Sirah Nabawiyah

Di Balik Kisah Hijrah Rasulullah dan Para Sahabat

Sab, 5 Februari 2022 | 10:00 WIB

Di Balik Kisah Hijrah Rasulullah dan Para Sahabat

Keputusan hijrah memiliki konsekuensi besar. Selain harus meninggalkan semua aset kekayaan Muslim di Makkah, juga harus bersiap-siap menerima respons berbahaya dan cukup berisiko dari kaum musyrik.

Tekanan dari orang-orang musyrik semakin garang seiring keberhasilan dakwah Rasulullah saw di Makkah. Pada puncaknya, Allah swt mengizinkan Rasulullah bersama seluruh umat Muslim di Makkah untuk migrasi (hijrah) ke Yatsrib (Madinah). Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kekerasan musuh yang sudah di luar batas, selain untuk membentuk ekosistem dakwah baru yang lebih mendukung.


Persiapan hijrah

Sebelum melakukan hijrah ke Yatsrib, Rasulullah sudah menyiapkan banyak hal, termasuk melakukan konsolidasi basis kekuatan Muslim di kota tujuan. Jauh hari sebelum hijrah, Rasulullah sudah mengislamkan beberapa penduduk Yatsrib. Pertama, pada tahun kesebelas dari nubuwah atau tepat saat musim haji, sebanyak enam orang Yatsrib memeluk Islam.  


Kembali ke Yatsrib, keenam orang itu turut mengajak penduduk setempat untuk memeluk agama Islam. Usaha mereka membuahkan hasil. Pada musim haji berikutnya, dua belas orang datang ke Makkah untuk berjuma Rasulullah. Setelah menemui Rasulullah di Mina, mereka melakukan baiat. Inilah yang dinamakan Baiat Aqabah Pertama. 


Seperti yang dilakukan enam orang sebelumnya, sekembali di Yatsrib dua belas orang itu mengajak penduduk setempat untuk memeluk Islam. Usaha mereka juga berhasil, bahkan lebih banyak menggalang masyarakat untuk mengikuti ajaran Rasulullah. Terbukti, pada musim haji tahun ke-13 dari nubuwah atau tepat pada bulan Juni 622 M, sebanyak 70 Muslim dari Yatsrib bersambang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.


Kedatangan mereka tidak hanya untuk haji, tetapi juga untuk berjumpa Rasulullah saw dan melaksanakan baiat. Ringkas hikayat, mereka bertemu Rasulullah meski dengan cara sembunyi-sembunyi. Peristiwa ini kemudian dinamakan sebagai Baiat Aqabah Kedua atau Baiat Aqabah Kubra. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Riyadh: Muntada ats-Tsaqafah, 2013], h. 133-141)


Memulai hijrah

Semenjak peristiwa baiat aqabah kubra, Rasulullah dinilai telah berhasil memancangkan fondasi kokoh yang tidak hanya dilakukan di Makkah, tetapi juga di Yatsrib. Sejak saat itu pula, Allah mulai mengizinkan orang-orang Muslim untuk melakukan hijrah ke Yatsrib guna menghindari tekanan-tekanan orang musyrik sekaligus membangun ekosistem baru yang lebih menjanjikan untuk membesarkan Islam.


Kendati begitu, keputusan hijrah memiliki konsekuensi sangat besar. Selain harus meninggalkan semua aset kekayaan Muslim di Makkah, juga harus bersiap-siap menerima respons berbahaya dan cukup berisiko dari kaum musyrik. Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam Raḫîqul Makhtûm menjelaskan:


ولم يكن معنى الهجرة إلا إهدار المصالح، والتضحية بالأموال، والنجاة بالشخص فحسب، مع الإشعار بأنه مستباح منهوب، قد يهلك في أوائل الطريق أو نهايتها، وبأنه يسير نحو مستقبل مبهم، لا يدري ما يتمخض عنه من قلاقل وأحزان.


Artinya: “Hijrah ini bukan sebatas untuk mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta benda, dan menyelamatkan nyawa pribadi, setelah hak-hak mereka banyak yang dirampas, akan tetapi mereka juga harus siap jika harus binasa di awal hijrah atau pada akhirnya. Hijrah ini juga menggambarkan masa depan yang belum jelas, mereka tidak tahu duka lara apa saja yang kelak menimpa setelah itu. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142)


Parlemen Darun Nadwah

Benar saja, setelah Rasulullah berhasil menghijrahkan para sahabat ke Yatsrib, kaum musyrik naik pitam bukan kepalang. Peristiwa hijrah ini telah berhasil membuat orang musyrik merasa khawatir. Sebab, dengan langkah ini berarti kelompok Muslim sudah semakin militan, belum lagi Yatsrib yang digunakan sebagai lokasi hijrah adalah tempat yang sangat strategis, termasuk dalam segi ekonomi karena menjadi jalur kafilah dagang yang melewati pesisir Laut Merah menuju ke Syam. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142)


Penting dicatat, saat itu seluruh orang Muslim sudah berhasil hijrah ke Madinah, kecuali beberapa yang berhasil ditahan oleh orang musyrik. Posisi Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali juga masih di Makkah, menunggu restu dari Allah untuk turut hijrah. (Abdussalam Harun, Tahdzibus Sîrah Ibni Hisyâm, [Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1985], h. 110)


Pada hari Kamis 26 Shafar tahun 14 dari nubuwah, atau bertepatan 12 September 622 M (kira-kira dua bulan setelah peristiwa Baiat Aqabah Kubra), kaum musyrik mengadakan pertemuan anggota Parlemen Makkah di Darun Nadwah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh perwakilan setiap kabilah dari suku Quraisy. Berikut adalah nama tokoh-tokoh tersebut:

 

1. Abu Jahal bin Hisyam dari kabilah Bani Makhzum

2. Jubair bin Muth’im dan Thu’aimah bin Adi serta Al-Harits bin Amir dari Bani Naufal bin Abdi Manaf.

3. Syaiban bin Utbah, anak Rabi’ah serta Abu Sufyan bin Harb dari Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf.

4. An-Nadhr bin Al-Harits dari Bani Abdid-Dar, yatu orang yang pernah menimpukkan isi perut hewan yang sudah disembelih kepada Nabi Muhammad.

5. Abul Bakhtari bin Hisyam, Zam’ah bin Al-Aswad dan Hakim bin Hizam dari Bani Asad bin Abdul Uzza.

6. Nubih dan Munabbih, anak Al-Hajjaj dari Bani Sahm.

7. Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumah.


Hasil pertemuan itu memutuskan agar masing-masing drai kabilah menunjuk seorang pemuda yang gagah perkasa, berdarah bangsawan, dan mampu menjadi penengah. Setelah pemuda-pemuda tersebut berhasil membunuh Muhammad, maka Bani Abdi Manaf (pendukung Muhammad) tidak akan sanggup melawan karena jika melawan maka sama saja Bani Abdi Manaf harus melawan semua kabilah. 


Tibalah waktunya orang musyrik untuk menghabisi Rasulullah. Malam hari tepat biasa Rasulullah sudah tertidur di ranjangnya, mereka sudah mengepung dan siap untuk menikam di tempat tidurnya. Sayang sekali, atas bisikan Jibril, Rasulullah sudah mengetahui rencana busuk ini. 


Begitu detik-detik menjelang penikaman, Ali sudah berada di ranjang menggantikan Rasulullah dengan ditutup selimut. Aksi kaum musyrik pun gagal. Sementara Rasulullah sendiri berhasil menyelinap kabur dengan mengelabuhi pandangan musuh dengan menaburi debu ke kepada mereka sambil membaca ayat Al-Qur’an:


وَجَعَلۡنَا مِنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ سَدّٗا وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ سَدّٗا فَأَغۡشَيۡنَٰهُمۡ فَهُمۡ لَا يُبۡصِرُونَ  


Artinya: “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin [36]: 9) (Safyurrahman al-Mubarakfuri, h. 142-147)


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad