Ramadhan

Ramadhana dan Ramadhani dalam Beberapa Kitab Nahwu

Sab, 24 April 2021 | 07:00 WIB

Ramadhana dan Ramadhani dalam Beberapa Kitab Nahwu

Yang pasti kedua lafal niat puasa, baik “Ramadhana” maupun “Ramadhani” yang berbeda digunakan masyarakat Indonesia.

Tulisan ini akan membahas lafal niat puasa yang belakangan ramai diperbincangkan orang. Tulisan ini akan membicarakan perbedaan baca lafal niat puasa seputar kata “Ramadhana” dan “Ramadhani” dari sudut pandang kajian nahwu.


Tulisan ini tidak akan bermaksud mencari benar dan salah dalam lafal niat puasa Ramadhana dan Ramadhani secara nahwu. Tulisan ini hanya akan mengajak kita untuk berdiskusi lafal “Ramadhana” dan “Ramadhani” melalui kaidah-kaidah dalam kajian nahwu.


Lafal niat puasa dapat “Ramadhani” dengan menggunakan kaidah pengecualian yang berlaku bagi “isim ghayru munsharif”, yaitu kembali pada kaidah i’rab isim munsharif ketika mendapat partikel “al” atau diidhafahkan.


Dengan demikian, orang dapat membaca “Ramadhani” dengan mengidhafahkannya dengan kata setelahnya sebagaimana penjelasan dalam berbagai kitab fiqih syafiiyah seperti Kitab Fathul Mu’in, Kitab I’anatut Thalibin, Kitab Asnal Mathalib, dan lain sebagainya.

 

Ramadhani


Pertanyaannya kemudian apakah isim alam (nama) dapat diidhafahkan? Ibnu Hisyam Al-Anshari menjelaskan, isim alam yang makrifah dapat diidhafahkan dengan catatan menurunkan kealamiyahannya dengan mengembalikannya kepada nakirah.


يستثنى من ذلك صورتان إحداهما أن تدخل عليه أل والثانية أن يضاف فإنه يجر فيهما بالكسرة على الأصل فالأولى نحو وأنتم عاكفون في المساجد والثانية نحو في أحسن تقويم وتمثيلي في الأصل بقولي بأفضلكم أولى من تمثيل بعضهم بقوله مررت بعثماننا فإن الإعلام لا تضاف حتى تنكر فإذا صار نحو عثمان نكرة زال منه أحد السببين المانعين له من الصرف وهو العلمية فدخل في باب ما ينصرف


Artinya, “Ada dua bentuk yang dikecualikan dari kaidah (isim ghayru munsharif) ini, pertama saat masuk partikel ‘al’, kedua saat diidhafahkan. Dalam kondisi keduanya, maka pada kedua bentuk tersebut, kedua isim ghayru munsharif itu dikasrahkan ketika majrur sebagaimana asalnya. Contoh pertama ‘Wa antum ‘akifuna fil masajidi,’ kedua ‘fi ahsani taqwimin.’ Tetap contoh yang kuajukan pada asalnya ‘bi afdhalikum’ lebih utama disbanding contoh sebagian mereka ‘marartu bi ‘Utsmanina’ karena nama pada dasarnya tidak dapat diidhafahkan sampai dianggap sebagai nakirah. Ketika itu kata ‘Utsman’ menjadi nakirah yang hilang salah satu dari dua sebab yang mencegah tanwin darinya, yaitu faktor alamiyah (nama). Dengan demikian ia masuk pada kategori isim munsharif atau bertanwin,” (Ibnu Hisyam Al-Anshari, Qathrun Nada wa Ballus Shada, [Singapura-Jeddah, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 28).


Bagi Ibnu Hisyam, untuk dapat mengidhafahkan isim alam ghayru munsharif  kita harus menanggalkan atribut kealamiyahan dan kemakrifahannya sehingga kata “Ustman” setelah menjadi nakirah tidak lagi merujuk pada person tertentu.


Syekh Ahmad As-Suja’i dalam Hasyiah ala Qathrun Nada mengajukan contoh lain terkait kasus ini, yaitu “Li kulli Fir’aunin Musa,” di mana kata “Fir’aun” diberi partikel tanwin secara lafal dan Musa ditanggalkan makrifahnya secara makna sehingga tidak lagi merujuk pada person tertentu seperti Firaun dan Musa dalam sejarah. dengan demikian maknanya adalah “Setiap tirani yang zalim dan batil selalu ada pejuang keadilan yang membela kebenaran.” (Suja’i, Hasyiyah Qathrun Nada, [Singapura-Jeddah, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 28).


Pada karyanya yang lain, Ibnu Hisyam Al-Anshari menjelaskan kaidah serupa, yaitu sebuah keharusan menanggalkan atribut kemakrifahan dan kealamannya pada kata yang akan dijadikan mudhaf (isim alam ghayru munsharif yang makrifah) baik secara lafal maupun makna. Tanpa itu isim makrifah (baik isim alam maupun isim nakirah dengan partikel “al”) tidak dapat menjadi mudhaf.


Konsekuensinya pada kasus lafal niat, kata “Ramadhan” tidak dapat dibaca “Ramadhani” kalau tidak menanggalkan atribut kemakrifahannya baik secara lafal maupun makna. Hal itu dapat dilakukan dengan membubuhkan partikel “al” secara lafal atau memandang “Ramadhan” sebagai isim nakirah yang bertanwin tanpa merujuk pada Ramadhan mana pun.


كذالك تستدعي وجوب تجريد المضاف من التعريف سواء كان التعريف بعلامة لفظية أم بأمر معنوي فلا تقول الغلام زيد ولا زيد عمرو مع بقاء زيد على تعريف العلمية بل يجب أن تجرد الغلام من ال وأن تعتقد في زيد الشيوع والتنكير وحينئذ يجوز لك إضافتهما وهذه هي القائدة التي تقدمت الإشارة إليها آنفا


Artinya, Demikian juga tuntutan keharusan untuk mengosongkan mudhaf dari cirri isim makrifah baik kemakrifahan secara lafal maupun makna sehingga kamu tidak bisa membuat frase, ‘al-ghulamu zaidin’ atau ‘Zaidu Amrin’ dengan tetap memandang ‘Zaid’ sebagai isim makrifah melalui jalur ‘alamiyah’. Tetapi frase itu wajib menghilangkan partikel ‘al’ dari kata ‘al-ghulam’ dan meyakini kata ‘Zaid’ pada frase tersebut sebagai kata umum (yang tidak merujuk kepada satu person) dan nakirah. Ketika itulah kamu dapat menghidhafahkan kedua kata tersebut. ini merupakan kaidah terdahulu yang diisyaratkan baru saja. (Ibnu Hisyam Al-Anshari, Syarah Syudzurid Dzahab fi Ma’rifati Kalamil Arab, [Surabaya, M bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa tahun], halaman 75).


Kaidah yang sama juga terdapat dalam Kitab Tuhfatul Ahbab. Kaidah yang singkat-ringkas ini menyebutkan, isim menjadi ghayru munsharif ketika dimakrifahkan. Tetapi ketika dinakirahkan, isim itu menjadi munsharif.


فهذهِ إنْ عُرِّفَتْ لم تَنصَرِفْ وما أتَى مُنَكَّرًا منهَا صُرِفْ


Artinya, “Jenis (isim) ini jika dimakrifahkan menjadi ghayru munsharif. Demikian juga bila dinakirahkan maka menjadi munsharif (bertanwin),” (M bin M Umar Al-Hadhrami, Tuhfatul Ahbab ala Mulhatul I’rab, [Jakarta, Al-Aidrus: tanpa tahun], halaman 40).


Tetapi yang harus diingat bahwa kata “hadzihi” atau isim isyarah (mubham) adalah kata independen yang tidak memerlukan idhafah sebagaimana keterangan pada Kitab Tashilu Nailil Amani. Konsekuensinya, kata “Ramadhani” adalah mudhaf dan “hadzihi” mudhaf ilaih. Sedangkan kata “as-sanati” merupakan badal atau athaf bayan dari “hadzihi” sebagaimana kasus pada Surat Al-Kahfi ayat 6.


وكل اسم تم واستغنى عن الإضافة وهو الاسم المبهم ولإبهامه يحتاج إلى تمييز يميزه. وهو يعمل فيه النصب ومعنى تمامه كونه بحالة يمتنع فيها إضافته إلى شيئ آخر... وفي اسم الإشارة نحو قوله ما أراد الله بهذا مثلا


Artinya, “Setiap isi yang sempurna (tamm) dan tidak membutuhkan idhafah adalah isim mubham. Karena ketidakjelasannya isim mubham membutuhkan tamyiz yang membedakannya, yaitu yang mengamalkan nashab padanya. Pengertian tam adalah kondisi di mana isim tercegah untuk mengidhafahkannya kepada kata lain… pada isim isyarah contohnya firman Allah, ‘Ma aradallahu bi hadza matsalan,’” (Ahmad bin M Zain bin Musthafah Al-Fathani, Tashil Nailil Amani fi Syarhi Awamil Al-Jurjani, halaman 36).

 

Ramadhana


Adapun sejumlah ulama nahwu mengatakan, isim ghayru munsharif boleh diberi partikel tanwin untuk dua kepentingan, satu kepentingan munasabah bunyi atau penyesuaian semacam rima, kedua kepentingan darurat sya’ir sebagaimana keterangan pada Kitab Mutammimah sebagai berikut:


يجوز صرف غير المنصرف للتناسب كقراءة نافع: {سَلَاسِلَا} (4) سورة الإنسان، { قَوَارِيرَا} (15) سورة الإنسان؛ ولضرورة الشعر


Artinya, “Boleh memberikan tanwin kepada isim ghayru munsharif untuk kepentingan munasabah seperti qiraat Imam Nafi’ ‘Salasila’ Surat Al-Insan, ‘Qawarira’ Surat Al-Insan dan untuk kepentingan darurat syair,” (M Ra’ini Al-Makki Al-Maliki, Mutammimatul Jurumiyyah fi Ilmil Arabiyyah, [Surabaya, M bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa tahun], halaman 25).


Muhammad Al-Ahdal ketika mensyarahkan Kitab Mutammimah melalui Kitab Al-Kawakibud Durriyyah mengatakan bahwa isim ghayru munsharif tidak benar-benar dapat ditanwinkan (diidhafahkan) karena memang isim ghayru munsharif itu mengandung illat yang mencegah kehadiran tanwin (mudhaf).


يجوز صرف غير المنصرف  أي جعله في حكم المنصرف بإدخال الكسرة والتنوين لا جعله منصرفا حقيقة لأن ما لا ينصرف هو ما في علتان أو واحدة تقوم مقامهما لا يلزم خلو الاسم عنهما للتناسب أي لتحصل المناسبة بينه وبين المنصرف عند اجتماعهما فإن رعاية المناسبة في الكلمات امر مهم عندهم


Artinya, “Boleh memberikan tanwin kepada isim ghayru munsharif, yakni menempatkannya pada status isim munsharif  dengan memasukkan kasrah dan tanwin, bukan mendudukkannya sebagai isim munsharif secara hakiki karena isim ghayru munsharif mengandug dua illat atau satu illat yang menempati dua illat di mana kekosongan isim tidak lazim dari keduanya untuk kepentingan munasabah, yaitu supaya hasil munasabah antara isim ghayru munsharif dan isim munsharif ketika keduanya bersandingan. Bagi mereka, menjaga munasabah antarkata adalah perkara penting,” (M bin Ahmad bin Abdul Bari Al-Ahdal, Al-Kawakibud Durriyyah, Syarah Mutammimatil Jurumiyyah, [Surabaya, M bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa tahun], juz I, halaman 45).


Ibnu Aqil juga menyampaikan hal serupa. Ia menyebutkan dua sebab yang membolehkan pembubuhan partikel tanwin pada isim ghayru munsharif, yaitu sebab darurat dan sebab munasabah atau harmoni antara isim ghayru munsharif dan kata sesudahnya.


يجوز في الضرورة صرف ما لا ينصرف وذلك كقوله: تبصر خليلي هل ترى من ظعائن وهو كثير وأجمع عليه البصريون والكوفيون وورد أيضا صرفه للتناسب كقوله تعالى: {سَلاسِلا وَأَغْلالاً وَسَعِيراً} فصرف سلاسل لمناسبة ما بعده


Artinya, “Untuk kepentingan darurat, boleh meberikan tanwin kepada isim yang tidak bertanwin seperti ‘Tubshiru khalili, hal tara min zha’a’inin.’ Kasus begini banyak. Mazhab bashrah dan kufah bersepakat atas hal ini. Demikian juga kebolehan memberikan tanwin kepada untuk kepentingan munasabah seperti firman Allah, ‘Salasilan wa aghlalan wa sa‘iran.’ Kata ‘salasilan’ dibubuhi tanwin untuk kepentingan munasabah dengan kata sesudahnya.” (Ibnu Aqil, Syarah Al-Allamah Ibnu Aqil, [Cirebon, Syekh Abdullah bin Afif mitra Al-Maktabah Al-Mishriyyah: tanpa tahun] halaman 154).


Beberapa keterangan terakhir dari ulama nahwu ini memang tidak menyebutkan secara harfiah larangan pemberian tanwin (pengidhafan) isim ghayru munsharif. Tetapi keterangan ini menguatkan bahwa pemberian tanwin (pengidhafan) isim ghayru munsharif dimungkinkan karena faktor darurat dan faktor munasabah.


Konsekuensinya, kata “Ramadhan” tidak dapat diidhafahkan pada kata “Hadzihis sanati.” Artinya, kita tidak dapat membaca “Ramadhani hadzihis sanati” karena tidak memenuhi sebab munasabah dan sebab darurat syair.


Demikian beberapa keterangan yang dapat kami himpun. Tanpa bermaksud menentukan benar dan salah, kami mengangkat dua pandangan terkait pembubuhan partikel tanwin atau pengidhafahan isim ghayru munsharif pada kajian nahwu.


Yang pasti kedua lafal niat puasa, baik “Ramadhana” maupun “Ramadhani” yang berbeda digunakan masyarakat Indonesia. Perbedaan kedua lafal tersebut tidak berkonsekuensi pada perbedaan/perubahan makna niat puasa dalam batin masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)