Kultum Ramadhan: Adab dan Sunnah di Hari Idul Fitri
NU Online · Sabtu, 29 Maret 2025 | 15:00 WIB
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Tak terasa, bulan Ramadhan akan usai, dan hari Idul Fitri pun tiba. Tentu, di satu kita mesti merasa sedih sebab kita akan ditinggalkan oleh tamu agung Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan ampunan.
Namun, di sisi lain kita juga perlu untuk mempersiapkan diri dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Persiapan yang perlu kita perhatikan menjelang Hari Raya Idul Fitri, yakni perihal adab dan sunahnya, agar kita juga mendapatkan pahala dan keberkahan di Hari Raya. Jika kita runut dari awal masuk waktu malam 1 Syawal hingga pagi harinya, maka dapat kita lakukan di antaranya sebagai berikut:
Pertama, ketika sudah resmi keluar pengumuman dari pemerintah terkait Hari Raya Idul Fitri, kita dianjurkan untuk mengumandangkan takbir atau biasa kita sebut takbiran. Anjuran takbiran ini sebagai bentuk rasa syukur kita, berdasarkan firman Allah:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya, “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (Ramadhan) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur,” (QS. Al-Baqarah: 185).
Dalam Kitab Fathul Qarib dijelaskan terdapat dua macam takbir di Hari Raya Idul Fitri. Pertama, muqayyad (dibatasi), yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat, baik fardhu atau sunnah. Setiap selesai shalat, dianjurkan untuk membaca takbir.
Baca Juga
Bacaan Bilal pada Shalat Idul Fitri
Kedua, mursal (dibebaskan), yaitu takbir yang tidak terbatas setelah shalat, bisa dilakukan di setiap kondisi. Takbir Idul Fitri bisa dikumandangkan di mana saja, di rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya.
Kesunnahan takbir Idul fitri dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai takbiratul Ihramnya Imam shalat Id bagi yang berjamaah, atau takbiratul Ihramnya mushalli sendiri, bagi yang shalat sendirian.
Salah satu contoh bacaan takbir yang utama sebagaimana diterangkan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj juz 3 hal 54 adalah:
اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ اللّٰهُ أَكْبَرُ اللّٰهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اللّٰهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللّٰهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللّٰهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Selain mengkumandangkan takbir, biasanya kita juga akan saling mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri, dengan redaksi yang beragam. Baik mengucapkan secara langsung dengan bersalaman secara fisik, maupun sekadar mengirim ucapan melalui media sosial. Bahkan, ucapan tersebut tak jarang ditambahi dengan pantun nan jenaka, maupun kalimat yang mengharu biru.
Hal demikian boleh-boleh saja, dengan catatan dilakukan dengan cara yang baik dan tidak melanggar syariat seperti bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram, sebagaimana diterangkan oleh Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani dalam Hasyiyatusy Syarwani, juz 3, hlm. 56:
وَقَدْ يُقَالُ لَا مَانِعَ مِنْهُ أَيْضًا إذَا جَرَتْ الْعَادَةُ بِذَلِكَ لِمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤَيِّدُهُ نَدْبُ التَّكْبِيرِ فِي لَيْلَةِ الْعِيدِ
Artinya, "Terkadang diucapkan, tidak ada yang menghalangi hal tersebut apabila kebiasaan terlaku demikian, Karena alasan yang telah disampaikan bahwa tujuan dari tahniah adalah saling mengasihi dan menampakkan kebahagiaan. Sudut pandang ini dikuatkan dengan kesunnahan takbir di hari raya.”
Ketiga, di malam Hari Raya, kita dianjurkan untuk menghidupkan malam Idul Fitri dengan ibadah. Dianjurkan menghidupkan malam hari raya dengan shalat, membaca shalawat, membaca Al-Qur’an, membaca kitab, memperbanyak doa, berdzikir, dan bentuk ibadah lainnya. Anjuran ini berdasarkan hadits Nabi:
مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الْعِيدِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
Artinya, “Barangsiapa menghidupi dua malam hari raya, hatinya tidak mati di hari matinya beberapa hati,” (HR. Ad-Daraquthni).
Hadits ini memang tergolong lemah, namun tetap bisa dipakai sebab berkaitan dengan keutamaan amal, tidak berbicara halal-haram atau akidah. Kesunnahan ini bisa hasil dengan menghidupkan sebagian besar malam Hari Raya.
Kemudian, pada pagi Hari Raya Idul Fitri kita disunnahkan untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri, dengan tata cara yang telah diajarkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebelum berangkat melaksanakan shalat Id, terlebih dahulu kita disunnahkan untuk mandi dan berhias diri. Hal ini juga bertujuan untuk menebarkan syiar kebahagiaan di hari raya Idul Fitri.
Waktu mandi ini dimulai sejak tengah malam Idul Fitri sampai tenggelamnya matahari di keesokan harinya. Lebih utama dilakukan dilakukan setelah terbit fajar. Keterangan ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairimi dalam Tuhfatul Habib ‘ala Syarh al-Khathib, juz 1, hal. 252. Contoh niatnya adalah:
نَوَيْتُ غُسْلَ عِيْدِ الْفِطْرِ سُنَّةً لِلهِ تَعَالَى
Artinya, “Aku niat mandi Idul fitri, sunnah karena Allah”.
Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku serta rambut, memakai wewangian dan pakaian terbaik, yang tidak melanggar syariat seperti terlihat aurat pemakainya. Tak lupa, sebelum berangkat kita juga dianjurkan untuk makan terlebih dahulu sekadarnya, sebagai penanda bahwa di hari itu kita tidak lagi berpuasa.
Perjalanan berangkat dan pulang, untuk menunaikan shalat Idul Fitri juga perlu kita perhatikan. Sebab kita dianjurkan untuk memilih jalur yang berbeda antara rute berangkat dan pulang.
Di antara hikmahnya adalah agar memperbanyak pahala menuju tempat ibadah. Anjuran ini juga berlaku saat perjalanan haji, membesuk orang sakit dan ibadah lainnya, sebagaimana ditegaskan Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin (Lihat: Syekh Khathib al-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz 1, hal. 591).
Hal terakhir, yang tak kalah penting, yang dapat kita lakukan di Hari Raya Idul Fitri, yakni saling meminta ataupun memberikan maaf. Setelah selama satu bulan kita berpuasa dan mengeluarkan zakat fitrah, maka kita sempurnakan dengan meminta dan memberikan maaf kepada sesama, dengan harapan segala kesalahan dan dosa kita diampuni sepenuhnya oleh Allah.
Semoga kita diberikan umur yang panjang dan berkah serta sehat wal afiat, untuk menjalani Ramadhan di tahun ini hingga akhir, dan diperkenankan untuk bertemu kembali pada Ramadhan-Ramadhan mendatang. Amin Ya Rabbal Alamin.
Ustadz Ajie Najmuddin, Ustadz Ajie Najmuddin, Pengurus MWCNU Banyudono Boyolali
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
3
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua