Hasibullah Satrawi
Kolomnis
Konferensi Solusi Dua Negara yang diadakan di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak lama ini (28-29/07) terus menimbulkan reaksi dari banyak negara, baik reaksi yang bersifat negatif maupun reaksi yang bersifat positif.
Ibarat bola salju, reaksi atas konferensi yang diinisiasi dan didukung oleh Arab Saudi dan Prancis ini terus semakin membesar dengan kebanyakan reaksi yang bersifat positif terkait pengakuan atas kemerdekaan Palestina sekaligus pengakuan atas eksistensi negara Israel, sesuai solusi dua negara.
Steve Witkoff sebagai Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, sempat melakukan kunjungan ke Israel dan Gaza pada Jumat lalu (Aljazeera.net, 01/08/2025). Kunjungan Witkoff kali ini yang hanya berselang beberapa dari hari dari kunjungannya ke Roma (24/07) bisa dikatakan sangat mendadak.
Sebagaimana dimaklumi, pada 24 Juli kemarin Witkoff berkunjung ke Roma dan direncanakan akan lanjut berkunjung ke Timur Tengah untuk memberikan sentuhan terakhir atas draf gencatan senjata yang telah dikaji oleh tim perunding sejak 06 Juli lalu di Doha, Qatar. Alih-alih, Witkoff (dan kemudian juga Israel) secara sepihak dan mendadak menarik pulang delegasinya dari Qatar sembari menuduh Hamas tidak sungguh-sungguh ingin mencapai kesepakatan gencatan senjata.
Sedangkan Hamas sendiri merasa aneh dan terkejut dengan sikap Witkoff karena kelompok perlawanan ini merasa sudah sangat kooperatif sekaligus positif dalam menghadapi perundingan yang ada, termasuk dalam merespons konsep gencatan senjata mutakhir yang diajukan oleh para mediator.
Oleh karenanya, secara politik kunjungan Witkoff kali ini ke Timur Tengah bisa dipahami sebagai “dampak tidak langsung” dari Konferensi Solusi Dua Negara yang diadakan oleh Prancis dan Arab Saudi.
Terlebih, beberapa negara berpengaruh di Barat sempat menyatakan akan ikut turut serta mengakui kemerdekaan Palestina pada September mendatang, seperti Prancis, Kanada bahkan Inggris.
Berbeda dengan negara-negara yang lain, sikap dan rencana Inggris untuk mengakui kemerdekaan Palestina bahkan dikaitkan secara langsung dengan gencatan senjata di Gaza sekarang. Manakala Israel tidak melakukan gencatan senjata dan terus melakukan aksi pelaparan yang sangat tidak manusiawi terhadap warga Gaza, maka Inggris akan secara resmi mengakui kemerdekaan Palestina pada September mendatang. Demikian kurang lebih sikap Inggris sebagaimana disampaikan oleh Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer (27/07).
Perang Kelompok Ekstrem
Pada tahap tertentu, perang Israel-Hamas yang terjadi sejak 7 Oktober 2023 bisa dikatakan sebagai perang di antara kelompok ekstrem, atau pihak-pihak yang selama ini hanya mengakui solusi satu negara (one state solution). Yaitu Hamas yang mendukung solusi satu negara bagi Palestina (Israel harus dihancurkan) dengan pemerintahan Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu yang juga mendukung solusi satu negara bagi Israel (dengan mengusir paksa atau menghancurkan Palestina).
Perang antara kelompok ekstrem ini menjadi “lebih sempurna” dengan dukungan seorang Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang juga merupakan pendukung solusi satu negara, yaitu negara Israel.
Pada awalnya, perang kelompok ekstrem masih ada batasan-batasan tertentu. Hal ini tak lain karena AS pada awal-awal perang ini masih dipimpin oleh Presiden Joe Biden yang merupakan pendukung solusi dua negara (two state solution). Walaupun sama-sama mendukung Israel secara tanpa batas, tapi sikap AS di bawah kepemimpinan Joe Biden “masih terlihat” menghormati kemanusiaan ketimbang apa yang dilakukan oleh Presiden Trump saat ini.
Sikap-sikap kritis dari Joe Biden terhadap ambisi Netanyahu bisa dijadikan sebagai contoh dari yang telah disampaikan di atas, seperti kritik keras AS (saat itu) atas ambisi Israel untuk menduduki Rafah, sikap kritis AS terhadap Israel yang hendak menjajah Gaza, bahkan juga keputusan Joe Biden untuk melarang pengiriman bom-bom berat ke Israel.
Namun karena perang ini terjadi bersamaan dengan Pemilu Presiden AS, sikap kritis AS terhadap Israel nyaris tidak bisa berjalan maksimal. Demi alasan kepentingan elektoral, Joe Biden yang mendukung Kamala Harris pada Pilpres 2024 harus tampak mendukung Israel (bahkan Netanyahu) untuk mendapatkan dukungan dari kelompok Yahudi di AS.
Dilema inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Netahyau untuk menjalankan strategi “pasir isap” untuk menggerus elektabilitas Joe Biden dan Kamala Harris; gerakan apa pun yang dilakukan Biden dan Harris akan semakin menenggelamkan popularitasnya dan elektabilitasnya. Hingga akhirnya Harris benar-benar kalah dalam Pilpres AS 2024.
Apa yang saat ini terjadi di Gaza bisa disebut sebagai perang sempurna antara kelompok ekstrem yang nyaris tak menyisakan rasa kemanusiaan. Sebaliknya, kemanusiaan juga dijadikan alat dan strategi perang untuk memaksa dan mengalahkan pihak lawan.
Inilah yang membuat warga Gaza sekarang terus dibiarkan mati kelaparan. Inilah yang membuat warga Gaza ditembaki pada saat berupaya untuk mencari bantuan.
Dan sampai di batas paling kritis seperti ini, para pihak tetap tak mau kompromi sebagai titik tengah menuju kesepakatan sekaligus gencatan senjata. Alih-alih, pemerintahan Israel justru menyangkal terjadinya aksi kelaparan dan pelaparan di Gaza.
Delegitimasi Kekerasan
Dalam hemat penulis, hal yang paling memilukan sekaligus memalukan dari perang Israel-Hamas saat ini bukan semata-mata karena perang ini terus menimbulkan korban warga sipil dari kedua belah pihak. Bukan juga karena perang ini terus memakan korban jiwa dalam jumlah yang terus bertambah, bahkan bukan juga karena perang ini sampai pada batas menggunakan politik pelaparan dan penyanderaan.
Hal yang lebih memilukan dan memalukan dari semua di atas adalah diamnya kelompok-kelompok lain yang selama ini mendukung solusi damai dalam persoalan Palestina-Israel melalui perjuangan perdamaian dan perundingan.
Harus diakui bersama, secara jumlah kelompok atau poros perundingan jauh lebih banyak dibanding poros perlawanan. Namun poros perdamaian selama ini tersandera oleh pola permainan poros kekerasan, baik di internal Palestina, Israel, dunia Arab bahkan masyarakat global sekalipun. Hal ini seakan menegaskan bahwa solusi konflik Israel-Hamas memang harus melalui jalur kekerasan dan peperangan dengan semangat solusi satu negara.
Konferensi Solusi Dua Negara yang dilakukan oleh Arab Saudi dan Prancis sejatinya bisa dijadikan sebagai momentum oleh poros perdamaian untuk mengkonsolidasi diri sebagai langkah awal untuk mewujudkan solusi damai terkait konflik Palestina-Israel, yaitu solusi dua negara yang mendukung kemerdekaan negara Palestina dan mengakui eksistensi negara Israel.
Baca Juga
Gencatan Senjata Israel-Hamas
Pengakuan atas eksistensi Israel nantinya tak hanya dilakukan oleh Palestina, melainkan juga oleh negara-negara Arab secara umun dan juga negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, tak terkecuali Indonesia. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa solusi krisis Israel-Palestina bisa juga melalui jalur perdamaian dan perundingan dengan semangat solusi dua negara.
Pada tahap awal ini, konsolidasi poros perdamaian dibutuhkan untuk mengurangi cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Israel, Hamas atau bahkan pemerintahan Presiden Trump (kalau tidak berubah). Pada tahap selanjutnya, konsolidasi poros perdamaian bisa memaksakan terjadinya gencatan senjata antara Israel-Hamas seperti disampaikan oleh Perdana Menteri Inggris.
Puncak dari konsolidasi perdamaian ini adalah bulan September sebagai momen puncak dunia mengakui kemerdekaan Palestina dan mengakui eksistensi negara Israel yang berdampingan secara damai dengan Palestina merdeka.
Apa bila solusi dua negara ini benar-benar bisa ditegakkan pada September mendatang, maka hal ini akan mendelegitimasi peperangan yang sekarang terjadi antara Israel dengan Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya. Mengingat perang ini terjadi tak lain akibat realitas penjajahan yang dilakukan oleh Israel. Sebagaimana perang ini bisa dipahami sebagai cara untuk menegakkan solusi satu negara.
Manakala Palestina sudah merdeka maka hal itu berarti tidak ada lagi penjajahan. Karenanya tidak perlu ada lagi yang namanya kelompok perlawanan. Sebaliknya, dengan kemerdekaan Palestina maka kedua bangsa (Israel dan Palestina) yang masih terikat tali persaudaraan historis ini bisa hidup damai dan saling menghormati. Inilah substansi solusi dua negara. Dan inilah yang perlu terus diperjuangkan ke depan hingga negara Palestina yang merdeka benar-benar berdiri kokoh berdampingan secara damai dengan Israel sekaligus saling mengakui eksistensi masing-masing.
Hasibullah Satrawi, pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
4
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
5
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
6
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
Terkini
Lihat Semua