Sirah Nabawiyah

Dialog Nabi Musa dan Allah tentang Wabah Penyakit

Ahad, 30 Januari 2022 | 09:15 WIB

Dialog Nabi Musa dan Allah tentang Wabah Penyakit

Ilustrasi Nabi Musa. (Foto: NU Online)

Pentingnya menghadirkan nama Allah SWT dalam setiap ikhtiar lahir ialah seperti terungkap pada kisah Nabi Musa ketika berusaha mengobati penyaktinya. Kisah tersebut dijelaskan Nadirsyah Hosen (2020). Ia mengungkapkan sebuah riwayat yang ditulis Imam Ar-Razi dalam tafsirnya. Saat menafsirkan surah Al-Fatihah, Imam Ar-Razi menuliskan sejumlah kisah yang menceritakan aspek spiritual dari kalimat bismillah. Salah satu kisahnya ini:


Nabi Musa merasakan sakit di perutnya. Beliau mengadu kepada Allah yang kemudian menyuruhnya mengambil sejenis daun di padang pasir. Nabi Musa mengunyahnya dan sembuh dengan izin Allah. Kemudian Nabi Musa mengalami masalah lagi dengan perutnya, maka Nabi Musa langsung mengunyah kembali dedaunan itu, namun sakitnya malah bertambah nyeri.


Beliau mengadu: “Ya Rabb, waktu kali pertama aku makan, aku langsung sembuh. Tapi, kali kedua tidak hanya nggak sembuh, tapi malah bertambah parah.”


Allah menjawab: “Kali pertama kamu datang mengadu kepada-Ku memohon kesembuhan. Tapi, pada kali kedua kamu langsung saja mengunyahnya tanpa meminta petunjuk dan izin dari-Ku. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia ini semuanya adalah racun dan penawarnya hanyalah dengan menyebut nama-Ku?”


Hal ini menunjukkan bahwa setiap tindakan memerlukan pendidikan batin dengan tetap berdoa kepada Allah. Meskipun tindakan tersebut sesuatu yang biasa kita lakukan. Dalam hal ini, penting untuk tetap memohon ridha Allah dalam setiap amal kebaikan yang kita lakukan.


Peneliti asal Singapura, Mohamed Imran Mohamed Taib (2020) menjelaskan, pemikiran keagamaan terhadap wabah bukanlah pemahaman tunggal. Dalam sejarah pemikiran Islam, kita juga mengenal nama Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib (1313-1375)–seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad ke-5 dimasa pemerintahan Islam di Granada, Andalusia pada abad ke-14.


Ibn al-Khatib merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan ‘Teori Contagion’. Dengan menggunakan kaidah sains alam, dan berdasarkan pengalaman dari pengamatan atas wabah Black Death yang menimpa Eropa, termasuk Andalusia di abad ke-14, al-Khatib menolak dengan keras pandangan ulama konservatif terkait kepasrahan kepada Allah dalam menyikapi wabah penyakit menular. Baginya, penyebab wabah mesti dibuktikan melalui data, penelitian, renungan, dan penglihatan secara mendalam.


Di sini menunjukkan bahwa dalam peristiwa tersebut terdapat dua corak pemikiran yang saling berseberangan. Pertama, adalah corak pemikiran yang berlandaskan pada postulat agama dan menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi atau pun fiqih. Kedua, ialah corak pemikiran yang terbuka kepada kajian empirik sehingga jawabannya mengalir dari bukti, bukan atas dasar penerimaan secara dogmatik.


Kita semua juga dapat merenungi kisah yang pernah terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Dimana pada zaman pemerintahan beliau pernah terjadi wabah yang bermula di daerah Awamas, sebuah kota sebelah barat Yerussalem, Palestina.


Muhammad Husein Haekal dalam Umar bin Khattab (2007) menjelaskan, kala itu wabah menyebar hingga ke Syam (Suriah) bahkan ke Irak. Diperkirakan kejadian wabah ini akhir 17 Hijriah dan memicu kepanikan massal saat itu.


Sayidina Umar dan pasukannya disarankan untuk berbalik. Namun, salah seorang sahabat mengatakan, apakah lantas si sebagai pemimpin lari takdir Allah? Umar menanggapi bahwa dirinya dan pasukannya lari dari takdir Allah yang satu (buruk) ke takdir Allah yang lain (baik).


Seketika, sahabat Abdurrahman bin ‘Auf memperkuat Khalifah Umar mengenai sabda Nabi Muhammad SAW yang pernah mengatakan:


“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)


Pada akhirnya wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Dengan izin Allah SWT dan kecerdasannya, Amr mampu menyelamatkan Syam dari wabah. Amr bin Ash berkata:


“Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Maka hendaklah berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”


Saat itu seluruh warga mengikuti anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali. (Fathoni)