih) dalam akad-akad tukar menukar. Maka jika keduanya berpisah sebelum kabul, maka batal ijab; karena maknanya tidak ditemukan, sebab telah terjadi berpaling dari pihak yang mengucapkan ijab dengan perpisahan, maka tidak menjadi kabul. Demikian pula jika keduanya menyibukkan diri dengan hal yang memutusnya; karena ia juga berpaling dari akad dengan menyibukkan diri dari kabulnya. Abu Thalib meriwayatkan dari Ahmad tentang seorang laki-laki yang didatangi beberapa orang lalu mereka berkata kepadanya: "Nikahkanlah Fulan." Ia berkata: "Aku telah menikahkannya dengan mahar seribu." Lalu mereka kembali kepada suami dan memberitahunya, lalu ia berkata: "Aku telah menerima." Apakah ini menjadi pernikahan? Ia menjawab: "Ya." Al-Qadhi berkata: Ini dibawa maknanya kepada bahwa ia mewakilkan orang yang menerima akad di majelis. Abu Bakar berkata: Masalah Abu Thalib mengarah kepada dua pendapat. Dan ia memilih bahwa harus ada kabul di majelis, dan inilah yang sahih Insya Allah ta'ala.” (Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni li Ibn Qudamah, [Mesir: Maktabah al-Qahirah: 1969] Juz 7, hlm. 80-81)

 

Pendapat ini memperkuat bahwa jeda yang terjadi karena sebab yang wajar, seperti menenangkan diri atau memastikan ucapan, tidak memutus kesatuan akad.

 

Para ulama juga menegaskan bahwa akad nikah memiliki struktur serupa dengan akad muamalah lainnya, namun memiliki lafal, khusus yaitu tazwij (menikahkan) atau inkah (menikahkan). Dalam al-Muhadzdzab, Imam asy-Syirazi mengatakan:

 

ولا يصح العقد إلا بلفظ التزويج أو الإنكاح لأن ما سواهما من الألفاظ كالتمليك والهبة لا يأتي على معنى النكاح ولأن الشهادة شرط في النكاح فإذا عقد بلفظ الهبة لم تقع الشهادة على النكاح

 

Artinya: "Akad nikah tidak sah kecuali dengan lafadh tazwij (menikahkan) atau inkah (menikahkan). Sebab, lafadh-lafadh selain keduanya seperti tamlik (memberikan kepemilikan) dan hibah (memberikan hadiah) tidak mengandung makna nikah. Selain itu, persaksian adalah syarat dalam nikah. Jika akad dilakukan dengan lafadh hibah, maka persaksian tidak tertuju pada akad nikah." (Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yûsuf asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi‘i, [Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: t.t], juz II, hal. 437)

 

Ada pengkhususan lafal akad dalam nikah, meskipun struktur serupa dengan akad muamalah. Alih-alih adanya jeda dalam ijab dan qabul, beliau menawarkan dua opsi yang menyimpulkan bahwa selama jeda itu masih dalam proses akad, maka tidak menghalangi keabsahannya.

 

Pendapat ini sangat penting, karena menunjukkan bahwa jeda teknis tidak mempengaruhi keabsahan akad selama masih dalam konteks kesepakatan. Dalam praktik di masyarakat, penghulu atau wali seringkali mengulang lafal, memberikan petunjuk, atau menenangkan mempelai pria yang gugup. Bahkan jeda beberapa detik pun kadang diperlukan untuk memastikan lafal kabul benar dan sah secara hukum.

 

Dalam Hasyiyah ad-Desuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, disebutkan:

 

أَشْعَرَ إتْيَانُهُ بِالْفَاءِ بِاشْتِرَاطِ الْفَوْرِ بَيْنَ الْقَبُولِ وَالْإِيجَابِ وَصَرَّحَ بِهِ فِي الْقَوَانِينَ فَقَالَ وَالنِّكَاحُ عَقْدٌ لَازِمٌ لَا يَجُوزُ فِيهِ الْخِيَارُ وَيَلْزَمُ فِيهِ الْفَوْرُ مِنْ الطَّرَفَيْنِ فَإِنْ تَأَخَّرَ الْقَبُولُ يَسِيرًا جَازَ

 

Artinya: "Datangnya huruf fa' (ف) menunjukkan disyaratkannya segera antara kabul dan ijab, dan ini dijelaskan dalam al-Qawanin di mana disebutkan, "Dan nikah adalah akad yang lazim, tidak boleh ada khiyar di dalamnya, dan disyaratkan segera dari kedua belah pihak, maka jika kabul terlambat sedikit, boleh." (Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah ad-Desûqi al-Maliki, Hasyiyah ad-Desûqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, [Beirut, Dar al-Fikr: t.t], juz II, hal. 221)

 

Ibarah diatas menunjukkan, meskipun disyaratkan faur (segera) dalam ijab kabul, namun keterlambatan karena jeda dimaklumi. Hal ini sangat cocok dengan karakter masyarakat Muslim Indonesia yang menjunjung khidmat dan kehati-hatian saat ijab kabul.

 

Sebagian ulama berpandangan bahwa jeda antara ijab dan kabul bisa membatalkan akad karena dianggap sebagai pemutusan majelis. Namun pandangan ini, jika diterapkan secara tekstual dan kaku, bisa mempersulit masyarakat. Padahal, sebagian ulama berpendapat, pensyaratan satu majlis tidak disyaratkan adanya faur (segera) di dalamnya. Imam ad-Dasuqi, melanjutkan:

 

فِي الْمِعْيَارِ عَنْ الْبَاجِيَّ مَا يَقْتَضِي الِاتِّفَاقَ عَلَى صِحَّةِ النِّكَاحِ مَعَ تَأَخُّرِ الْقَبُولِ عَنْ الْإِيجَابِ

 

Artinya: “Akan tetapi, yang terdapat dalam al-Mi'yar dari al-Baji menunjukkan adanya kesepakatan atas sahnya nikah meskipun kabul terlambat dari ijab” (Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah ad-Desuqi al-Maliki, Hasyiyah ad-Desuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, [Beirut, Dar al-Fikr: t.t], juz II, hal. 221)

 

Dengan kata lain, konteks niat dan suasana akad lebih utama dari hitungan detik atau urutan ucapan. Bahkan, dalam satu riwayat ulama mazhab Hanbali menilai sah pada akad meskipun terjadi perbedaan majlis akad. (Muṣṭafa bin Sa‘d bin ‘Abdih as-Suyûṭi syuhrah ar-Ruhaybani al-Hanbali, Maṭalib Ulin-Nuha fi Syarh Gayah al-Muntaha, [Beirut, Al-Maktab al-Islami: 1994], juz V, hal. 50)

 

Dalam konteks ini, Ulama Nahdlatul Ulama sangat menjunjung tinggi prinsip taysir (kemudahan) dan raf‘ul haraj (menghilangkan kesulitan). Pendekatan hukum tidak boleh menyulitkan umat, apalagi jika substansi akad tetap utuh: niat, wali, saksi, dan mahar.

 

Dengan mengutip perkataan para ulama mujtahid secara eksplisit (qauli), kita dapat menyimpulkan bahwa akad nikah tetap sah meski terdapat jeda, selama masih dalam satu majelis dan tidak ada indikasi berpaling dari akad.

 

Kesimpulannya, melalui pendekatan istinbath qauli dari para imam mazhab dan ulama mu’tabar, jeda dalam ijab kabul tidak membatalkan akad selama memenuhi batas-batas yang disepakati. Inilah bukti bahwa fikih Islam bersifat fleksibel dan penuh rahmat, tidak menyulitkan dalam hal-hal teknis yang bisa dimaklumi.

 

Mari kita pahami Islam tidak sekadar dari lafal, tapi juga dari spirit dan tujuannya. Karena hukum Islam diturunkan untuk membawa ketenangan, bukan kegelisahan. Wallahu a‘lam.

 

Agung Nugroho Reformis Santono, Peserta Pelatihan Menulis Keislaman NU Online 2025.