Syariah

Hukum Mengumandangkan Azan Sebagai Syiar Islam Selama Covid-19

Kam, 30 April 2020 | 02:00 WIB

Hukum Mengumandangkan Azan Sebagai Syiar Islam Selama Covid-19

Azan sebagai syiar Islam harus tetap dikumandangkan pada awal waktu shalat wajib selama Covid-19. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Imbauan pemerintah dan fatwa sejumlah ormas Islam meminta masyarakat untuk mengalihkan aktivitas ibadah Jumat, shalat berjamaah, dan shalat tarawih dari atau mushalla ke rumah. Hal ini dilakukan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 sesuai anjuran tenaga kesehatan.

Imbauan pemerintah dan fatwa ulama tersebut tidak boleh disalahpahami sebagai penghentian aktivitas di masjid, apalagi penguncian pintu masjid selama masa penanganan Covid-19. Imbauan dan fatwa tersebut tidak menghalangi syiar Islam melalui masjid atau mushalla seperti pengumandangan azan di awal shalat wajib lima waktu.

Shalat Jumat, shalat berjamaah, dan shalat tarawih sangat mungkin dialihkan ke rumah karena memang melibatkan banyak orang sebagai uzur aam seperti hujan, angin kencang, atau uzur lainnya. Sedangkan kumandang azan sebagai syiar Islam tidak tercegah oleh uzur karena tidak melibatkan banyak orang. Oleh karena itu, azan sebagai syiar yang zahir harus tetap dikumandangkan pada awal waktu shalat wajib lima waktu selama penanganan Covid-19.

الْأَذَانُ وَالْإِقَامَةُ سُنَّةٌ، وَقِيلَ فَرْضُ كِفَايَةٍ، وَإِنَّمَا يُشْرَعَانِ لِمَكْتُوبَةٍ، وَيُقَالُ فِي الْعِيدِ وَنَحْوِهِ: الصَّلَاةَ جَامِعَةً

Artinya, “Azan dan iqamah adalah sunnah. Ada ulama yang mengatakan, fardhu kifayah. Keduanya disyariatkan untuk shalat wajib lima waktu. Ada ulama yang mengatakan, keduanya berlaku pada shalat Id dan semisalnya, ‘As-Shalātu jāmi‘ah,’” (Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin).

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam syarah Minhaj mengatakan, azan secara bahasa adalah pemberitahuan. Secara istilah, azan mengacu pada rangkaian zikir tertentu yang disyariatkan pada asalnya untuk memberitahukan masuknya waktu shalat lima waktu. Azan dan iqamah disyariatkan tanpa khilaf ulama. Menurut qaul paling shahih, hukum keduanya adalah sunnah kifayah seperti hukum memulai ucapan salam karena tidak ada dalil sharih yang menyatakan kewajiban keduanya.

Adapun Syekh Ar-Ramli dalam syarah Minhaj menyebutkan bahwa azan menurut definisi syara’ adalah kalimat tertentu yang karenanya kedatangan waktu shalat wajib dapat diketahui (masyarakat). (Syekh Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj).

قوله (وَقِيلَ) إنَّهُمَا (فَرْضُ كِفَايَةٍ) لِكُلٍّ مِنْ الْخَمْسِ لِلْخَبَرِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ إذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلِأَنَّهَا مِنْ الشَّعَائِرِ الظَّاهِرَةِ كَالْجَمَاعَةِ وَهُوَ قَوِيٌّ وَمِنْ ثَمَّ اخْتَارَهُ جَمْعٌ فَيُقَاتَلُ أَهْلُ بَلَدٍ تَرَكُوهُمَا، أَوْ أَحَدَهُمَا بِحَيْثُ لَمْ يَظْهَرْ الشِّعَارُ

Artinya “(Ada ulama yang mengatakan), keduanya (fardhu kifayah) bagi setiap shalat lima waktu berdasarkan hadits muttafaq alaih ‘Bila datang waktu shalat, hendaklah seorang kamu mengumandangkan azan,’ (HR Bukhari dan Muslim), karena azan termasuk syiar yang zahir seperti shalat berjamaah. Pandangan cukup kuat. Dari sini sekelompok ulama berpendapat, penduduk desa yang meninggalkan keduanya (azan dan iqamah) atau salah satunya diperangi sekira tidak tampak syiar Islam,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2011 M], juz I, halaman 165).

Yang jelas, azan dan iqamah melalui pengeras suara masjid atau mushalla harus tetap dikumandangkan sebagai syiar Islam. Hanya saja azan di sini bukan untuk mengundang masyarakat untuk menghadiri shalat berjamaah, tetapi sebagai penanda waktu shalat dan syiar Islam yang zahir.

Kecuali itu, lafal azan selama Covid-19 sedikit berbeda dari lafal azan pada situasi normal. Lafal azan selama Covid-19 mengacu pada hadits riwayat sahabat Ibnu Abbas RA atau sahabat Ibnu Umar RA. Pengurus masjid dan mushalla atau muazin dapat memilih lafal azan pada saat uzur aam sesuai riwayat keduanya.

Adapun berikut ini adalah hadits riwayat Imam Muslim yang mengisahkan perintah Ibnu Abbas RA untuk menyisipkan “shallū fī buyūtikum” sebagai pengganti seruan “hayya ‘alas shalāh.”

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata kepada muazinnya pada hari hujan, ‘Bila kau sudah membaca ‘Asyhadu an lā ilāha illallāhu, asyhadu anna muhammadan rasūlullāh,’ jangan kau teruskan dengan seruan ‘hayya ‘alas shalāh,’ tetapi serulah ‘shallū fi buyūtikum.’’ Orang-orang seolah mengingkari perintah Ibnu Abbas RA. Ia lalu mengatakan, ‘Apakah kalian heran dengan masalah ini? Padahal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sungguh Jumat itu wajib. tetapi aku tidak suka menyulitkanmu sehingga kamu berjalan di tanah dan licin.’” (HR Muslim).

Berikut ini adalah hadits riwayat Imam Muslim yang mengisahkan kumandang azan Ibnu Umar RA untuk menyudahi seruan azannya dengan “shallū fī rihālikum” karena pernah menyaksikan Rasulullah SAW dalam suatu ketika meminta muazinnya berbuat serupa.

نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

Artinya, “Dari Nafi‘, dari Ibnu Umar bahwa ia mengumandangkan adzan pada malam yang dingin, berangin, dan hujan. Di akhir adzan ia menyeru, ‘alā shallū fī rihālikum. Alā shallū fir rihāl.’ Lalu ia bercerita bahwa Rasulullah pernah memerintahkan seorang muazin ketika malam berlalu dengan dingin atau hujan dalam perjalanan untuk menyeru ‘alā shallū fī rihālikum,’” (HR Muslim).

Dengan demikian, pengalihan ibadah dari masjid atau mushalla ke rumah tidak boleh dipahami sebagai mematikan syiar Islam melalui kumandang azan di masjid dan mushalla. Azan dan iqamah harus tetap dikumandangkan di masjid atau di mushalla sebagai syiar Islam meski aktivitas ibadah masyarakat tetap di rumah. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)