Sirah Nabawiyah

Saat Pintu Rumah Rasulullah Penuh dengan Kotoran

Kam, 30 Desember 2021 | 04:00 WIB

Saat Pintu Rumah Rasulullah Penuh dengan Kotoran

Nabi Muhammad Rasulullah saw. (Foto: NU Online)

Nabi Muhammad saw sebagai uswah atau teladan bagi umatnya. Beliau laksana oase di tengah padang pasir, sumber cahaya di tengah kegelapan. 


Rasulullah saw menunjukkan cinta kasih yang tertinggi terhadap orang-orang yang beriman, sebagaimana tertuang dalam firman Allah swt:


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ


Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS at-Taubah : 128)


Dikisahkan, ketika salah seorang sahabat beliau wafat, beliau bertanya kepada orang-orang di pemakaman apakah almarhum memilik utang? Nabi membacakan ayat di atas dan mengumumkan, siapa pun yang telah memberi pinjaman kepada almarhum agar datang menemui beliau untuk pelunasan utangnya. 


Rasulullah saw sebagai sosok kebanggaan umat manusia ini selalu menghargai setiap orang. Dalam berbuat baik kepada orang lain, beliau tidak memandang agama yang dianut oleh manusia.


Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setiap kali Rasulullah membuka pintu pagi-pagi untuk menjalankan shalat Subuh di masjid, sudah tertumbuk di ambang pintu rumah beliau kotoran. Nabi mengambil air dan membersihkan tempat itu dahulu, baru bisa meneruskan niatnya untuk shalat subuh di masjid.


Keesokan harinya, bukan setumpuk kotoran manusia yang beliau dapatkan di muka pintu, malah dua tumpuk besar. Dan esok harinya, bertambah lagi hingga tingga gundukan besar. Demikianlah selanjutnya. (baca Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 2007)


Namun Nabi tidak mengeluh. Dengan sabar beliau bersihkan sendiri tempat bernajis itu tiap hari, sampai akhirnya orang jahat yang melakukan perbuatan keji itu merasa bosan sendiri dan menghentikan tindakannya menumpuk kotoran di depan pintu rumah Nabi Muhammad.


Begitulah teladan Rasulullah dalam menghadapi orang-orang yang jahat dan ingin mencelakakannya. Beliau membalasnya dengan kebaikan. Air tuba dibalas air susu. Dan ini membuat musuh-musuhnya malu, insyaf, lalu meminta maaf, bahkan ada pula yang menerima risalah Rasulullah. Kecuali, tentu saja, Abu Jahal, karena gembong kaum musyrikin ini, meski mengetahui kebenaran risalah Rasulullah, hatinya telah tertutup oleh kesombongannya.


Itulah teladan yang ditunjukkan oleh junjungan kita nabi besar Muhammad dalam membalas kejahatan orang lain yang ditimpakan kepada beliau. Kesabaran dan kasih sayang beliau justru kerap kali melunakkan hati para musuhnya. 


Nabi Muhammad adalah manusia kasih sayang. Beliau sering kita sebut dalam dzikir-dzikir kita dengan sebutan: Habibullah. Alias kekasih Allah. Yang memiliki arti dia mencintai dan dicintai Allah. Para sufi seperti Imam Rabbani, Maulana Khalid dan Syah Waliyyullah Addahlawi mengatakan bahwa cinta adalah peringkat yang tertinggi.


Satu peristiwa lain yang berhubungan dengan cinta, belas kasih dan toleransi beliau yang luas kepada umat manusia terjadi selama Penaklukan kota Makkah (Fatkhu Makkah). Setelah penaklukan selesai, semua orang berkumpul di sekitar Nabi Muhammad dan menatap mata beliau, mereka mulai menunggu beliau membuat keputusan mengenai nasib mereka.


Sampai di saat-saat terakhir, sebuah kelompok kecil, yang di antaranya adalah anak Abu Jahal, Ikrimah, telah menghadang orang-orang muslim untuk memasuki Makkah. Sekali lagi, rasa kekerasan dan dendam mereka meradang. Pada saat kondisi dan suasana yang begitu tegang ini, Rasulullah saw bertanya kepada orang-orang Makkah yang menunggu dengan antisipasi dan kecemasan, “Apa yang dapat aku lakukan untuk kalian?” tanya beliau.


Beberapa orang Makkah yang tahu benar betapa mulia, pemaaf dan kemurahan hati beliau, tidak kuasa menahan diri dan menunjukkan perasaan dan berkata, “Engkau adalah orang yang paling murah hati dan paling mulia.” Tujuan Nabi Muhammad saw adalah bukan harta maupun kekayaan, bukan juga soal kekuasaan, bukan juga penaklukan. Tujuan beliau adalah untuk menyelamatkan umat manusia.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon