Ramadhan

Kultum Ramadhan: Istiqomah dalam Ketakwaan Setelah Ramadhan

NU Online  ·  Jumat, 28 Maret 2025 | 15:00 WIB

Kultum Ramadhan: Istiqomah dalam Ketakwaan Setelah Ramadhan

Ilustrasi buka puasa. Sumber: Canva/NU Online.

Di antara keberkahan dakwah para ulama Nusantara adalah kesadaran umat terhadap kemuliaan bulan Ramadhan. Mereka dengan masif dan kontinu menyebarkan ajaran agama tentang keutamaan bulan tersebut yang tidak ditemukan pada bulan-bulan lain, sehingga antusiasme keberagamaan umat meningkat cukup signifikan.


Misalnya, ketika melihat orang terindikasi melakukan perbuatan tercela, maka akan muncul teguran: "Kalau Ramadhan tidak boleh berbohong," "Kalau Ramadhan tidak boleh ngomongin orang," "Kalau Ramadhan tidak boleh usil," dan kalimat sejenisnya yang lain.


Dari sekian contoh teguran tersebut, apa kesan yang ditangkap? Ya, seolah-olah kalau di luar Ramadhan boleh melakukan itu semua. Padahal, agama kita melarang itu semua meskipun di luar Ramadhan. Namun, karena Ramadhan mempunyai tempat istimewa di hati umat, maka lahirlah fenomena semacam tadi.


Maka, tugas selanjutnya bukan sekadar menjaga perbuatan baik pada bulan Ramadhan, melainkan juga tetap kontinu pada bulan-bulan setelah Ramadhan. Sebab, pada dasarnya Ramadhan itu merupakan titik start untuk menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang lebih taat dan bertakwa.


Dengan berpuasa, seseorang akan cenderung dapat mengontrol dirinya untuk melanggar aturan. Sebab, pada saat itu, kondisi tubuh kekurangan amunisi untuk banyak bergerak dan beraktivitas, terutama dalam bermaksiat. Oleh karena itu, kata Imam al-Ghazali di dalam Ihya' Ulumiddin juz 1 halaman 235: Orang yang berbuka puasa melakukan balas dendam dengan mengonsumsi berbagai macam makanan, maka puasanya tidak ada manfaatnya.


Maka, ketika bulan Ramadhan mencoba melatih anggota tubuh untuk tidak bermaksiat, latihan tersebut seyogyanya dijaga dan dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya. Tentu ini butuh proses dan tahapan yang cukup panjang, serta niat yang totalitas demi mencapai tujuan ini.


Jadi, bisa diurut dengan tahun ini, misalnya, fokus melatih lisan agar tidak sembarangan berbicara, apalagi yang berkaitan dengan aib orang. Tahun berikutnya bagian mata, kemudian telinga, tangan, dan seterusnya hingga seluruh anggota tubuh benar-benar dapat dijaga dari hal-hal yang dilarang agama.


Inilah yang disebut dengan konsisten atau istiqomah dalam ketakwaan. Takwa dengan arti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dapat terealisasi dengan baik dengan keberkahan Ramadhan selaku momen penggemblengan diri. Hal ini juga akan selaras dengan firman Allah SWT:


إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ


Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: 'Tuhan kami ialah Allah' kemudian mereka konsisten (istiqomah dengan ucapan tersebut), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: 'Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan berikanlah berita gembira kepada mereka dengan (pahala) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian'," (QS. Fussilat: 30).


Seorang mukmin yang konsisten dengan perkataannya sebagaimana dalam ayat tadi, maka ia tidak akan memilah-milih bulan untuk taat kepada Allah. Baginya, semua bulan sama saja sehingga harus selalu menghindari maksiat.


Hanya saja, karena kebanyakan umat Islam tidak konsisten antara perkataan dan perbuatannya, maka setidaknya mulai Ramadhan saat ini, marilah tekadkan bulat untuk memperbaiki diri sendiri. Kita upayakan semaksimal mungkin dengan mengerem anggota tubuh ketika hendak melakukan dosa, kemudian dilatih untuk diistiqomahi.


Dengan demikian, maka menjadi mungkin akan termasuk dalam kategori hadits Nabi SAW riwayat al-Bukhari dan Muslim:


أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ


Artinya, "Amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah yang paling istiqomah pengerjaannya meskipun sedikit."


Maka, ketika setelah Ramadhan tahun ini hanya bisa menjaga lisan, misalnya, itu tidak masalah bahkan disukai Allah karena dilakukan secara istiqomah. Begitu juga amal ibadah lain, meskipun hanya sedikit, namun Allah menilainya bukan dari segi kuantitas melainkan dari sisi totalitasnya sehingga dilakukan secara istiqomah.


Pelan tapi pasti, perbuatan yang dilakukan secara istiqomah itu akan menjadi tabiat dan kebiasaan. Sebagaimana lumrahnya kebiasaan, ketika ditinggalkan sekali saja akan terasa janggal, aneh, dan tidak nyaman, entah itu kebiasaan baik maupun kebiasaan buruk.


Akhirnya, bulan Ramadhan dapat menjadi momen paling tepat untuk memulai kebiasaan baik (ketakwaan), sehingga ketika bulan itu berlalu, kebiasaan tersebut tetap dilakukan, bahkan bisa terus sepanjang hayat karena sudah mendarah daging.


Ustadz M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat