Oleh Sumanto Al Qurtuby
Dalam hal “fatwa rokok”, NU lebih bijak, arif, dan fleksibel, ketimbang, misalnya, Muhammadiyah atau MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Para kiai NU juga lebih “asyik” dan lentur dalam melihat persoalan rokok-merokok ini daripada, misalnya, kalangan ulama Salafi fanatik garis keras yang sangat ekstrem dan kaku dalam melihat rokok dan menghukumi merokok yang mereka anggap sebagai perbuatan haram dan bid’ah. Ada lagi yang bilang kalau tanaman tembakau itu diciptakan dari air kencing setan, dan dengan demikian rokok itu adalah “jelmaan iblis” untuk menggoda dan merayu manusia agar melupakan Tuhan mereka.
Berbeda dari kubu-kubu yang secara ekstrem mengharamkan rokok, NU (lembaga/jam’iyyah dan jamaahnya, termasuk para kiai, santri, maupun “pengikut abangan” NU dari kalangan non-santri dan non-kiai) tampak lebih elastis dan tidak grusa-grusu dalam melihat persoalan atau fenomena rokok-merokok ini. Para perempuan NU (santriwati, bu nyai, nining-nining, dan “jamaah abangan” NU) saya perhatikan juga tidak frontal dalam menghukumi merokok dan menghakimi perokok.
Masalah rokok-merokok memang sangat kompleks, dan karena itu perlu pandangan akurat, pemikiran mendalam, dan alasan komprehensif sebelum memberikan status hukumnya.
Muhammadiyah dan Fatwa Haram Merokok
Mari kita simak alasan kubu yang mengharamkan rokok. Kita ambil contoh, misalnya, Muhammadiyah. MUI juga mengharamkan rokok, meskipun terbatas untuk anak kecil, perempuan hamil, dan aktivitas merokok di ruang publik. Jadi pendapat dan fatwa MUI tampak lebih fleksibel ketimbang Muhammadiyah yang kaku-njeku.
Fatwa tentang hukum merokok di Muhammadiyah dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui keputusan NO. 6/SM/MTT/III/2010. Dalam putusan tersebut, Muhammadiyah dengan tegas memberikan status haram terhadap hukum merokok. Dalam pandangan Muhammadiyah, setidaknya ada enam alasan keharaman merokok.
Pertama, merokok termasuk kategori perbuatan khabaaits (perbuatan keburukan yang bisa menimbulkan dampak negatif) yang dilarang dalam Al-Qur’an (Q.7:157).
Kedua, perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan, oleh karena itu bertentangan dengan larangan Al-Qur’an dalam Q.2:195 dan 4:29.
Ketiga, perbuatan merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan asap rokok sebab rokok adalah zat adiktif dan berbahaya sebagaimana telah disepakati oleh para ahli medis dan para akademisi.Oleh karena itu, merokok bertentangan dengan prinsip syariah dalam Hadits Nabi bahwa tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.
Keempat, rokok diakui sebagai zat adiktif dan mengandung unsur racun yang membahayakan walaupun tidak seketika melainkan dalam beberapa waktu kemudian; oleh karena itu, perbuatan merokok termasuk kategori melakukan sesuatu yang melemahkan sehingga bertentangan dengan Hadi Nabi saw yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan.
Kelima, oleh karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelanjaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam Islam dan Al-Qur’an Q. 17: 26-27.
Keenam, merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (maqashid asysyari’ah), yaitu (1) perlindungan agama (hifz ad-din), (2) perlindungan jiwa/raga (hifz an-nafs), (3) perlindungan akal (hifz al-‘aql), (4) perlindungan keluarga (hifz an-nasl), dan (5) perlindungan harta (hifz al-maal).
Tidak hanya mengeluarkan “fatwa haram” atas merokok, Muhammadiyah juga turut aktif terlibat dalam pengendalian tembakau, misalnya dengan mendirikan Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) yang ada di sejumlah tempat seperti Yogyakarta (di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Magelang, Purwokerto, Mataram, dan Surabaya. Konon MTCC didanai oleh grup Bloomberg (sebuah perusahaan yang berbasis di New York). MTCC aktif menggandeng banyak elemen untuk menciptakan ruang dan kawasan bebas rokok serta mengampanyekan penaikan biaya cukai dan aktivitas lain yang berkaitan dengan larangan merokok.
Sejumlah Kelemahan “Fatwa Haram” Merokok
Mari kita lihat, uji, dan “preteli” dengan seksama sejumlah alasan yang dijadikan sebagai basis pengharaman merokok oleh Muhammadiyah. Pertama, merokok dianggap sebagai perbuatan “khabaits” atau perbuatan buruk yang menimbulkan dampak negatif.
Saya kira ini adalah pandangan yang sangat sepihak, parsial, dan subjektif, serta dibangun oleh asumsi-asumsi individu yang sangat terbatas dan relatif, dan dengan demikian tidak valid.
Sejumlah pertanyaan simpel bisa diajukan di sini. Misalnya, dari mana kita tahu (atau dari perspektif siapa) kalau aktivitas merokok adalah jenis perbuatan “khabaits” yang menimbulkan dampak negatif? Atau perbuatan buruk bagi siapa atau kelompok mana?
Bagi komunitas anti-rokok, merokok memang dianggap sebagai perbuatan buruk. Tapi bagi masyarakat penggemar rokok, merokok sama sekali bukan perbuatan buruk yang menimbulkan dampak negatif. Bahkan justru banyak, khususnya jamaah fanatikus merokok, yang mengatakan sebaliknya: merokok merupakan perbuatan baik yang menimbulkan dampak positif seperti membantu memacu kreativitas (membantu memunculkan ide-ide baru, misalnya) dan produktivitas (misalnya menulis, diskusi, berkarya, bekerja, dan sebagainya) atau medium komunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain, baik di kalangan masyarakat urban (perkotaan) maupun rural (pedesaan).
Jadi, jika Muhammadiyah menganggap merokok adalah “perbuatan buruk” (khabaits) dan dengan demikian bertentangan dengan Al-Qur’an, maka fatwa haram merokok Muhammadiyah juga bisa dikategorikan sebagai perbuatan “khabaits” yang bertentangan dengan spirit Al-Qur’an karena bisa berdampak buruk bagi jutaan komunitas perokok dan semua orang yang terkait dengan rokok-merokok seperti petani tembakau, buruh pabrik rokok, atau pedagang rokok.
Kemudian, Muhammadiyah juga menganggap merokok sebagai aktivitas yang bisa “membinasakan” diri atau “membunuh” si perokok secara pelan-pelan. Saya kira ini juga bagian dari propaganda dan mitos yang dibesar-besarkan selama bertahun-tahun oleh “rezim anti-rokok” seperti WHO, industri farmasi, tenaga medis, atau mungkin policy makers dan pemerintah.
Faktanya tidak ada orang mati karena merokok. Kalau orang mati ditabrak kendaraan, penyakit malaria, atau dibunuh oleh kelompok radikal agama, banyak sekali. Bahkan sebaliknya, banyak orang yang panjang umur hingga tua meskipun kategori perokok berat.
Jika merokok dipandang berbahaya karena bisa membunuh pelan-pelan karena itu diharamkan, kenapa orang-orang yang mengonsumsi gula misalnya tidak diharamkan? Padahal gula jauh lebih berbahaya dan bisa membunuh pelan-pelan karena bisa menimbulkan sejumlah penyakit kronis seperti diabetes. Atau, yang paling ekstrem, kenapa agama tidak diharamkan sekalian, karena terbukti banyak orang mati sia-sia dibunuh oleh kelompok teroris, ektremis, dan radikal agama?
Merokok diharamkan juga lantaran, oleh Muhammadiyah, rokok dianggap mengandung zat adiktif nikotin yang berbahaya dan beracun. Padahal, temuan-temuan riset terakhir (misalnya dari Public Health England) justru mengatakan nikotin bukan zat yang berbahaya dan beracun. Yang dianggap berbahaya bukan nikotin melainkan tar, yaitu zat kimia yang berada di gumpalan-gumpalan asap yang dihasilkan dari proses pembakaran ketika merokok seperti dalam produk "rokok konvensional".
Nikotin hanya mengakibatkan pada kecanduan saja tidak sampai menimbulkan penyakit berbahaya. Zat nikotin ini lumrah ada di berbagai tumbuhan dan sayuran (seperti tomat, kentang, terong, dan lainnya) bukan hanya tembakau saja, meskipun selama ini tembakau saja yang selalu diubek-ubek dan dipermasalahkan mengandung zat nikotin. Jadi, alasan yang dipakai Muhammadiyah dalam hal ini adalah “salah sasaran”, tidak akurat, dan tidak valid.
Problem berikutnya muncul. Kalau rokok yang dibakar itu diharamkan karena memproduksi zat tar dalam asap yang dihasilkan dari proses pembakaran, apakah kemudian “merokok” produk-produk tembakau alternatif yang dipanaskan bukan dibakar (heat-not-burn) seperti IQOS dari Phillip Morris International (PMI) atau Glo dari British American Tobacco (BAT), kemudian dianggap tidak haram alias halal karena bisa menekan hingga 95 persen zat nikotin dan bebas dari tar?
Berikutnya, kalau uang pembelanjaan rokok dianggap mubazir (pemborosan) yang dilarang atau diharamkan dalam Islam, bukankah kampanye dan propaganda anti-rokok yang memakan uang miliaran dan bahkan triliunan itu juga masuk kategori perbuatan mubazir yang dengan demikian dilarang oleh Islam dan Al-Qur’an?
Alasan merokok dianggap bertentangan dengan tujuan syariat (maqashid al-syari’ah) seperti menjaga harta, jiwa, diri, dlsb, juga terkesan mengada-ada dan dipaksakan.
Fatwa Rokok NU yang Fleksibel
Jelas bahwa fatwa haram merokok dari Muhammadiyah di atas didasarkan pada dalil-dalil aqli atau pertimbangan-pertimbangan “nalar-rasional” (tentu saja nalar-nasional orang-orang yang tergabung dalam “komisi fatwa” tersebut) yang sangat relatif kebenarannya dan subjektif validitasnya.
Penggunaan dalil aqli itu lantaran rokok dan merokok ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi seperti dilansir dalam buku
Fikih Tembakau Alternatif yang dipublikasikan oleh Lakpesdam NU dan diluncurkan di PBNU belum lama ini. Buku ini merupakan hasil penelitian tim Lakpesdam yang digali melalui FGD (Forum Grup Diskusi) dengan sejumlah ahli, termasuk dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Perdagangan.
Dibanding dengan Muhammadiyah yang terkesan saklek dan kaku, NU tampak lebih bijak, arif, dan fleksibel dalam memberi status hukum merokok (atau fatwa rokok) ini. Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU memberi tiga status hukum merokok, semua tergantung pada situasi dan kondisi: mubah, makruh, dan haram. Mubah kalau merokok dianggap tidak membawa dampak buruk atau mudarat, makruh jika merokok dipandang bisa menimbulkan mudarat tetapi relatif kecil sehingga tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai “basis teologis” pengharaman merokok, dan kemudian haram kalau merokok dipandang bisa membawa mudarat yang besar bagi diri sendiri.
Aneka ragam status merokok ini disarikan, selain dari pendapat-pendapat sejumlah ulama besar (seperti Syekh Mahmud Syaltut, Syekh Wahbah Zuhaili, atau Syekh Abdurrahman Ba’alawi) juga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan akal-rasional dengan memperhatikan dan menganalisis kemanfaatan dan kemudaratan dari aktivitas merokok. NU juga mempertimbangkan dengan seksama aspek-aspek “kemaslahatan umum” dari rokok-merokok ini. NU bukan hanya mendengarkan informasi sepihak dari kelompok anti-rokok tetapi juga mendengarkan dengan seksama suara-suara komunitas perokok, buruh dan karyawan pabrik rokok, pedagang rokok, dan tak kalah pentingnya adalah petani tembakau yang menggantungkan hidup mereka dari rokok-merokok ini.
Fatwa-fatwa rokok NU yang beraneka ragam itu dijelaskan oleh Kiai Said Aqil Siroj sebagai berikut: hukum asal merokok itu adalah "mubah" (boleh) tetapi apabila dikonsumsi berlebihan akan menjadi "makruh" (makruh itu berada di antara halal dan haram tetapi lebih mendekati ke arah haram, meskipun tidak berdosa jika melakukannya) dan apabila sampai menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, misalnya memunculkan sejumlah penyakit (jantung, kanker, paru-paru, impotensi, dlsb), maka hukum merokok menjadi "haram".
Jadi, keharaman atau status haram merokok itu karena suatu "sebab" tertentu (misalnya, berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan tubuh) bukan lantaran rokok itu sendiri secara intrinsik sudah haram.Maka, jika merokok dalam pandangan umat itu dianggap baik, halal, dan memberi manfaat, maka status merokok itu akan menjadi baik dan halal karena mampu memberi maslahat atau manfaat kepada banyak orang.
Jamaah NU sendiri adalah “jamaah perokok” sejati. Oleh NU, tulisan larangan merokok alias “NO Smoking” justru dijadikan sebagai bahan guyonan: NO (Nahdlatul Oelama) adalah smoking. "Kalau nggak smoking, nggak NO".
Penulis adalah antropolog di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi; dan Direktur Nusantara Institute