Syariah

Al-Qur’an Isyarat: Hukum Mencetak dan Membacanya

Sab, 3 Februari 2024 | 11:45 WIB

Al-Qur’an Isyarat: Hukum Mencetak dan Membacanya

Ilustrasi: ngaji (freepik)1.

Di Indonesia, jumlah masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus dapat dibilang cukup tinggi. Berdasarkan data statistik sekolah luar biasa (SLB) pada tahun 2018/2019, ditemukan jumlah penyandang tunarungu di Indonesia sebanyak 26.438 jiwa. Data ini menunjukkan, Jakarta berada pada peringkat ke-4 setelah Jawa Tengah dengan penduduk terbanyak yang menyandang tunarungu yakni berjumlah 1.448 jiwa.
 

Sebab itu, dalam merespon fenomena ini, Kemenag (Kementerian Agama) melalui LMPQ (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an), melakukan upaya dengan menerbitkan Al-Qur’an Isyarat bagi para Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW). Hal ini bertujuan untuk mewujudkan standarisasi media literasi Al-Qur’an bagi PDSRW, karena selama ini pembelajaran Al-Qur’an bagi PDSRW dilakukan oleh komunitas PDSRW dengan metode dan pendekatannya yang berbeda di masing-masing daerah. Sehingga, adanya Al-Qur’an Isyarat ini, diharapkan dapat memudahkan penyandang PDSRW untuk membaca ayat Al-Qur’an melalui metode yang sudah distandarisasikan oleh pemerintah.
 

Lantas, bagaimana pandangan fuqaha’ terhadap adanya Al-Qur’an Isyarat?
 

Memandang Al-Qur’an Isyarat adalah model Al-Qur’an yang di dalamnya tertulis bacaan Al-Qur’an sesuai dengan Bahasa Arab, hanya saja disertai gambar-gambar tangan yang membentuk isyarat-isyarat untuk mendeskripsikan kalimat yang dibaca. 
 

Dalam menjawab pertanyaan ini, Syaikh Sulaiman Jamal dalam kitabnya Hasyiyah Jamal ‘alal Minhaj mengutip pendapat dari beberapa fuqaha, ada yang memperbolehkan dan ada yang mencegahnya, sebagaimana argumen berikut:
 

فَائِدَةٌ سُئِلَ الشِّهَابُ الرَّمْلِي هَلْ تَحْرُمُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ بِالْقَلَم اْلِهنْدِي أَوْ غَيْرِهِ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَا يَحْرُمُ لِأَنَّهَا دَالَّةٌ عَلىَ لَفْظِهِ الْعَزِيْزِ وَلَيْسَ فِيْهَا تَغْيِيْرٌ لَهُ بِخِلاَفِ تَرْجَمَتِهِ بِغَيْرِ الْعَربِيَّةِ لِأَنَّ فِيْهَا تَغْيِيْرًا وَعِبَارَةُ اْلإِتْقَانِ لِلسُّيُوْطِي هَلْ يَحْرُمُ كِتَابَتُهُ بِقَلَمٍ غَيْرِ اْلعَرَبِي قَالَ الزَّرْكَشِي لَمْ أَرَ فِيْهِ كَلَامًا لِأَحَدٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَيَحْتَمِلُ اْلجَوَازُ لِأَنَّهُ قَدْ يُحْسِنُهُ مَنْ يَقْرَؤُهُ وَالْأَقْرَبُ اْلمَنْعُ اْنتَهَتْ وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ ا ه
 

Artinya, “Faidah: Syaikh Syihab Ar-Ramli pernah ditanya, apakah menulis Al-Qur’an dengan tulisan India dan selainnya diharamkan, kemudian beliau menjawab, hukumnya tidak haram karena (meskipun dengan tulisan India atau selainnya) tetap menunjukkan lafal Al-Qur’an yang mulia dan di dalamnya tidak merubah sama sekali (esensi lafalnya). Berbeda dengan terjemah yang selain Arab, karena di dalamnya mengandug unsur perubahan.
 

Dalam Al-Itqan disebutkan, apakah haram menulis Al-Qur’an dengan selain Bahasa Arab, Az-Zarkasyi menjawab, ‘Aku tidak menemukan sama sekali suatu argumen dari para ulama’ dan hukumnya bisa boleh (jawaz) karena dapat mempermudah bagi orang yang membacanya. Sementara pendapat yang lebih tepat adalah mencegahnya. Namun pendapat yang pertama (yang menyatakan boleh) adalah pendapat mu’tamad (dapat dijadikan pegangan)”. 
 

Kendatipun terdapat perbedaan tentang boleh tidaknya menulis Al-Qur’an dengan selain Bahasa Arab. Namun, melalui pendapat pertama yang menjadi i’timad (pegangan) Imam Ar-Ramli, dapat dipahami bahwa hukum mencetak dan membaca Al-Qur’an yang ditulis dengan isyarat sebagaimana deskripsi di atas ialah diperbolehkan. Hal ini diperkuat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Darul Ifta’ Al-Mishriyyah tentang hukum menulis Al-Qur’an dengan Braile, sebagaimana penjelasan berikut:
 

مَعَ ذَلِكَ فَلَا مَانِعَ شرعًا مِن كِتَابَةِ الْقُرْآنِ الكريمِ بِطَرِيْقَةِ بَرَايْلِ بِالنُّقُوْشِ الْبَارِزَةِ؛ لِلْحَاجَةِ إِلَى ذَلِكَ؛ بِحَيْثُ إِنَّ الماسَّ لِهَذِهِ النُقُوْشِ يَسْتَدِلُّ بِهَا عَلىَ اْلحُرُوْفِ اَّلتِي تُقَابِلُهَا بِشَكَلِهَا؛ وَهُوَ مَا يُعرَفُ بـ"الفُوْنَاتِيْك" (PHONETIC TRANSCRIPTION)؛ أي: الرَسَّمُ الصَّوْتِي لِلْآيَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ؛ بِمَعْنَى أَنْ تُكْتَبَ اْلآيَةُ أو السُّوْرَةُ بِالنّثقُوْشِ الْبَارِزَةِ، وَتُنْطِقُ بِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ بِأَلفَاظِ الْقُرْآنِ بِالضَّبْطِ.
 

Artinya: “Dengan demikian, tidak ada pencegahan secara syara’ dalam Al-Qur’an (untuk menulis Al-Qur’an) menggunakan huruf Braile yang timbul, karena adanya kebutuhan yang mendesak untuk menulisnya. Dengan catatan, adanya sentuhan terhadap huruf Braile yang timbul tersebut menunjukkan huruf Al-Qur’an yang menerima syakl (harakat). Istilah lain dari huruf ini adalah transkripsi fonetik (phonetic transcription) yakni tulisan untuk merepresentasikan bunyi ayat-ayat Al-Qur’an. Lebih jelasnya, ayat Al-Qur’an ditulis dengan simbol timbul kemudian diucapkan dengan lafal Al-Qur’an sebagaimana mestinya.” (Syauqi Ibrahim Allam, Fatawa Darul Ifta’ Al-Mishriyyah [Mesir, 5 September 2022], Fatwa no. 7281).

 

Jadi, Al-Qur’an Isyarat atau menulis ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan huruf Braile, yakni simbol-simbol yang timbul untuk menunjukkan bunyi ayat Al-Qur’an, adalah boleh hukumnya. Fatwa ini juga didukung dengan pernyataan dari Imam Badruddin Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan, sebagaimana berikut:

 

هَلْ يَجُوْزُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ بِقَلَمٍ غَيْرِ اْلعَرَبِى هَذَا مِمَّا لَمْ أَرَ لِلْعُلَمَاءِ فِيْهِ كَلَامًا وَيَحْتَمِلُ الْجَوَازَ لِأَنَّهُ قَدْ يُحْسِنُهُ مَنْ يَقْرَأُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَاْلأَقْرَبُ الْمَنْعُ كَمَا تَحْرُمُ قِرَاءَتُهُ بِغَيْرِ لِسَانُ الْعَرَبِ 
 

Artinya, “Apakah boleh menulis Al-Qur’an dengan tulisan selain Bahasa Arab? (Al-Zarkasyi) menjawab, ini merupakan salah satu problem yang belum pernah aku temukan suatu pendapat dari para ulama’. Namun, boleh hukumnya karena dapat memudahkan seseorang membaca Al-Qur’an yang berbahasa Arab. Adapun pendapat yang lebih tepat adalah mencegahnya sebagaimana haramnya membaca Al-Qur’an dengan selain Bahasa Arab” (Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an [Beirut: Darul Ma’rifah, 1391], halaman 380).

 

Statement lain dari kalangan ulama Syafi’yah yang dapat dijadikan dalil penguat tentang diperbolehkannya membaca Al-Qur’an dengan tulisan selain Arab ialah bolehnya qira’at yang berbeda dalam membaca Al-Qur’an seperti membaca huruf Al-Qur’an sepotong-sepotong karena adanya hajat atau kebutuhan untuk belajar. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj menerangkan, 
 

الْوَجْهُ جَوَازُ تَقْطِيعِ حُرُوفِ الْقُرْآنِ فِي الْقِرَاءَةِ فِي التَّعْلِيمِ لِلْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ
 

Artinya, “Pembahasan: boleh hukumnya memotong-motong huruf dalam membaca Al-Qur’an karena adanya hajat (kebutuhan) untuk belajar.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fis Syarhil Minhaj, vol. 24 [Maktabah Syamilah], halaman 435).

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an Isyarat, baik mencetak ataupun menggunakannya sebagai sarana membaca Al-Qur’an bagi masyarakat berkebutuhan khusus, hukumnya boleh. Hal ini juga memandang Al-Qur’an Isyarat sendiri atau Al-Qur’an yang ditulis dengan Braile, menggunakan isyarat-isyarat atau simbol-simbol untuk menunjukkan pelafalan daripada bunyi ayat Al-Qur’an tanpa mengubah lafadznya dan maknanya. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Lukman Hakim, Peserta Kelas Menulis NU Online 2024