Sirah Nabawiyah

Kenaikan Harga Barang saat Pandemi dalam Sejarah Wabah

Rab, 2 Maret 2022 | 15:00 WIB

Kenaikan Harga Barang saat Pandemi dalam Sejarah Wabah

Situasi yang sulit saat pandemi ditambah dengan daya beli masyarakat yang rendah tentu membuat bahan makanan menjadi prioritas pemenuhan kebutuhan. (Ilustrasi: pixabay)

Saat pandemi Covid-19 belum mereda, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan naiknya harga bahan-bahan pokok. Tidak hanya harganya yang naik, persediaan beberapa bahan makanan seperti kedelai, minyak goreng, dan daging juga sempat langka di pasaran.


Berbagai penyebab kenaikan harga dan kelangkaan komoditas tersebut perlu diantisipasi, terutama dengan intervensi dan peran pemerintah.


Kenaikan harga barang-barang tersebut menjadikan masyarakat resah. Situasi yang sulit saat pandemi ditambah dengan daya beli masyarakat yang rendah tentu membuat bahan makanan menjadi prioritas pemenuhan kebutuhan.


Apabila harga bahan makanan ini naik, situasi keuangan rumah tangga akan terpengaruh. Apalagi, bahan-bahan makanan tersebut sangat strategis untuk mencukupi nutrisi dan kesehatan masyarakat pada masa pandemi.


Para ulama tidak pernah diam melihat penderitaan masyarakat. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia pun angkat suara terhadap kenaikan harga. Seruan kepada pemerintah untuk mengusut setiap bentuk penimbunan barang merupakan bentuk kepedulian ulama terhadap masyarakat. Hal ini secara konsisten dilakukan sejak awal pandemi Covid-19 hingga sekarang.


Selain dalam bentuk seruan untuk pemerintah, ulama juga ada yang menuliskan fenomena kenaikan harga saat pandemi dalam catatannya. Misalnya ketika terjadi wabah Maut Hitam/Black Death pada tahun 749 Hijriah, terdapat catatan dari Syekh Nashiruddin bin Al-Furat dalam Tarikh-nya sebagai berikut:


“Dia juga berkata, barang dagangan menjadi langka karena sangat sedikit pemasoknya.”


Karena langka, dicontohkan sebuah delima harganya sangat mahal sebagai berikut:


وبيعت الرُّمّانة الوا حدة بنصف دينر


Artinya, “Bahkan, satu buah delima dihargai setengah dinar.” (Imam Bahauddin as-Subki tentang thaun tahun 749 H dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Tha'un karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 213)


Dalam penjelasan tersebut, sebab dari mahalnya harga delima adalah karena sedikitnya pasokan. Di sisi lain, permintaan terhadap kebutuhan buah delima sangatlah banyak. Buah delima diketahui merupakan sumber nutrisi bervitamin yang sangat dibutuhkan untuk menunjang kesehatan pada masa pandemi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa harganya naik hingga setengah dinar, padahal 1 dinar senilai dengan 4,25 gram emas 22 karat.


Penduduk di daerah yang terdampak wabah Maut Hitam biasa mengolah delima menjadi minuman sirup untuk kesehatan. Mengenai delima sebagai kebutuhan pokok untuk menunjang kesehatan, Al Hafiz Adz-Dzahabi menuliskan dalam Kitab Thibbun Nabawi sebagai berikut.


ومنه يعمل شراب الرمان المنعنع،يمنع القيءويقوي المعدة


Artinya, “Sirup delima yang diformulasikan bersama dengan daun mint bisa menghentikan muntah-muntah dan membentengi perut.” (Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, Beirut, Dar Ihyaul Ulum, 1990: halaman 122-123).


Khasiat yang baik dari delima tersebut sangat bermanfaat untuk rangkaian pengobatan pada wabah Maut Hitam. Orang yang terkena wabah ini biasanya harus diobati dengan pengobatan yang lengkap.


Sirup delima yang dikombinasikan bersama dengan daun mint bermanfaat untuk pengobatan tahap akhir dalam rangkaian terapi untuk wabah Maut Hitam. Tidak sedikit pasien yang terpapar mengalami gejala muntah darah, muntah, atau diare. Keluhan-keluhan ini bisa diatasi dengan sirup delima.


Pentingnya barang-barang konsumsi seperti buah dan bahan makanan lainnya saat pandemi perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain itu, komoditas seperti obat, vitamin, alat-alat kesehatan juga perlu dijaga pasokannya agar tetap stabil.


Pada masa awal pandemi Covid-19, banyak masyarakat yang kesulitan mendapatkan masker, oksigen, dan multivitamin. Bila mereka mendapatkannya, tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan untuk membelinya.


Bahan makanan yang termasuk kebutuhan pokok juga dikisahkan pernah mengalami kekosongan saat pandemi Maut Hitam melanda Mesir. Ibnu Abi Hajalah menjelaskan bahwa seorang saudagar khusus kesultanan telah menceritakan bahwa komoditas perdagangan (bahan makanan) sempat habis.


وخلت حكوركثيرة حول القا هرة،فلم تسكن بعد ذلك


Artinya, “Persediaan makanan di sekitar Kairo habis dan tidak ditinggali setelah itu.” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzlul Ma‘un fi Fadhlit Tha‘un, Riyadh, Darul Ashimah, tanpa tahun: halaman 380).


Ibnu Abi Hajalah adalah seorang ulama yang dikenal memiliki nama lengkap Syekh Syihabuddin Ahmad bin Yahya bin Abi Hajalah. Pada masa wabah Maut Hitam, beliau mendapatkan keterangan dari pejabat yang membidangi ekonomi, bernama Majduddin al-As’ardi, sekaligus seorang pedagang khusus kesultanan yang menjadi wakil pemerintah untuk menjaga Kota Kairo.


Pedagang yang menguasai ekonomi pasar mengetahui secara detail arus barang dan persediaannya. Mereka memiliki peran penting untuk menjalankan roda perekonomian sekaligus memiliki informasi yang diperlukan oleh pemerintah apabila ingin menjaga kestabilan harga.


Mereka juga memahami kemungkinan adanya penimbunan yang dilakukan oleh oknum. Oleh karena itu, ulama yang menjadi penasihat pemerintah seperti Ibn Abi Hajalah juga mengambil keterangan dari sosok pedagang ini.


Maut Hitam merupakan wabah tha'un yang menimbulkan banyak kematian di Mesir. Bahan makanan yang langka pada saat wabah tersebut memang tidak bisa dihindarkan karena banyak orang yang sakit dan meninggal serta aktivitas ekonomi terganggu.


Petani dan peternak yang meninggal karena wabah serta hewan ternak yang juga mati akibat wabah Maut Hitam tentu mempengaruhi persediaan bahan makanan. Pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan produksi dalam negeri di tempat yang terdampak wabah perlu menjadi alternatif solusi.


Di saat komoditas impor harganya tidak bisa terkendali, barang-barang kebutuhan produksi dalam negeri dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan. Keseriusan untuk mewujudkan kestabilan harga dengan mencegah penimbunan juga perlu digencarkan kembali.


Fenomena kenaikan harga bahan makanan akhir-akhir ini hendaknya menjadikan pemerintah waspada. Berbagai barang lainnya yang mempengaruhi kehidupan orang banyak dapat mengalami kelangkaan di waktu-waktu mendatang saat masyarakat masih dihadapkan pada kesulitan karena pandemi.


Sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian khusus agar dapat menjamin kestabilan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat.


Kepedulian dan peran ulama sangat diperlukan saat harga-harga kebutuhan masyarakat naik. Selain mengingatkan pemerintah, para ulama juga mengamati fenomena ekonomi yang terjadi di lapangan.


Apabila diindikasikan ada keganjilan dalam mekanisme ekonomi pasar, maka kepedulian ulama pun mengemuka, baik melalui suara maupun catatan-catatannya. Sudah selayaknya kaum muslimin semakin mencintai ulama dengan perjuangan-perjuangannya yang nyata untuk kemaslahatan umat.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.