Sirah Nabawiyah

Berawal dari Doa Sayidina Ali RA untuk Kakek Imam Abu Hanifah

Sab, 1 Januari 2022 | 20:00 WIB

Berawal dari Doa Sayidina Ali RA untuk Kakek Imam Abu Hanifah

Pada waktu perayaan Norouz (perayaan tahun baru secara tradisional di Iran), kakek Abu Hanifah itu pernah mengirimkan hadiah yang cukup mewah dan mahal kepada sayidina Ali, dan itu diterimanya dengan penuh kehormatan.

Kesuksesan Abu Hanifah sebagai ulama besar, menjadi rujukan umat Islam dunia, tentu tak bisa lepas dari doa berkah sayidina Ali bin Abi Thalib untuk anak-cucu Tsabit, ayah Abu Hanifah itu. Wajar, Tsabit memang memiliki kedekatan dengan imam Ali karramallahu wajhah melebihi orang pada umumnya.


Bahkan, kedekatan leluhur Abu Hanifah dengan para pembesar Islam-termasuk khalifah keempat-sudah dibangun jauh sebelumnya. Yaitu sejak masa Zutha, ayah Tsabit atau kakek Abu Hanifah.


Dalam riwayat lain dikatakan, nama kakek Abu Hanifah bukan Zutha, tetapi Nu’man. Perbedaan riwayat ini berdampak besar khususnya bagi sejarah hidup leluhur Abu Hanifah. Penjelasan ihwal nasab tersebut dapat ditemukan dalam kitab Abu Hanifah; Hayatuhu wa ‘Ashruhu ’Ara’uhu wa Fiqhuhu (halaman 15-16) karya Muhammad Abu Zahrah.


Zutha Masuk Islam dan Awal Perjumpaannya dengan Sayidina Ali

Kakek Abu Hanifah yang bernama Zutha-menurut riwayat pertama-itu, adalah seorang yang berbudi luhur kelahiran Persia-salah satu suku Bangsa Iran-entah tahun berapa. Saya belum menemukan sejarawan yang mencatat tahun lahirnya.


Di Persia, Zutha adalah penganut ajaran Zoroastrianisme atau agama Majusi, satu ajaran yang lahir dan berkembang pertama kali di bumi Persia. Penganut Zoroastrianisme itu menyembah tuhan yang mereka sebut Ahura Mazya (Tuhan sang Bijaksana) dengan menjadikan api sebagai media ritual mereka. 


Seiring tersibak masa, perang demi perang pun berlalu, akhirnya Islam berhasil menguasai Khorasan dan Persia. Banyak para pembesar, konglomerat, dan orang mulia berkasta tinggi yang berhasil ditawan. Adalah seorang bernama Zutha, termasuk di antaranya. Beruntungnya, mereka ditawan oleh para pejuang Islam yang sejati. Orang-orang mulia dengan hiasan rasa perikemanusiaan yang dalam dan menjunjung tinggi kemerdekaan setiap orang. Sehingga, para tawanan waktu itu, tak terkecuali Zutha dibebaskan secara mudah oleh sang tuan. Kabarnya, penawan Zutha berasal dari tanah Arab, dari kabilah bani Taim bin Tsa’labah.


Tidak lama setelah pembebasannya, Zutha pun kemudian masuk Islam. Menurut para ulama sejarah mazhab, termasuk Syekh Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 130) mengatakan, bahwa pasca-penaklukan Khurasan dan Persia, pria yang terkenal berbudi luhur itu mendapat dua karunia besar, yaitu; (1) bebas dari perbudakan, dan (2) masuk Islam dengan sepenuh hati. Dua hal ini adalah pemberian Allah subhanahu wa ta’ala kepada Zutha dalam interval waktu yang tak lama.


Setelah Zutha masuk Islam, ia pun memutuskan untuk hijrah dari Persia ke Negeri Irak, tepatnya di Kota Kufah. Dan, kota tersebut menjadi tampat pertemuan pertama antara Zutha dan sayidina Ali bin Abi Thalib. Di tempat itulah perjumpaan mereka dimulai. Sejak itu juga, silaturahmi leluhur Abu Hanifah dengan sayidina Ali terus berlanjut sampai ke Tsabit, putra kandung Zutha.


Doa Sayidina Ali untuk Keberkahan Zuriah Tsabit

Zutha dan imam Ali tak hanya sebatas kenal, tapi sangat dekat sekali. Terbukti, saat mereka sering berkirim hadiah dan doa-doa terbaik. Pada waktu perayaan Norouz (perayaan tahun baru secara tradisional di Iran), kakek Abu Hanifah itu pernah mengirimkan hadiah yang cukup mewah dan mahal kepada sayidina Ali, dan itu diterimanya dengan penuh kehormatan.


Di lain waktu, saat bertemu, mereka saling menghormati laiknya persahabatan yang dijalin sejak bayi. Padahal, perkenalan mereka baru ‘kemarin sore’, belum benar-benar lama. Bahkan, hubungan mereka sekilas tak lebih dari sekadar sebagai khalifah (sekarang setingkat presiden) dan rakyat biasa. Sungguh istimewa. Pasti ada energi positif yang membuat keduanya serekat itu.


Sepeninggal Zutha, tali silaturahmi ini terus dipegang kuat oleh Tsabit, putranya yang lahir setelah ia masuk Islam. Syekh Abu Zahrah mengatakan:


فكان على اتصال بالإمام علي كرم الله وجهه كأبيه من قبله


Artinya, “Tsabit-ayah Abu Hanifah-terus menyambung tali silaturahmi dengan imam Ali karramallahu wajhah.  Keduanya punya pertalian yang juga kuat sebagaimana ayahnya.” (Tarikhul Madzahib al-Islamiyah, II/130).


Abu Zahrah melanjutkan, bahkan, sangat banyak riwayat yang menyatakan bahwa pada salah sebuah pertemuan mereka, imam Ali pernah memanjatkan doa untuk keberkahan anak cucu Tsabit. Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar mengabulkan doa itu. Ia pun akhirnya dikaruniai seorang anak yang ia beri nama Nu’man, yang sampai detik ini masyhur disebut Abu Hanifah. 


Buah doa sayidina Ali tersebut, kini menjadi sasaran pujian para ulama. Ibnul Mubarak pernah mengatakan:


أفقه الناس أبو حنيفة ما رأيت في الفقه مثله


Artinya, “Abu Hanifah adalah rajanya para pakar fiqih, aku tak pernah bertemu dengan orang sekaliber dia.” (Muhammad Ali As-Sayyis [Tarikh al-Fiqh al-Islami] halaman 105).

 


Dalam buku dan halaman yang sama, Syekh Ali as-Sayyis juga mengutip kalam Yahya bin Sa’id al-Qahthan yang berbunyi:


لا نكذب والله ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة وقد أخذنا بأكثر أقواله


Artinya, “Demi Allah, aku tidak berdusta. Tak pernah kami mendengar pandangan hukum terbaik selain dari Abu Hanifah, dan sangat banyak pendapatnya yang kami terima dan terapkan.”


Dari kisah ini, saya kembali tersadar bahwa orang hebat tak mungkin lahir dari benih dan rahim orang-orang biasa. Kalau pun tampak biasa, pasti perjuangan, tirakat, jiwa dan kedekatannya dengan Allah tidaklah sederhana. Mereka pasti istimewa. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.

 


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok NTB.