Sirah Nabawiyah

Kisah Kesalehan Imam Abu Hanifah

Jum, 24 Juli 2020 | 18:30 WIB

Kisah Kesalehan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah pernah berurusan dengan penguasa ketika Yazid bin Hubairah, gubernur Irak sebelum Marwan bin Muhammad, menawarkan jabatan hakim kepadanya. Ia menolak tawaran tersebut. (Ilustrasi: madina365.com ).

Imam Abu Hanifah lahir di Kufah, Irak, pada 80 Hijriyah/699 M dan wafat di Baghdad, Irak, pada 148 H/767 M. (Khudari Bek, Tarikh Tasyri Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 127). Ia lahir di masa sahabat. Imam Abu Hanifah yang terlahir dengan nama Nu’man bin Tsabit ini tergolong generasi tabi’in. Ia sempat bertemu dengan sejumlah sahabat terkemuka Rasulullah.


Imam Abu Hanifah berguru fiqih kepada Hammad bin Sulaiman. Ia juga berguru kepada ulama-ulama di generasi tabi’in, antara lain Atha bin Abi Rabah dan Nafi, budak Ibnu Umar. (Bek, 1995 M/1415 H: 127). Ia selesai menghafal Al-Quran dan ribuan hadits sejak belia.


Yang perlu diingat bahwa Irak di zamannya merupakan pusat gerakan dan perubahan sosial-politik Islam. Imam Abu Hanifah mengalami peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah. Ia pernah berurusan dengan penguasa ketika Yazid bin Hubairah, gubernur Irak sebelum Marwan bin Muhammad, menawarkan jabatan hakim kepadanya. Ia menolak tawaran tersebut. (Bek, 1995 M/1415 H: 127-128).


Imam Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi yang sangat berpengaruh dalam kajian fiqih Islam hingga hari ini. Pengikutnya banyak tersebar di pelbagai belahan dunia, terutama di Afghanistan. Keilmuannya yang begitu dalam menempatkannya ke dalam maqam mujtahid.


Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah, memasukkan nama Imam Abu Hanifah ke dalam jajaran nama mufti di Kota Kufah. Mereka adalah Hammad bin Abu Sulaiman, Sulaiman bin Muktamar, Sulaiman Al-A’masy, Mis’ar bin Kidam, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Abdullah bin Syabramah, Said bin Asyu’, Syuraik Al-Qadhi, Qasim bin Ma’an, Sufyan Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. (Ali Jumah, Shina’atul Fatwa, [Mesir, Nahdhatu Mishr: 2008 M], halaman 29).


Keilmuan Imam Abu Hanifah diakui masyarakat dari pelbagai lapisan, terutama kalangan ulama di zamannya. Dengan kealimannya itu, ia sanggup menjawab puluhan masalah baru yang belum pernah dihadapi fuqaha sebelumnya.


Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha, penulis Kitab I’anathut Thalibin, menceritakan Imam Abu Hanifah dari segi kesalehan di awal karyanya. Ia menyebut Imam Abu Hanifah sebagai orang yang ahli ibadah, zuhud, dan ahli makrifat.


As-Sayyid bin Umar menceritakan bahwa pendiri Mazhab Hanafi ini pernah shalat subuh dengan wudhu yang dipakai untuk shalat isya di awal malam. Hal ini dijalaninya selama 40 tahun. (Sayyid Bakri, I’anathut Thalibin, [Mesir, Daru Ihya’il Kutubil Arabiyah: tanpa tahun], juz I, halaman 17).


Sebuah riwayat mengisahkan bahwa suatu isya ia mendengar seseorang imam membaca surat Az-Zalzalah dalam shalat berjamaah. Karena sangat khusyuk dan sedihnya, ia memegang jenggot hingga terbit fajar (subuh). Sambil meneteskan air mata, ia mengatakan, “Kita akan dibalas kelak atas amal meski sebesar zarrah.” (Bakri, tanpa tahun: I/17).


Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha yang bermazhab Syafi’iyah ini mendoakan Imam Abu Hanifah agar dilimpahkan rahmat dan ridha Allah.


Penulis: Alhafiz Kurniawan

Editor: Abdullah Alawi