Nikah/Keluarga

Pernikahan Si Kaya dan Si Miskin menurut Hukum Islam

Jum, 21 Februari 2020 | 15:30 WIB

Pernikahan Si Kaya dan Si Miskin menurut Hukum Islam

Islam memang mengenalkan konsep "kafaah" atau kesederajatan sebagai syarat pernikahan. Namun, apakah dia syarat sah pernikahan atau syarat luzûm?

Dalam Islam pernikahan mengharuskan dipenuhinya sejumlah syarat dan rukun. Meski di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab, akan tetapi sudah masyhur di kalangan masyarakat Indonesia bahwa rukun nikah yang mesti dipenuhi adalah dua mempelai, dua saksi yang adil, wali, dan akad.

 

Dan untuk menyempurnakan pernikahan, maka dianjurkan sepasang suami dan istri itu sekufu, dalam artian sepadan atau satu level derajatnya. Lantas, apa saja sebenarnya kriteria sekufu dalam Islam. Lebih baiknya kita memahami terlebih dahulu makna istilah kufu (الكُفْءُ), atau dalam kitab-kitab fiqih sering pula disebut kafâah (الكَفاءَة).

 

Kafâah secara bahasa dari kata kerja yang terdiri dari huruf kaf, fâ`, dan hamzah, sedang kufu (الكُفْءُ) dalam Lisânul ‘Arâb maknanya:

 

النَّظِيرُ والمُساوِي. وَمِنْهُ الكفَاءةُ فِي النِّكاح، وَهُوَ أَن يَكُونَ الزَّوْجُ مُساوياً للمرأَة فِي حَسَبِها ودِينِها ونَسَبِها وبَيْتِها وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

Yaitu sebanding dan sepadan. Di antara misalnya adalah kafâah dalam pernikahan, artinya mempelai pria sebanding dengan mempelai wanita dalam silsilah kekeluargaan, agama, nasab, rumah, dan selainnya” (Ibn al-Mandzûr, Lisân al-‘Arabi, Beirut: Dar Shâdir, cetakan ke.3, 1414H, juz 1, hal. 139).

 

Sedangkan dalam istilah ilmu fiqih, kafâah yaitu:

 

المماثلة بين الزوجين دفعاً للعار في أمور مخصوصة

 

“Kesetaraan di antara suami dan istri, guna mencegah kecacatan dalam beberapa perkara khusus” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 216).

 

Terdapat satu pertanyaan terkait sekufu atau kesetaraan ini, yaitu apakah perbedaan status sosial dalam kekayaan menjadi problem dalam pernikahan? Bagaimana jika antara si kaya dan si miskin sudah saling cinta, orang tua sepakat akan pernikahan keduanya, bukankah kasus yang demikian pernah ada di tengah-tengah masyarakat kita?

 

 

Dalam mengurai persoalan ini, kita harus pastikan terlebih dahulu pemahaman makna kafâah menurut para ahli fiqih, juga posisi kafâah ini dalam pernikahan: apakah dia syarat sah pernikahan, atau syarat luzûm? Disebut syarat sah pernikahan jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak sah akadnya, dan disebut syarat luzûm jika hilang salah satu syarat tersebut maka akadnya tetap sah.

 

Menurut ulama Malikiyah, kafâah adalah sepadan dalam agama dan selamat dari aib yang mewajibkan khiyâr (opsi pembatalan). Menurut mayoritas ulama, kafâah adalah sepadan dalam agama, nasab, status merdeka, profesi. Sedang Hanafiyah dan Hanabilah menambahkan kesepadanan dalam harta pada kriteria kafâah (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 216).

 

Kalau demikian, maka perbedaan kekayaan finansial tidak masuk kriteria kafâah menurut jumhur (mayoritas ulama). Tidak ada persoalan jika salah sau mempelai miskin, dan yang lainnya kaya.

 

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Muîn menyebutkan:

 

والأصح أن اليسار لا يعتبر في الكفاءة لان المال ظل زائل ولا يفتخر أهل المروءات والبصائر

 

“Pendapat yang ashah atau paling sahih (dalam mazhab Syafi’i) ialah bahwa harta tidak masuk kategori dalam kafâah, karena harta bisa lenyap, sedang para ahlul murûât dan bashâir (orang yang berakhlak tinggi dan taat kepada Allah) tidak berbangga diri dengan harta” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Muîn, Dar Ibn Hazm, cetakan pertama, juz 1, hal. 479).

 

Kemudian Syekh al-Bakri bin Muhammad Syathâ’ menuliskan pendapat yang shahîh dalam I’anah ath-Thâlibîn:

 

ومقابله يقول إنه يعتبر: لانه إذا كان معسرا لم ينفق على الولد وتتضرر هي بنفقته عليها نفقة المعسرين

 

Dan muqâbil ashah (bandingan dari pendapat ashah)-nya adalah kesepadanan harta termasuk kategori kafâah, sebab apabila si suami adalah orang susah, khawatir tidak mampu memberikan nafkah pada anak, sehingga jadilah nafkah si suami kepada istrinya tergolong nafkah al-mu’assirîn/orang-orang susah. (Syekh al-Bakri bin Muhammad Syathâ’, I’anah ath-Thâlibîn, Beirut: Dar el-Fikr, 1448H, juz 3, hal. 381).

 

Makna yang dimaksud dari lafaz kafâah sudah selesai penjabarannya, kiat memegang pendapat ashah bahwa kekayaan tidak masuk dalam kategori kafâah. Jika melihat mayoritas muslim Indonesia yang mana bermazhab Syafi’iyah, maka kafâah yang berlaku adalah sebagaimana yang disebutkan diatas menurut Jumhur, yaitu sepadan dalam agama, nasab, status merdeka, profesi, dan harta tidak masuk ke dalam kategori. Selanjutnya, apakah kafâah itu termasuk syarat sah, atau syarat luzûm?

 

Dalam soal ini para Ulama berbeda pendapat dalam memandang kafâah. Pertama, Imam atsTsauri, al-Hasan al-Bashri, al-Karkhi berpendapat kafâah ini bukan bagian dari syarat sah nikah, juga bukan dari syarat luzûm nikah. Kedua, jumhur ulama termasuk mazhab yang empat berpendapat kafâah adalah bagian dari syarat luzûm nikah, bukan syarat sah. Jadi, jika tidak sekufu, nikahnya tetap sah. Terkait hal demikian, Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:

 

اتفق فقهاء المذاهب الأربعة في الراجح عند الحنابلة والمعتمد عند المالكية والأظهر عند الشافعية على أن الكفاءة شرط لزوم في الزواج، وليست شرطاً في صحة النكاح، فإذا تزوجت المرأة غير كفء، كان العقد صحيحاً

 

“Fuqaha empat mazhab sepakat, ulama Hanabilah dalam pendapat yang râjih (kuat), Malikiyah dalam pendapat yang mu’tamad, Syâfi’iyah dalam pendapat yang adh-har, bahwa kafâah itu merupakan syarat luzûm dalam pernikahan, apabila seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sebanding/sekufu maka akadnya tetap sah” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 221).

 

Dengan pendapat di atas, kita sampai pada kesimpulan bahwa tak ada masalah perbedaan kekayaan dalam pernikahanakad tetap sah. Juga dalam persoalan beda status sosial, Islam tidak melarang orang yang berbeda status sosial untuk menjalin hubungan pernikahan. Seperti pernikahan antara orang kaya dengan orang miskin, pejabat dan rakyat jelata, keturunan nabi dan bukan keturunan nabi, dan lain-lain.

 

Kendati demikian, kacamata dalam memandang status sosial ini luas sekali. Bisa saja dalam pandangan agama tidak bermasalah, namun dalam lingkungan sosial dan individu bermasalah. Simpelnya, jika ada orang kaya menikah dengan orang miskin, orang mulia dengan orang yang hina, selalu saja tidak lepas dari cibiran dan omongan orang lain. Sebagaimana kata orang bijak, “Kita yang menjalani hidup, orang lainlah yang mengomentarinya.” Pandangan budaya masyarakat setempat juga tak jarang mempengaruhi makna konsep setara dan tidak sebuah pasangan. Wallahu a’lam.

 

 

Amien Nurhakim, mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah