Sirah Nabawiyah

Kisah Persaudaraan Kebangsaan atau Ukhuwah Wathaniyah pada Negara Madinah

Rab, 17 Agustus 2022 | 21:00 WIB

Kisah Persaudaraan Kebangsaan atau Ukhuwah Wathaniyah pada Negara Madinah

Komunitas sosial-politik yang dibangun Rasulullah saw di Madinah mempersatukan masyarakat Madinah yang heterogen dengan semangat ukhuwah wathaniyah. (Ilustrasi: gencbirikim.net)

Perbedaan suku, ras, bangsa, bahkan agama di Yatsrib tidak menjadi penghalang bagi Nabi Muhammad untuk membangun sebuah negara yang bersatu dan berdaulat, tapi justru menjadi kesempatan baginya dalam mempersatukan umat yang bahkan sempat terjebak dalam konflik saudara selama puluhan tahun. 


Inilah negara yang kemudian dikenal dengan Madinah. Bangsa yang bersatu di tengah kemajemukan rakyatnya ini mampu berdiri kokoh dengan semangat persaudaraan bangsa tanah airnya. Bagaimana kisahnya? Simak selengkapnya. 


Aus dan Khazraj 

Sebelum Rasulullah dan umat Muslim hijrah ke Madinah dan mendirikan negara baru di sana, terlebih dahulu Rasul membuat pribumi Yatsrib (nama sebelum Madinah) beriman. Dengan begitu, jika nanti sudah tiba saatnya hijrah, umat Muslim Makkah mendapat sambutan baik dari penduduk setempat. Salah satu upaya yang Nabi lakukan adalah mendamaikan suku Aus dan Khazraj yang terjebak dalam konflik saudara selama puluhan tahun. 


Hingga sekali waktu pada 620 M, enam orang dari suku Khazraj datang ke Makkah untuk menemui Rasulullah. Kedatangan mereka karena mendengar kabar bahwa pada tahun ini akan diutus nabi akhir zaman di Makkah. Setelah berhasil menemui Rasul, mereka akhirnya menyatakan masuk Islam. Selain karena percaya pada ajaran Nabi, harapan mereka Rasul bisa menyelesaikan konflik suku yang sudah cukup melelahkan. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum, 2013: 126-127) 


Enam orang ini adalah As’ad bin Zurarah dari Bani Bajjar, Auf bin al-Harits dari Bani Najjar, Rafi’ bin Malik dari Bani Zuraiq, Quthbah bin Amir dari Bani Salamah, Uqbah bin Amir dari Bani Ubai bin Ka’ab, dan Jabir bin Abdullah dari Bani Ubaid bin Ghanm. Sekembalinya ke Yatsrib mereka turut menyebarkan agama Islam dan berhasil mengajak sejumlah penduduk. 


Upaya enam orang ini membuahkan hasil. Pada tahun ke-11 kenabian, datang 11 penduduk Yatsrib ke Makkah untuk menemui Rasulullah dan berbai’at untuk masuk Islam. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Bai’at ‘Aqabah Pertama. Seperti kelompok pertama dulu, sepulangnya ke kampung halaman mereka turut menyebarkan Islam. Selain itu Nabi juga secara khusus mengutus Mush’ab bin ‘Umair ke sana sebagai duta yang ditugasi mengajarkan syari’at Islam. (Safyurrahman al-Mubarakfuri: 133-134) 


Dua tahun berikutnya atau bertepatan tahun ke-11 dari kenabian, datang 70 penduduk Yatsirb ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus berbai’at kepada Rasulullah. Ini menunjukkan agama Islam berkembang pesat di Yatsrib sebelum Nabi dan umat Muslim hijrah. Kini Nabi tidak hanya berhasil merukunkan Aus dan Khazraj, tetapi juga membuat mereka memeluk Islam. Mereka inilah yang kelak disebut dengan Kaum Anshar. (Safyurrahman al-Mubarakfuri: 136) 


Muhajirin dan Anshar 

Setelah berhasil menebar benih-benih komunitas Muslim di Yatsrib, seiring dengan penindasan kaum Quraisy Makkah terhadap umat Muslim yang semakin menjadi-jadi, Nabi Muhammad bersama umatnya hijrah ke negara yang kelak dinamainya Madinah pada 622 M. Ada yang menarik pada peristiwa ini, yaitu Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin sebagai pendatang dan kaum Anshar sebagai pribumi. 


Nabi menyadari para Muhajirin migrasi ke negara baru tidak membawa apa-apa. Semua harta tidak bisa mereka bawa. Sebagai solusinya, Nabi mempersaudarakan mereka dengan Muslim pribumi. Keputusan ini disambut baik oleh kedua belah pihak, bahkan kaum Anshar rela membagi separuh hartanya untuk saudara baru mereka. Padahal, secara ekonomi kaum pribumi juga sedang tidak membaik. Keimanan dan semangat persatuan dalam jiwa merekalah yang telah berhasil menyatukan. 


Allah swt mengapresiasi peristiwa ini dalam beberapa firman-Nya, salah satunya adalah ayat AL-Qur’an yang menjelaskan Muhajirin dan Anshar dijamin masuk surga berikut: 


فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ 


Artinya, “Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik.” (QS. Ali Imran [3]: 195) (Raghib as-Sirjani, As-Sirah an-Nabawiyah, tanpa tahun: juz 5, h. 16) 


Muslim dan Yahudi Madinah 

Ternyata Yatsrib tidak saja terdiri dari rakyat yang multi suku, ras, dan budaya saja, tetapi juga umat agama lain yaitu kaum musyrik Yahudi. Hidup bertetangga antarumat beragama -belum lagi Yahudi menyimpan dendam terhadap umat Muslim- sangat mungkin terjadi konflik jika tidak ada tindakan dari negara. Sebab itu, Nabi kemudian membuat perjanjian untuk mewanti-wanti hal itu dalam sebuah dokumen negara yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. 


Di antara isi butir-butir perjanjian itu adalah agar kedua belah pihak Muslim dan Yahudi saling melindungi, menyatakan musuh bersama kepada siapa saja yang bermaksud menyerang Madinah, dan siapapun yang melanggar perjanjian ini berarti telah berbuat zalim. (Safyurrahman al-Mubarakfuri: 127) 


Dari kisah Rasulullah membangun negara Madinah dapat diambil hikmah bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk menciptakan kerukunan, tetapi justru peluang untuk mewujUdkan persatuan. Wallahu a’lam. 


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta