Syariah SHALAT KHUSYU II

Melatih Hati Menjadi Khusyu dalam Shalat

Sab, 29 Juni 2019 | 16:00 WIB

Imam al-Ghazali menerangkan enam istilah yang memiliki makna yang sebangun dengan khusyu. Keenam hal itu bila digabungkan akan menghasilkan kualitas khusyu dalam shalat. diantara keenam hal itu adalah; hudhurul qalbi (hadirnya hati), yaitu mengosongkan hati dari segala macam hal kecuali makna kata-kata yang terucap dalam shalat. Tentunya Ini mengandaikan adanya hafalan dan pengertian arti bacaan shalat itu sendiri.

Pengertian makna bacaan akan membantu mempermudah seseorang mengikat hati dalam kekhusyuan, karena hati tersibukkan dengan makna-makna itu. Namun perlu diwaspadai seringkali hati hadir bersama hafalan bacaan tapi bukan makna bacaan itu sendiri.

Sebagai kelanjutan dari hudhurul qalbi adalah at-tafahum yaitu pemahaman akan makna bacaan itu sendiri. Pemahaman ini berbeda-beda antara satu hamba dengan hamba lainnya, sebagaimana perbedaan pengetahuan mereka mengenai Al-Qur’an dan tasbih. Perbedaan pemahaman ini juga tergantung pada tingkat kehadiran hati masing-masing. Seringkali seorang hamba menemukan makna yang dalam ketika shalat yang tidak ditemukannya dalam kesempatan lain.

Jika dua hal tersebut (hudurul qalbi dan at-tafahum) dikategorikan sebagai aktivitas internal karena harus dijalankan ketika shalat, maka empat konsep selanjutnya lebih merupakan aktivitas eksternal. Keempat hal tersebut adalah ta’dhim, haibah, raja’, dan haya’.

Ta’dhim adalah kesadaran diri akan keagungan Allah swt sebagai Dzat Pengatur Kehidupan. Kepada-Nyalah tergantung semua kehidupan makhluk di alam ini. Ta’dhim kepada Allah swt ini mampu meningkatkan kualitas khusyu seseorang jika disertai dengan hudurul qalbi dan at-tafahum.

Adapun haibah adalah perasaan takut yang lahir dari perasaan ta'dhim. Berbeda dengan takut yang ditimbulkan karena adanya unsur kemudharatan. Misalkan takut jatuh dari ketinggian atau takut binatang buas. Keduanya adalah takut karena sesuatu yang ditakuti itu bisa mendatangkan kemudharatan. Sedangkan haibah adalah perasaan takut yang lahir karena keagungan sesuatu yang ditakuti. Sebagaimana seorang anak yang takut kepada orang tua. Bila hati seorang hamba telah merasakan haibah dalam shalat, maka kualitas kekhusyuannya pasti lebih tinggi dari yang tidak merasakan haibah.

Sedangkan raja’ yang secara bahasa adalah pengharapan, dapat diartikan sebagai harapan yang senantiasa hadir dalam hati akan adanya ridha Allah swt. Seorang hamba tentunya harus tahu diri sudah pantaskah dia mengharapkan ridha Allah swt, jika shalatnya tidak mampu mendatangkan rasa ta’dhim. Bagaimana mungkin seorang mengharapkan sesuatu dari orang lain tanpa didahului pengabdian? Meski demikian kewajiban hamba adalah mengharap kepada-Nya, disertai dengan usaha mendekat dan mengenal-Nya melalui shalat yang khusyu.

Dan yang terakhir adalah haya’ perasaan malu kepada kemurahan-Nya. Apakah masih pantas seorang hamba berharap rahmat dan ridha-Nya, bukankah rahmat dan ridha selama ini telah diberikan oleh-Nya secara cuma-cuma walaupun seorang hamba banyak melanggar larangan-Nya dan mengoleksi dosa-dosa?

Demikian enam hal yang seharusnya dijadikan materi ajaran dan bahan latihan seorang hamba ketika shalat, sebagaimana yang dituturkan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin. (Red. Ulil H)


Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Ahad, 11 Mei 2014 pukul 07:00. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua