Sirah Nabawiyah

Wasiat Sayyidina Abu Bakar kepada Aisyah

Sel, 30 November 2021 | 09:00 WIB

Wasiat Sayyidina Abu Bakar kepada Aisyah

Ilustrasi Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. (ist)

Dikisahkan ketika Khalifah Abu Bakar merasa ajalnya hampir datang menjemput, beliau memanggil putri tercintanya, Sayyidah Aisyah, untuk menyampaikan sebuah wasiat.


"Wahai Aisyah putriku, aku telah diserahi urusan kaum Muslimin, aku telah memakan makanan yang sederhana dan aku juga telah memakai pakaian yang sederhana dan kasar. Yang tersisa dari harta kaum Muslimin padaku adalah seekor unta, seorang pelayan (pembantu) rumah tangga, dan sehelai permadani yang sudah usang. Kalau aku wafat, kirimkan semuanya kepada Umar bin Khattab. Karena, aku tidak ingin menghadap Allah sedangkan di tanganku masih ada harta kaum Muslimin walaupun sedikit." (baca Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Shiddiq, 2014)


Setelah dua tahun memimpin kaum Muslimin dalam situasi yang sangat sulit karena ia menjadi pengganti pertama Rasulullah (Khalifatur Rasul), Abu Bakar pun mulai mendekati ajalnya. Sebelum wafat, ia berwasiat untuk dimakamkan di samping makam Rasulullah.


Pada 23 Agustus 634 Masehi, Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat. Ia melewati tahun yang pendek kekhalifahan yakni hanya dua tahun, tetapi tidak mudah dalam sejarah awal kepemimpinan Islam pasca-Rasulullah SAW.


Di era kepemimpinan kini, sosok pemegang teguh prinsip seperti sahabat Sayyidina Abu Bakar tidak banyak, bahkan langka.


Abu Bakar selalu berkata yang benar sehingga dijuluki dengan ash-shiddiq (orang yang jujur). Abu Bakar sangat jujur dalam mengemban amanat dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.


Selama menjadi khalifah, ia selalu memperhatikan rakyatnya. Hidupnya sangat sederhana dan tidak pernah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya.


Di tengah masyarakat, mungkin masih ada individu yang mempunyai idealisme seperti Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, yakni sahabat Nabi Muhammad SAW yang jujur, tegas, amanah, dan mengutamakan kepentingan orang lain daripada ambisi dan kepentingan pribadi dan kelompoknya, terutama dalam hal pengelolaan negara dan birokrasi yang ada di bawah naungannya.


Sayangnya, yang terjadi seringkali hanya praktik oligarki kekuasaan. Melanggengkan kepentingan hanya untuk segelintir orang atau kelompoknya sendiri, bukan masyarakat luas atau rakyat.


Ironi pengelolaan negara dan birokrasi yang tujuan utamanya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat banyak justru yang terjadi ialah upaya melanggengkan kepentingan-kepentingan kelompok kecil dalam wadah partai politik. Bahkan tidak jarang setelah tampuk kekuasaan diraihnya, mereka memikirkan langkah-langkah untuk meraih kekuasaan pada periode selanjutnya.


Tidak aneh jika negara hanya dikuasai segelintir kelompok yang mempunyai basis kuasa dalam bidang ekonomi dan media. Gerakan civil society yang mempunyai basis sosial-masyarakat dicampakkan begitu saja perannya dalam mengelola negara sehingga mereka acapkali hanya dijadikan lumbung suara dalam pemilihan umum. Inilah di antara pemahaman praktik oligarki di dalam perpolitikan Indonesia.


Pemandangan praktik oligarki terlihat jelas dalam mengelola ibu kota negara, Jakarta. Bagaimana mungkin kursi wakil gubernur dibiarkan kosong selama lebih dari satu tahun? Sedangkan perannya sangat dibutuhkan dalam melayani masyarakat.


Tentu saja tawar-menawar politik antarpartai pengusung belum mencapai kesepakatan sehingga yang menjadi korban adalah masyarakat. Di sini terlihat mereka hanya mementingkan kuasa kelompoknya sendiri ketimbang kepentingan masyarakat secara luas.


Persoalan tersebut juga terjadi dalam level pengelolaan negara. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, dalam paradigma Machiavellian, negara acap menggunakan segala cara demi mengamankan kekuasaan dan otoritasnya lewat semua instrumen yang ia miliki: modal, media, juga legitimasi institusi ilmu pengetahuan.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon