Sirah Nabawiyah

Empat Alasan Bilal bin Rabah Dipilih Menjadi Muadzin Pertama

Jum, 14 Desember 2018 | 13:30 WIB

Empat Alasan Bilal bin Rabah Dipilih Menjadi Muadzin Pertama

Empat Alasan Bilal bin Rabah Dipilih Menjadi Muadzin Pertama

Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah (Ethiopia). Majikannya, Umayyah bin Khalaf, adalah salah satu elit musyrik Makkah yang sangat menentang Rasulullah dan dakwah Islam. Bilal mulai tertarik dengan Islam ketika sering mendengar Umayyah bin Khalaf dan teman-temannya ‘membicarakan’ Rasulullah dan Islam. 
 
Singkat cerita, akhirnya Bilal menemui Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Ummayah bin Khalaf yang mengetahui budaknya masuk Islam marah besar. Berbagai macam tindakan kasar dan sadis dilakukan untuk memurtadkan Bilal. Mulai menjemur Bilal di padang pasir tanpa pakaian hingga menjatuhinya batu besar. Tapi bilal tetap keukeuh dengan keyakinan barunya, Islam.
 
Abu Bakar memerdekakan Bilal bin Rabah setelah mengetahui keadaannya yang begitu malang. Semenjak itu, Bilal selalu berada di dekat Rasulullah. Ia ikut berhijrah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya. Tempat tinggal Bilal pun tidak jauh dengan rumah Rasulullah ketika di Madinah. Bilal menjadi ahlu shuffah dan tinggal di emperan Masjid Nabawi bersama para sahabat lainnya, sementara Rasulullah tinggal di sebuah bilik yang masih menyambung dengan Masjid Nabawi.    
 
Di dalam Islam, semua manusia itu memiliki derajat yang sama. Hanya ketakwaannya lah yang membuat mereka mulia di sisi Allah, bukan warna kulit, suku, atau rasnya. Hal itu lah yang dialami Bilal. Meskipun ia berkulit hitam, berambut keriting, dan berlatar belakang budak namun Bilal lah yang dipilih Rasulullah untuk mengemban tugas yang mulia, yaitu menjadi muadzin pertama. 
 
Tentu saja ada omongan miring terkait hal ini. Terutama saat Bilal mengumandangkan adzan di atas Ka’bah ketika peristiwa Fathu Makkah. Kata mereka, apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah.
 
Lantas apa yang menyebabkan Bilal dipilih untuk menjadi muadzin pertama? Merujuk buku Ash-Shuffah (Yakhsyallah Mansur, 2015), setidaknya ada empat alasan mengapa Bilal diangkat menjadi penyeru umat Islam untuk shalat untuk yang pertama kalinya. Pertama, Bilal memiliki suara yang lantang dan merdu. Mungkin ini menjadi faktor pertama mengapa Rasulullah memberikan tugas kepada Bilal untuk menjadi muadzin pertama dalam Islam. Dikisahkan bahwa siapapun akan bergetar hatinya manakala mendengar Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan atau membaca Al-Qur’an.  
 
Kedua, Bilal sangat menghayati kalimat-kalimat adzan. Ketika Bilal masih menjadi budak Ummayah bin Khalaf, dia disika dengan siksaan yang sangat keras agar keluar dari Islam. Mulai diseret dan dijemur di padang pasir dengan tanpa pakaian hingga dijatuhi batu besar tepat di atas dadanya. Bilal bergeming. Dia bahkan terus mengucapkan ahad, ahad, ahad, ketika disika. 
 
Pengangkatan Bilal sebagai muadzin pertama merupakan penghargaan kepadanya. Mengapa? Karena apa yang diucapkan Bilal ketika disiksa –ahad, ahad, ahad- memiliki unsur persamaan dengan kalimat-kalimat adzan, yaitu tauhid atau meng-esakan Allah. 
 
Ketiga, Bilal memiliki kesiplinan yang tinggi. Adzan dikumandangkan lima kali dalam sehari semalam. Waktunya pun sudah ditetapkan atau menjelang dilaksanakannya shalat fardhu. Untuk itu, diperlukan orang yang memiliki kedisiplinan yang tinggi untuk mengemban tugas sebagai muadzin. Dan Bilal bin Rabah adalah orang yang memiliki kedisplinan yang tinggi itu. 
 
Empat, Bilal memiliki keberanian. Untuk mengumandangkan adzan pada masa-masa awal dakwah Islam, maka diperlukan keberanian yang tinggi. Maklum saja, prinsip tauhid yang ada dalam kalimat adzan tentu saja bertentangan dengan kondisi masyarakat pada saat itu, dimana kemusyrikan dan penolakan terhadap Islam masih kencang. Bilal sudah terbukti memiliki keberanian yang tinggi. Disiksa sekeras apapun saat menjadi budak, dia tetap memegang teguh keyakinannya, Islam. 
 
Bilal terus mengumandangkan adzan. Namun saat Rasulullah wafat, dia tidak bersedia lagi menjadi muadzan. Alasannya, Bilal air matanya pasti akan bercucuran manakala sampai pada kalimat “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” sehingga membuatnya tidak kuasanya melanjutkan adzan. Bilal mengaku kenangan lamanya bersama Rasulullah akan muncul ketika sampai pada kalimat itu.
 
Khalifah Abu Bakar mencoba merayu Bilal untuk adzan lagi, namun usahanya tidak berhasil. Bilal bersedia untuk mengumandangkan adzan lagi ketika Khalifah Umar bin Khattab tiba di Yerusalem. Atas permintaan umat Islam, Khalifah Umar meminta Bilal untuk adzan sekali lagi saja. Bilal akhirnya naik mimbar dan adzan. Semua yang hadir menangis tersedu sedan mendengar adzan Bilal lagi, termasuk Khalifah Umar. Dan itu menjadi adzan terakhir Bilal. (A Muchlishon Rochmat)