Ramadhan

Fiqih Puasa: Kemasukan Air saat Bersihkan Sisa Sabun di Telinga dan Konsekuensi Hukumnya

Sab, 1 April 2023 | 04:00 WIB

Fiqih Puasa: Kemasukan Air saat Bersihkan Sisa Sabun di Telinga dan Konsekuensi Hukumnya

Iljustrasi: mandi - air - (freepik).

Mandi merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan bagi setiap orang. Umumnya orang mandi dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore, bahkan dalam kondisi tertentu bisa dilakukan sampai beberapa kali seperti karena cuaca panas atau pekerjaan yang menguras keringat. 
 

Di bulan Ramadan, kebutuhan mandi seseorang tidak berkurang, sebagian bahkan cenderung meningkat, terlebih saat cuaca sangat panas. Mandi saat puasa lazimnya tidak berbeda dengan mandi di hari-hari biasa, yaitu dengan memakai sabun dan mengkeramas rambut untuk kesegaran dan kebersihan tubuh.
 

Dalam titik ini, persoalan muncul. Saat membersihkan sisa air sabun di bagian tubuh yang berlubang semisal telinga, terkadang tanpa disengaja air masuk ke dalam lubang telinga. Pertanyaannya kemudian, batalkah puasanya?
 


Dalam fiqih dijelaskan bahwa salah satu syarat sah puasa adalah menahan diri dari masuknya sesuatu ke dalam lubang terbuka seperti mulut, hidung, telinga, dubur, alat kelamin dan lain-lain. Fuqaha menyebut lubang-lubang tersebut dengan istilah “jauf”. Masuknya benda ke dalam jauf berakibat puasa yang dilakukan menjadi tidak sah (batal) apabila disertai kesengajaan, mengerti bahwa hal tersebut diharamkan dan bukan karena paksaan.
 

Syekh Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli mengatakan:
 

 فصل في شرط الصوم. أي شرط صحته من حيث الفعل ... (و) الإمساك (عن وصول العين) وإن قلت كسمسمة أو لم تؤكل كحصاة (إلى ما يسمى جوفا) مع العمد والعلم بالتحريم والاختيار

 

Artinya, “Pasal menerangkan syarat sah puasa dari sisi pelaksanaan. Di antaranya adalah menahan diri dari sampainya benda ke dalam anggota tubuh yang disebut jauf (lubang/rongga terbuka) meski sedikit, seperti satu biji simsimah atau yang tidak lazim dimakan seperti kerikil. Hal ini apabila disertai kesengajaan, mengetahui keharamannya dan atas inisiatif sendiri. (Muhammad bin Ahmad Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz III, halaman164).
 

Dalam penjelasan yang lebih spesifik disebutkan, salah satu faktor yang menentukan batal atau tidaknya puasa karena terlanjur masuknya sesuatu ke lubang terbuka adalah jenis aktivitas yang dilakukan. Bila diakibatkan dari aktivitas yang diperintah syariat, semisal mandi wajib, mandi sunah, menghilangkan najis dan lain sebagainya, maka tidak membatalkan puasa.
 

Semisal di area telinga terdapat najis, saat proses membasuhnya tidak sengaja air masuk ke lubang telinga, maka puasa tetap dinyatakan sah, Sebab ketidaksengajaan masuknya air ke lubang terbuka berangkat dari aktivitas yang diperintahkan syariat, yaitu menghilangkan najis untuk keabsahan shalat.
 

Kasus yang lain semisal di dalam mulut terdapat najis yang tidak ditoleransi (ghairu ma’fu ‘anhu). Saat membasuhnya tanpa sengaja air terlanjur masuk ke dalam mulut, maka tidak membatalkan puasa, meski dalam proses membasuhnya dengan cara keras atau melebih-lebihkan. Sebab ada perintah menghilangkan najis pada anggota lahir untuk keabsahan shalat.
 

Contoh yang lain, saat seseorang melaksanakan kesunahan berkumur dalam wudhu tanpa disengaja air masuk ke dalam mulut. Maka diperinci hukumnya. Bila berkumur dilakukan tanpa berlebihan, tidak dapat membatalkan puasa. Sebab masuknya air diakibatkan dari aktivitas yang diperintahkan syariat. Berbeda bila berkumur dilakukan dengan berlebihan, semisal dengan terlalu keras, maka masuknya air ke mulut tanpa sengaja dapat membatalkan puasa, sebab diakibatkan oleh aktivitas yang tidak diperintah syariat, yaitu berkumur dengan berlebihan. Sebab anjuran berkumur bagi orang yang berpuasa adalah dengan cara yang halus dan penuh kehati-hatian.
 

Demikian pula membatalkan puasa bila air yang terlanjur masuk ke dalam mulut dilakukan dalam aktivitas berkumur dalam wudhu pada hitungan keempat. Meski dilakukan dengan hati-hati tetap membatalkan, sebab berkumur yang melebihi tiga kali dalam wudhu tidak diperintahkan syariat.
 

Demikian pula saat mandi untuk mencari kesegaran atau membersihkan tubuh (bukan mandi wajib atau sunah). Masuknya air tanpa sengaja ke lubang terbuka dapat membatalkan puasa. Misalnya saat membasuh sisa air sabun di bagian telinga. Hal ini disebabkan aktivitas yang dilakukan bukan tergolong perkara yang dianjurkan atau diperintahkan oleh syariat, namun hanya sesuatu yang mubah.  
 

Uraian di atas sebagaimana penjelasan Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi sebagai berikut:
 

 والحاصل أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به - ولو مندوبا - لم يفطر. ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الأول: يفطر مطلقا - بالغ أو لا - وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء - لكراهته للصائم - وكغسل تبرد أو تنظف. الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء. الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر
 

Artinya, “Kesimpulannya adalah, sesungguhnya kaidah yang digunakan menurut para ulama adalah setiap sesuatu yang terlanjur masuk ke dalam jauf tanpa didasari adanya perintah syariat, maka dapat membatalkan puasa, atau atas dasar perintah syariat meskipun sunah maka tidak dapat membatalkan puasa.
 

Dari kaidah ini dapat diambil faidah tiga klasifikasi hukum:

  1. Membatalkan secara mutlak baik karena faktor berlebihan atau tidak. Yaitu apabila ada air yang terlanjur masuk ke dalam jauf pada sesuatu yang tidak diperintahkan. Seperti air kumur basuhan ke empat dalam wudhu dan menyelam dalam air. Sebab hal itu dimakruhkan bagi orang yang puasa, dan seperti mandi dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan.
  2. Membatalkan puasa bila berlebihan, yaitu dalam kasus kemasukan air saat berkumur yang diperintahkan dalam wudhu.
  3. Tidak batal secara mutlak meski melebih-lebihkan. Hal ini ketika mulut terkena najis, karena kewajiban melebih-lebihkan dalam membasuh najis bagi orang yang berpuasa dan selainnya supaya anggota yang tergolong batas luar terbasuh.” (Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, juz III, halaman 265).



Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, masuknya air tanpa sengaja saat membersihkan sisa sabun di telinga dapat membatalkan puasa, sebab berangkat dari aktivitas yang tidak diperintahkan, yaitu tujuan membersihkan tubuh yang hanya sampai pada taraf mubah
 

Meski dinyatakan batal, pelakun​​​​​​ya tetap wajib melanjutkan aktivitas imsak layaknya orang berpuasa, seperti menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Konsekuensi lainnya adalah kewajiban mengqadha puasa di kemudian hari di luar bulan Ramadhan. Aktivitas imsak yang dilakukan orang sejenis ini bernilai pahala, meski bukan disebut puasa yang sah.
 

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi mengatakan:
 

 (ويجب مع القضاء الإمساك للصوم في ستة مواضع ... (والسادس: على من سبقه ماء المبالغة من مضمضة واستنشاق) لتقصيره بها ... ثم الممسك ليس في صوم وإن أثيب عليه، فلو ارتكب محظورا كالجماع فلا شيء عليه سوى الإثم أي لا كفارة، ولو ارتكب مكروها كسواك بعد الزوال ومبالغة مضمضمة كره في حقه ذلك كالصائم
 

Artinya “Wajib beserta mengqadha, menahan diri karena puasa dalam enam tempat ... Keenam bagi seseorang yang terlanjur kemasukan air yang berlebihan dari berkumur dan menghirup air dari hidung, karena keteledorannya. Seseorang yang melakukan aktivitas imsak tidak berada dalam puasa (yang sah) meski mendapat pahala. Sebab itu, bila ia melakukan keharaman seperti bersetubuh, maka tidak ada ganjaran apapun baginya selain dosa. Maksudnya tidak wajib membayar kafarat. Apabila ia melakukan kemakruhan seperti bersiwak setelah tergelincirnya matahari dan berlebihan dalam berkumur, maka dimakruhkan baginya seperti hukum yang berlaku bagi orang yang berpuasa.” (Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, Kasyifatus Saja, halaman 120).
 

Sangat disarankan agar saat membasuh anggota-anggota yang rawan kemasukan air dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Sekian, semoga bermanfaat. 
 


Ustadz Mohammad Mubasysyarum Bih, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Barat dan Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon.