Bahtsul Masail

Hukum Menjaga Jarak Jamaah dan Shaf Shalat Jumat dari Covid-19

Jum, 20 Maret 2020 | 04:00 WIB

Hukum Menjaga Jarak Jamaah dan Shaf Shalat Jumat dari Covid-19

Kami tidak menyarankan pelaksanaan ibadah Jumat teruama pada zona merah Covid-19 atau daerah berpotensi tinggi penyebaran virus corona sebagaimana imbauan putusan LBM PBNU, fatwa MUI, dan imbauan Dirjen Bimas Kemenag RI.

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, pemerintah menganjurkan masyarakat untuk menunda perkumpulan yang melibatkan banyak orang. Komisi Fatwa MUI, Lembaga Bahtsul Masail PBNU, dan Pemrov DKI Jakarta juga menganjurkan penundaan Shalat Jumat bagi zona merah Covid-19 seperti Jakarta untuk mencegah penyebaran virus corona. Sementara sebagian masjid tetap menyelenggarakan Shalat Jumat. Apakah shaf jamaah dapat diatur dengan mengikuti standar social distancing atau jarak aman interaksi sosial? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Hamba Allah/Jakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Belakangan kita menyaksikan perkembangan terkini sehingga pemerintah daerah dan beberapa ormas keagamaan seperti MUI dan PBNU mengeluarkan sikap keagamaan terkait pelaksanaan ibadah Jumat, yaitu menunda Shalat Jumat sementara untuk zona merah Covid-19 atau daerah berpotensi tinggi virus corona.
 

Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI mengeluarkan imbauan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan ibadah di rumah untuk sementara tanpa menyebut secara rinci ibadah Jumat di dalamnya.

Masyarakat dalam hal ini pengurus masjid terbelah antara mengadakan Shalat Jumat dan tidak menyelenggarakan ibadah Jumat. Idealnya, dalam situasi seperti ini kita mengikuti pertimbangan pemerintah sesuai kaidah fiqih “Hukmul hākim yarfa‘ul khilaf” atau putusan pemerintah menyudahi perbedaan.

Namun demikian, tetap ada pengurus masjid yang tetap ingin menyelenggarakan Shalat Jumat. Kehendak mereka tidak dapat dicegah. Kami menyarankan pengurus masjid dan jamaah yang tetap bersikukuh untuk menyelenggarakan ibadah Jumat mengikuti petunjuk teknis dari Bimas Islam Kemenag dan tetap memperhatikan standar kemananan medis.
 

Pengurus masjid perlu menyediakan pencuci antiseptik tangan/hand sanitizer di tempat wudhu, toilet, pintu masjid; membersihkan dan menyimpan karpet; membersihkan ruangan masjid dengan cairan disinfektan; membawa perlengkapan shalat sendiri seperti sajadah bagi jamaah Jumat; menggunakan masker; dan menjaga jarak aman (social distancing) antarjamaah dan antarashaf minimal 1 meter (ada juga kalangan medis yang mengatakan jarak aman 1.5 meter, 1.8 meter (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat atau CDC), dan ada yang berpendapat 2 meter) karena uzur dan bahkan darurat.

وعن أنس رضي اللّه عنه أن رسول اللّه قال: رصوا صفوفكم) أي حتى لا يبقى فيها فرجة ولا خلل (وقاربوا بينها) بأن يكون ما بين كل صفين ثلاثة أذرع تقريباً، فإن بعد صف عما قبله أكثر من ذلك كره لهم وفاتهم فضيلة الجماعة حيث لا عذر من حر أو برد شديد

Artinya, “(Dari sahabat Anas RA, Rasulullah bersabda, ‘Susunlah shaf kalian’) sehingga tidak ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua shaf kurang lebih berjarak tiga hasta. Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya,” (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424).
 

Pada dasarnya posisi makmum yang berdiri terpisah dalam shalat berjamaah (termasuk Jumat yang wajib dilakukan berjamaah) termasuk makruh. Makmum harus membentuk barisan shaf atau ikut ke dalam shaf yang sudah ada.

وَيُكْرَهُ وُقُوفُ الْمَأْمُومِ فَرْدًا، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إنْ وَجَدَ سَعَةً

Artinya, “Posisi berdiri makmum yang terpisah dimakruh, tetapi ia masuk ke dalam shaf jika menemukan ruang kosong yang memadai,” (Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin).

Syihabuddin Al-Qalyubi menjelaskan kata “fardan” atau terpisah sendiri di mana kanan dan kiri makmum terdapat jarak yang kosong sekira dapat diisi oleh satu orang atau lebih. Pandangan ini sejalan dengan tuntutan untuk social distancing atau jaga jarak aman penularan Covid-19.

قوله (فردا) بأن يكون في كل من جانبيه فرجة تسع واقفا فأكثر

Artinya, “Maksud kata (terpisah sendiri) adalah di mana setiap sisi kanan dan kirinya terdapat celah yang memungkinkan satu orang atau lebih berdiri,” (Syihabuddin Al-Qalyubi, Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah, [Kairo, Al-Masyhad Al-Husaini: tanpa tahun], juz I, halaman 239).
 

Namun, ketika ada sekadar uzur atau bahkan situasi darurat yang sangat mendesak seperti darurat penyebaran Covid-19, makmum boleh menjaga jarak satu sama lain sebagaimana keterangan Ibnu Hajar berikut ini:

نَعَمْ إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا كَرَاهَةَ وَلَا تَقْصِيرَ كَمَا هُوَ ظَاهِر

Artinya “Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti saat cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana zahir,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2011], halaman 296).

Jarak aman (social distancing) antarjamaah dan antarashaf minimal 1 meter dalam situasi uzur atau bahkan darurat tidak membatalkan shalat berjamaah dan Shalat Jumat. Hal ini disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam karyanya yang lain, Raudhatut Thalibin.

إذا دخل رجل والجماعة في الصلاة كره أن يقف منفردا بل إن وجد فرجة أو سعة في الصف دخلها… ولو وقف منفردا صحت صلاته

Artinya, “Jika seorang masuk sementara jamaah sedang shalat, maka ia makruh untuk berdiri sendiri. Tetapi jika ia menemukan celah atau tempat yang luas pada shaf tersebut, hendaknya ia mengisi celah tersebut… tetapi jika ia berdiri sendiri, maka shalatnya tetap sah,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 356).
 

Kami tidak menyarankan pelaksanaan ibadah Jumat terutama pada zona merah Covid-19 atau daerah berpotensi tinggi penyebaran virus corona sebagaimana imbauan putusan LBM PBNU, fatwa MUI, dan imbauan Bimas Kemenag RI karena terlalu berisiko.

Jika ada pengurus masjid (dan nyatanya memang ada) yang tetap bersikukuh untuk menyelenggarakan ibadah Shalat Jumat, kami menyarankan pengurus masjid untuk mematuhi petunjuk medis dalam pencegahan Covid-19 dan standar keamanan medis yang lazim, termasuk jarak antarjamaah dan jarak antarshaf (social distancing) demi meminimalisasi risiko dan keamanan jamaah. Ketentuan jaga jarak ini juga berlaku bagi shalat berjamaah.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
 

(Alhafiz Kurniawan)