Syariah

Hukum Shalat Wanita Hamil dan Flek Jelang Persalinan

Rab, 11 November 2020 | 03:00 WIB

Hukum Shalat Wanita Hamil dan Flek Jelang Persalinan

Pada umumnya ibu menjelang melahirkan tetap berkewajiban menjalankan shalat dan puasa, meskipun mengeluarkan flek darah dari jalan lahir. (Ilustrasi: shutterstock)

Persalinan atau melahirkan adalah salah satu momen penting dalam hidup seorang perempuan sebagai fase untuk mengantarkan sebuah kehidupan baru ke dunia ini. Oleh karena itu, selayaknya masa menjelang persalinan mendapatkan perhatian khusus bukan hanya tentang kesiapan fisik, mental, dan finansial, namun juga terkait upaya untuk terus menaati syari’at.


Syariat  pertama yang harus diketahui tentang masa menjelang persalinan adalah bahwa flek darah yang keluar sebelum melahirkan bukanlah nifas bukan pula haid. Hal ini dijelaskan salah satunya oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal  (wafat 1204 H):


وَالنِّفَاسُ هُوَ الدَّمُ الْخَارِجُ بَعْدَ فَرَاغِ الرَّحِمِ مِنْ الْحَمْلِ ، فَخَرَجَ بِمَا ذُكِرَ دَمُ الطَّلْقِ ، وَالْخَارِجُ مَعَ الْوَلَدِ فَلَيْسَا بِحَيْضٍ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ آثَارِ الْوِلَادَةِ ، وَلَا نِفَاسَ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى خُرُوجِ الْوَلَدِ بَلْ ذَلِكَ دَمُ فَسَادٍ إلا أَنْ يَتَّصِلَ بِحَيْضِهَا المُتَقَدِّمِ فإنه يِكُونُ حيضًا انتهت- الى ان قال- الطَّلْقُ هو الوَجَعُ النَّاشئُ مِن الوِلادَةِ أو الصَّوْتُ المُصَاحِبُ لها ا ه شيخنا ح ف


Artinya, “Nifas adalah darah yang keluar setelah kosongnya rahim dari kehamilan. Definisi ini tidak memasukkan darah thalq dan darah yang keluar bersamaan dengan bayi (sebagai nifas). Kedua jenis darah ini tidak bisa dikatakan sebagian haid karena merupakan akibat dari proses persalinan. Juga tidak masuk kategori nifas karena keluar sebelum bayi, tetapi masuk kategori darah fasad (rusak), kecuali bila bersambung dengan darah haid sebelumnya (darah yang memenuhi syarat haid) baru bisa dikatakan sebagai haid. Pengertian thalq adalah nyeri yang timbul akibat proses persalinan dan suara yang keluar bersamaan melahirkan (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal ‘alal Minhaj, juz I halaman 686).


Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pada umumnya ibu menjelang melahirkan tetap berkewajiban menjalankan shalat dan puasa, meskipun mengeluarkan flek darah dari jalan lahir. Namun karena kontraksi (peregangan pada dinding rahim) menimbulkan rasa nyeri pada perut yang seringkali tidak tertahankan, sehingga perempuan yang mengalami kontraksi bisa disamakan dengan orang yang sedang sakit yang diperbolehkan untuk tarakhkhush (mengambil keringanan syariat).


Keringanan syariat itu tentu berbeda-beda sesuai kondisi pelakunya. Mari kita bahas satu per satu.


1. Ibu mengalami kontraksi dengan rasa nyeri yang ringan: wajib wudhu dan shalat dengan normal.


2. Ibu mengalami kontraksi dengan nyeri perut yang berat  atau juga pusing sehingga sangat kepayahan tanpa mengeluarkan cairan dari jalan lahir: wajib wudhu bila ada yang menolong dan shalat semampunya tanpa kewajiban qadha’.


Syarat kondisi di atas diterangkan oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi (wafat 1320 H)


فَائِدَةٌ ) يَجِبُ عَلَى الْمَرِيْضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ مَعَ كَمَالِ شُرُوْطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَاجْتِنَابِ مُبْطِلاَتِهَا حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ وَلَهُ الْجُلُوْسُ ثُمَّ اِلاضْطِجَاعُ ثُمَّ اِلاسْتِلْقَاءُ وَاْلإِيْمَاءُ إِذَا وَجَدَ مَا تُبِيْحُهُ عَلَى مَا قُرِّرَ فِي الْمَذْهَبِ


Artinya, “Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat dengan syarat rukun yang lengkap dan menjauhi hal-hal yang membatalkan shalat sesuai dengan kemampuannya. Ia boleh duduk, tiduran miring, terlentang, lalu pada urutan terakhir memberi isyarat jika memang ada alasan (penderitaan) yang memperbolehkannya berdasarkan ketetapan madzhab Syafi’i. (Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, (Surabaya, Percetakan Al-Hidayah: tanpa tahun], halaman 78).


