Shalawat/Wirid

Tambahan Kata ‘Sayyidina’ dalam Shalawat Nabi

Sen, 21 Januari 2019 | 06:30 WIB

Salah satu hal yang sejak dahulu sampai saat ini menjadi perdebatan di kalangan umat Islam adalah penambahan kata sayyidinâ yang bisa diartikan sebagai tuan atau baginda dalam bershalawat kepada Nabi atau dalam menuturkan nama mulia beliau di luar shalawat. Sebagian kaum muslimin enggan menambahkan kata sayyidinâ di depan nama Muhammad dan sebagian yang lain lebih suka menambahkan kata tersebut sebelum mengucapkan nama sang nabi.

Salah satu alasan bagi mereka yang enggan menambahkan kata sayyidinâ adalah karena Rasulullah tidak menyebutkan kata itu ketika mengajarkan bacaan shalawat kepada para sahabat. Mereka ingin mengamalkan apa yang diajarkan oleh beliau apa adanya tanpa tambahan apa pun.

Sebagaimana diketahui bahwa ketika sahabat menanyakan perihal bacaan shalawat maka Rasulullah mengajarkan sebuah bacaan shalawat dengan kalimat yang tidak ada kata sayyidinâ di dalamnya. Saat itu Rasulullah bersabda:

قُولُوا اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ

Artinya: “Ucapkanlah Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad.” (Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim, [Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.], juz IV, hal. 305)

Atas dasar ajaran dan perintah Rasulullah inilah mereka tidak menambahkan kata sayyidinâ dalam bershalawat, pun dalam menyebutkan nama beliau di luar shalawat.

Adapun kelompok yang menambahkan kata sayyidinâ mereka tidak hanya melihat pada satu dalil hadits di atas namun juga memperhatikan banyak dasar dan alasan yang mendukungnya.

Di antara beberapa dalil yang menjadi rujukan mereka adalah sebagai berikut:

Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Saya adalah sayid (tuan)-nya anak Adam di hari kiamat.” (Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim, [Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.], juz IV, hal. 1782)

Dalam riwayat yang lain--sebagaimana dituturkan Imam Nawawi dalam Al-Minhaj—ada tambahan kalimat wa lâ fakhra (tidak sombong) untuk menjelaskan bahwa penuturan Rasul tentang ke-sayyid-annya bukan sebagai sikap kesombongan. Pernyataan Rasulullah tentang ke-sayyid-annya ini disampaikan kepada umatnya sebagai rasa syukur kepada Allah atas pemberian nikmat berupa kedudukan yang agung ini. Sebagaimana Allah memerintahkan agar menceritakan nikmat yang diberikan-Nya kepada orang lain; wa ammâ bi ni’mati Rabbika fa haddits. Pengakuan Rasulullah ini menjadi perlu agar kita sebagai umatnya memahami pangkat dan kedudukan beliau kemudian memperlakukan beliau sebagaimana mestinya serta mengagungkannya sesuai dengan pangkat dan kedudukannya yang tinggi itu. (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhâj, [Kairo: Darul Ghad Al-Jadid, 2008], jil. VIII, Juz XV, hal. 36)

Sementara Allah di dalam Surat Al-Fath ayat 8-9 menyatakan:

 إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengagungkan dan memuliakannya.”

Setidaknya dengan hadits dan ayat di atas menjadi layak dan semestinya bila sebagai umat memuliakan dan mengagungkan Rasulullah dengan menyertakan kata saayyidinâ saat bershalawat dan menyebut nama beliau. Rasulullah memang tidak menuturkan kata itu saat mengajari para sahabat perihal bacaan shalawat, namun sebagai umat tidakkah bersikap tahu diri dengan bersopan santun kepadanya?

Sebagai gambaran kecil, ketika seorang yang jauh lebih tua usianya atau seorang yang semestinya dihormati oleh kita memperkenalkan diri dengan menyebut namanya saja akankah kemudian kita memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja sebagaimana yang ia kenalkan, tanpa tambahan kata Bapak atau Ibu sebagai bentuk sopan santun dan penghormatan kepadanya? Tentu tidak!

Maka, bila sekadar kepada orang yang lebih tua saja kita mesti menghormatinya dengan panggilan yang layak, bagaimana dengan Rasulullah yang kedudukan dan kemuliannya sangat diagungkan oleh Allah? Ketika orang lain melecehkannya kita begitu marah, lalu mengapa untuk sekadar memanggil dan menyebutnya secara mulia kita enggan melakukannya? Wallâhu a’lam.


(Ustadz Yazid Muttaqin)