Sirah Nabawiyah

Teladan Kesederhanaan Khalifah Umar bin Khattab

Sab, 24 Juli 2021 | 04:01 WIB

Teladan Kesederhanaan Khalifah Umar bin Khattab

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online)

Kedudukan keluarga Umar bin Khattab bukan kedudukan keluarga istimewa, itu ditanamkan betul kepada keluarganya. Jika beliau mau mengeluarkan undang-undang, undang-undang itu terlebih dahulu dibicarakan kepada keluarganya. Umar kumpulkan anak-anaknya, sambil berkata: 'ini akan ada undang-undang begini, siapa di antara kalian yang mau menaati persilakan, yang tidak pun persilakan'.


“Tapi saya ingatkan, kalau ada dari keluarga Umar yang melanggar peraturan yang saya keluarkan ini, saya akan menghukumnya dua kali lipat karena dia keluarga saya. Jadi jangan mentang-mentang anak seorang khalifah lantas kebal hukum,” tegas Umar bin Khattab.


Sifat menonjol dari kepemimpinan Umar bin Khattab adalah kesederhanaannya. Beliaulah satu-satunya khalifah, Amirul Mukminin, yang punya jubah cuma dua buah dan yang satunya pun punya anaknya. Pernah saat shalat jumat beliau terlambat, beliau naik mimbar untuk khutbah sebelumnya minta maaf dulu karena menunggu bajunya kering.


Kisah kekaguman bangsa-bangsa besar di dunia terhadap kesederhanaan Khalifah Umar diceritakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi dalam karyanya Al-Matsnawi. Rumi mengisahkan bahwa pada suatu ketika seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Konstantinopel datang untuk menghadap Khalifah Umar bin Khattab di Madinah.

 


Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendekiawan, dan negarawan terkemuka. Setelah memasuki Madinah, utusan dari Byzantium itu merasa heran karena tidak melihat adanya istana kekhalifahan. Ia lalu bertanya kepada salah seorang penduduk Madinah. “Di manakah istana raja kalian?” tanya sang utusan. 


Orang yang ditanya oleh ksatria Byzantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya: “Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya sendiri yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa.”


Utusan kekaisaran Byzantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. “Lalu di manakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua, penakluk dua imperium, Persia dan Byzantium itu?” tanya sang utusan.


“Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?” kata seorang penduduk Madinah.


“Mengapa memang?” tanya sang utusan semakin penasaran. “Itulah sang khalifah dambaan kami, Umar bin Khattab. Ia tengah memberi makan dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda.”


Utusan itu kemudian tergetar. Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar yang sangat bersahaja. “Beritahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu,” kata sang utusan Romawi.

 


“Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun bisa memasuki istana itu bersamanya.”


Utusan itu kemudian mendekati Khalifah Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal tersebut bisa dilakukan oleh bawahannya?


Lalu Khalifah Umar berkata, “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku ...”


Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya. Tak lama kemudian, sang utusan Byzantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan keislamannya di hadapan Khalifah Umar.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon