Nikah/Keluarga

Sumpah Ila’, KDRT Non-Fisik Suami terhadap Istri

NU Online  ·  Rabu, 9 Juli 2025 | 15:00 WIB

Sumpah Ila’, KDRT Non-Fisik Suami terhadap Istri

Ilustrasi cerai. (Foto: NU Online/Freepik)

Jamak diketahui, bahwa Jahiliah tidak bermakna leterlek bodoh melainkan peradaban yang tidak bermoral. Salah satu dari sekian tindakan tak bermoralnya adalah sumpah seorang suami yang tak ingin menyenggama istri selama-lamanya. Perilaku ini disebut dengan sumpah ila’. Tentu, ini merupakan tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) non-fisik suami yang sangat memberikan dampak buruk pada mental istri.

 

Mengutip pernyataan Imam Syafi’i, Al-Mawardi menjelaskan bahwa sumpah ila’ merupakan salah satu bentuk perceraian di masa Jahiliah. Pada masa itu, seorang suami menceraikan istri dengan talak (cerai), zihar (menyamakan istri dengan mahram seperti ibu), dan ila’ (sumpah tidak menggauli istri). Kemudian Allah mengubah ila’ dan zihar yang mulanya termasuk proses langsung dalam  perceraian, kemudian sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan syariat. (Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir,[Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1994], Juz 10,  halaman 336).

 

Secara terminologi syariat, ila’ adalah sumpah atas nama Allah atau sifat-sifat yang melekat pada-Nya untuk tidak menggauli istri dan tidak dicerai, baik dalam kurun waktu tertentu atau tidak terbatas. Biasanya tindakan ini terjadi sebagai pelampiasan emosi suami terhadap istrinya. Entah sebagai bentuk pembelajaran atau memang murni berdasarkan kebencian. Namun faktanya, sumpah ila’ termasuk perbuatan tercela, bentuk kezaliman yang nyata, dan merupakan penindasan terhadap hak (bersenggama) perempuan. (Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatut At-Tasyri’ wa Falsafatuhu, [Beirut: Darul Fikri, 2003], Juz 2, halaman 61).

 

Pada masa Jahiliah, seorang suami tidak memberikan batas waktu ketika melontarkan sumpah ila’ kepada istrinya. Karena cenderung merugikan pada pihak istri, Islam memberikan batas masa berlakunya sumpah ila’. Melalui surat Al-Baqarah [2] ayat 226, Allah menegaskan kepada suami yang menjatuhkan sumpah ila’ kepada istri dengan waktu empat bulan. Lalu memastikan apakah akan menceraikan atau memenuhi kembali hak-hak istri. Allah berfirman:

 

لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

 

Artinya, “Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Islam mencabut akar tradisi ila’ dengan merampingkan masa berlaku. Mulanya tak terbatas menjadi empat bulan. Ketika suami tidak memenuhi hak istri setelah empat bulan, secara tidak langsung istri tercerai. Apabila dalam masa empat bulan suami menggauli istrinya, ia wajib menunaikan kafarah sebab mempermainkan sumpah atas nama Allah. (Hikmatu At-Tasyri’ wa Falsafatuhu..., Juz 2, halaman 61).

 

Bagaimana pun tentang kompleksitas sumpah ila’, dari banyak sisi merugikan pihak istri. Selain istri tidak mendapatkan hak batin, istri tetap digantung dalam pernikahannya sehingga tidak bisa menikah dengan laki-laki lain. Selain itu, istri hanya bisa menunggu selesainya masa ila’ dan tidak bisa melakukan apapun. Dalam posisi ini istri akan sangat tersiksa.

 

Walaupun hak sumpah ila’ dimiliki suami, istri tetap pihak yang terdampak. Salah satu tujuh fuqaha Madinah, Said bin Al-Musayyib menegaskan bahwa sumpah ini dari awal  bertujuan menyakiti istri. Seyogyanya, sumpah ila’ harus ditarik atau tidak pernah terjadi lantaran menyakiti istri.

 

قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: كَانَ الرَّجُلُ لَا يُرِيدُ الْمَرْأَةَ وَلَا يُحِبُّ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا غَيْرُهُ فَيَحْلِفُ أَنْ لَا يَقْرَبَهَا، فَكَانَ يَتْرُكُهَا بِذَلِكَ لَا أَيِّمًا وَلَا ذَاتَ بَعْلٍ، وَالْغَرَضُ مِنْهُ مُضَارَّةُ الْمَرْأَةِ، ثُمَّ إِنَّ أَهْلَ الْإِسْلَامِ كَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ أَيْضًا، فَأَزَالَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ وَأَمْهَلَ لِلزَّوْجِ مُدَّةً حَتَّى يَتَرَوَّى وَيَتَأَمَّلَ، فَإِنْ رَأَى الْمَصْلَحَةَ فِي تَرْكِ هَذِهِ الْمُضَارَّةِ فَعَلَهَا، وَإِنْ رَأَى الْمَصْلَحَةَ فِي الْمُفَارَقَةِ عَنِ الْمَرْأَةِ فَارَقَهَا

 

Artinya, “Dahulu seorang laki-laki tidak menginginkan istrinya, namun juga tidak suka jika ada orang lain yang menikahinya. Maka ia bersumpah untuk tidak mendekatinya (berhubungan intim dengannya), lalu dia  membiarkannya dalam kondisi tersebut, tidak sebagai wanita yang bersuami, dan juga tidak sebagai wanita yang bebas (tidak bersuami). Tujuan dari tindakannya itu adalah untuk menyakiti perempuan tersebut. Lalu, orang-orang Islam pun dahulu melakukan hal seperti itu. Maka Allah Ta‘ala menghapus hal tersebut (kebiasaan buruk itu) dan memberikan waktu bagi suami (yang bersumpah) selama suatu masa, agar ia dapat berpikir dan merenung. Jika ia melihat bahwa maslahat (kebaikan) ada dalam menghentikan tindakan menyakiti istrinya itu, maka hendaknya ia melakukannya (kembali kepada istrinya). Namun jika ia melihat bahwa maslahat ada dalam berpisah dari istrinya, maka hendaklah ia menceraikannya." (Fakhrur Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya', 1999], Juz 6,  halaman 429).

 

Adapun hukum sumpah ila’ adalah makruh tanzih. Bahkan dikatakan, saat seorang suami tidak memenuhi hak istri, maka dia mendapatkan dosa. Bukan berarti tidak diperbolehkan, namun dampak dan konsekuensinya terlalu besar. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 1985], juz 9, halaman 7081).

 

Dampak Psikologis Istri

Dewasa ini, praktek  sumpah ila’ mirip dengan pola komunikasi bernama silent treatment. Sebab adanya konflik kecil dan suami tidak mampu memegang kendali  kondisi rumah tangga, suami mendiamkan istri berlarut-larut. Dampaknya, komunikasi tidak segera membaik, konflik pun tidak terselesaikan.

 

Secara psikologis, istri akan kelelahan dari sisi emosionalnya. Istri akan terus menerus menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi, tidak bisa mengambil keputusan untuk menyelesaikan konflik. Hal yang paling buruk, istri tidak mampu mengontrol diri karena beban mental yang menumpuk, sehingga berpotensi melakukan sesuatu yang berbahaya seperti melukai diri sendiri.

 

Negara sendiri telah menerbitkan  UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Pasal (7) dan Pasal (8) sebagai bentuk perlindungan mental perempuan . Pasal tersebut berisikan larangan atas tindakan kekerasan psikis terhadap istri yang mengakibatkan ketakutan dan kehilangan percaya diri.

 

Dengan demikian, kendatipun suami memiliki hak atas sumpah ila’ dan legal secara syariat, tindakan tersebut tidaklah tepat, karena termasuk bentuk kekerasan terselubung suami terhadap istri. Selain karena hukum dan konsekuensinya yang besar, istri akan terkena dampak psikologis yang cukup parah. Wallahu A’lam.

 

Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Ainul Yaqin