3. Ibu dalam kondisi yang sangat payah dan menderita disertai mengeluarkan cairan (ketuban dan darah) dari jalan lahir. Biasanya ini adalah fase mengejan untuk mengeluarkan bayi, yang mana fase ini bisa sebentar atau bisa saja memakan waktu berjam-jam.


Najis yang keluar terus-menerus dan tidak mungkin untuk menyucikannya adalah problem utama keabsahan shalat pada kondisi ini. Dalam Kitab Al-Wasit, Imam Ghazali Ath-Thusi (wafat 505 H) menyebutkan tiga pendapat tentang shalatnya.


الثَّالِثُ فِيمَا يُقْضَى مِنَ الصَّلَوَاتِ المُؤَدَّاةِ عَلى نَوْعٍ مِنَ الخَلَلِ  - الى ان قال - فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَنْهُ بَدَلٌ وَجَبَ القَضَاءُ كَمَنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلا تُرَابًا فَصَلَّى عَلَى حَسْبِ حَاِلِه أَوِ المَرْبُوْطِ عَلَى خَشَبَةِ إِذَا صَلَّى بِالإِيْمَاءِ أَوْ مَنْ عَلَى جُرْحِهِ أَوْ عَضُدِهِ أَوْ مَحْجَمِهِ نَجَاسَةٌ إِذْ لَا بَدَلَ لِإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ – الى ان قال - وَقَدْ قَال المُزَنِّي كُلُّ صَلَاةٍ وَجَبَتْ فِى الوَقْتِ فَلَا قَضَاءَ لَهَا وقاَلَ أَبو حَنِيفَةَ رَحِمه الله تعالى كُلُّ صَلَاةٍ تَفْتَقِرُ إِلَى القَضَاءِ فَلَا تُؤَدَّي فِى الوَقْتِ وَهُمَا قَوْلَانِ مُعْزَيَانِ إِلَى الشَّافِعِيِّ رَضِيَ ا لله عَنْهُ


Artinya, “Yang ketiga, shalat yang wajib diqadha karena dilakukan ada’ (pada waktunya) dengan kekurangan. – jika rukun atau syarat shalat yang ditinggalkan tidak memiliki pengganti maka (selain wajib ada’) juga wajib qadha’ seperti orang yang tidak mendapatkan air tidak pula debu, maka ia melakukan shalat sebisanya sesuai kondisi; orang yang diikat di kayu ketika hanya mampu shalat dengan isyarat; orang yang pada luka, lengan atas, atau bekas bekamnya terdapat najis karena tidak ada pengganti untuk menghilangkan najis (sebagai syarat shalat). Imam Al-Muzani berkata, setiap shalat yang wajib dilakukan ada' pada waktunya tidaklah perlu diqadha. Sedangkan Abu Hanifah berkata, setiap shalat yang perlu diqadha' tidaklah perlu dilakukan ada' pada waktunya. Dua pendapat ini disandarkan pada Imam Syafi'i RA (Al-Ghazali, Al-Wasith fil Mazhab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2014 M], juz I, halaman 131-132).


Dari penjelasan Imam Ghazali ini kita dapat menyimpulkan bahwa ibu yang dalam proses persalinan dan badannya terkena najis ketuban dan darah tanpa mampu menyucikannya terdapat tiga pendapat tentang shalatnya.


1. Wajib shalat seketika itu dan wajib pula qadha'. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab.


2. Wajib shalat seketika itu dan tidak wajib qadha'. Ini pendapat kedua yang dikutip dari Imam Al-Muzani.


3. Tidak wajib shalat seketika dan wajib qadha'. Ini pendapat ketiga yang dikutip dari Imam Abu Hanifah.


Sebaiknya kita bijak menyikapi dan menggunakan perbedaan pendapat ini. Jika masih mampu shalat dengan tiduran dan mengucapkan bacaan shalat, sebaiknya mengikuti pendapat mayoritas ulama mazhab untuk tetap shalat pada waktunya. Setelah selesai nifas shalat itu diqadha'. Namun bila kondisi sangat payah dan menderita sehingga kesulitan hanya untuk mengingat urutan dan mengucapkan bacaan shalat, silakan mengikuti pendapat ketiga yang tidak mewajibkan shalat ada', tetapi diqadha ketika syarat rukun shalat sudah bisa dipenuhi. Wallahu a’lam.


Nyai Dalliya HQ, Pengasuh Pondok Pesantren Fasihuddin Pasir Putih, Sawangan, Depok.