Syariah

Cinta dan Komitmen, Mana yang Lebih Utama dalam Pernikahan?

Sab, 16 Maret 2024 | 15:00 WIB

Cinta dan Komitmen, Mana yang Lebih Utama dalam Pernikahan?

Cinta dan komitmen. (Foto: NU Online/Freepik)

Mawadah adalah kata yang sering kita dengar pada ucapan dalam suatu perayaan pernikahan. Kalimat ini banyak dirangkai dalam kalimat “Semoga pernikahannya sakinah, mawadah wa rahmah” yang diarahkan kepada sepasang mempelai. 


Kata mawadah, salah satu komponen bentuk ideal rumah tangga, tercermin dalam kalimat “Sakinah, mawadah wa rahmah” yang secara jelas diambil dari Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat ke-21:


وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ۝٢١


Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum [30]: 21).


Merujuk kepada KBBI, mawadah sendiri maknanya adalah kasih sayang. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu مودّة yang artinya serupa sebagaimana yang tertera dalam KBBI. Mawadah memiliki makna filosofis di mana seorang yang mencintai selalu berkeinginan dan berupaya keras untuk menjauhkan orang yang dicintainya dari segala hal yang negatif, tidak disenangi, dan menyakitinya secara emosional (A.M. Ismatulloh, Konsep Sakinah, Mawadah Dan Rahmah dalam Al-Qur’an, [Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 2015], hal. 55). 


Mawadah, berasal dari bahasa Arab, menggambarkan cinta yang membara dan menggebu-gebu, erat kaitannya dengan sakinah untuk mencapai rasa aman dan ketenangan dalam hubungan. Perasaan ini adalah hal lumrah karena menciptakan kekokohan dalam keluarga melalui saling mencintai. 


Dengan mawadah, rumah tangga berkembang penuh cinta dan kasih sayang. Kehilangan mawadah bisa menyebabkan ketidakbahagiaan dalam hubungan. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan perasaan mawadah dalam keluarga sebagai harapan yang didambakan oleh semua pasangan (Hamsah Hudafi, Pembentukan Keluarga Sakinah Mawadah Warahmah menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, [Al-Hurriyah: Jurnal Hukum Islam, 2020], h. 176).


Rasa cinta atau mawadah dalam hubungan rumah tangga layaknya ombak yang pasang surut. Celakanya, jika pondasi pernikahan mengandalkan mawadah dan rasa cinta saja tanpa suatu komitmen ingin bersama di kala mudah maupun susah, suatu hari boleh jadi perceraian atau perselingkuhan akan terjadi.


Mawadah mendorong kepada ketertarikan kepada pasangan, di mana apabila rasa ketertarikan ini hilang sedangkan faktor ini hanya satu-satunya penopang perkawinan maka rentan terjadi perpisahan antara pasangan (Budhy Prianto, dkk, Rendahnya Komitmen dalam Perkawinan Sebagai Sebab Perceraian, [Jurnal Komunitas: Research & Learning in Sociology and Anthropology, 2013], h. 216).


Meskipun mawadah merupakan bentuk ideal rumah tangga, komitmen dianggap lebih penting daripada hanya mengandalkan rasa cinta karena ia adalah dasar yang kuat dalam membangun hubungan yang sehat dan berkelanjutan. 


Rasa cinta dapat berfluktuasi seiring waktu, terpengaruh oleh berbagai faktor seperti perubahan emosi atau keadaan hidup. Namun, komitmen merupakan keputusan sadar untuk tetap berada di samping pasangan, bahkan ketika rasa cinta mengalami pasang surut. 


Komitmen melibatkan kesetiaan, konsistensi, dan dedikasi untuk menjaga hubungan. Dengan adanya komitmen yang kokoh, pasangan dapat mengatasi rintangan dan tantangan yang muncul dalam hubungan. Menciptakan fondasi yang stabil dan mendalam untuk membangun masa depan yang bahagia bersama-sama.


Oleh sebab itu, Islam tidak hanya membekali pasangan dengan anjuran supaya menjadikan rumah tangga yang sakinah, berisi mawadah atau rasa cinta dan rahmah saja, akan tetapi menganjurkan untuk berbuat baik kepada pasangan, terkhusus suami kepada istri. Istilah ini disebut sebagai ma’ruf dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat ke-19, yaitu:


وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ


Artinya: “Pergaulilah mereka dengan cara yang patut.” (QS An-Nisa [4]: 19).


Sebagian ulama, menurut Quraish Shihab, memandang makna ma’ruf adalah perintah kepada suami untuk berbuat baik kepada istri, baik rasa cinta itu masih membara ataupun sudah surut. Ma’ruf artinya tidak mengganggu, tidak memaksa, dan lain semacamnya. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, [Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2021], jilid II, hal. 401).


Lebih spesifik lagi, Asy-Sya’rawi, seorang ulama kontemporer Mesir menafsirkan perintah ma’ruf ini tertuju kepada pasangan yang tidak lagi mencintai istrinya seperti sediakala pada awal pernikahan. Artinya, perbuatan baik suami kepada istri atau sebaliknya didasarkan pada sesuatu yang lebih kokoh dari rasa cinta, yaitu komitmen ingin bersama dan saling berbuat baik. Komitmen inilah yang disebut sebagai ma’ruf.


Mengutip Al-Khawathir, tafsir karya asy-Sya’rawi, konsep ma'ruf lebih komprehensif daripada konsep mawadah. Mawadah berkaitan dengan hubungan kasih sayang terhadap individu tertentu serta kenyamanan yang dirasakan dalam memberikan kasih sayang tersebut. 


Sementara itu, ma’ruf mencakup tindakan yang dianggap baik atau sesuai norma, bahkan jika dilakukan tanpa adanya perasaan yang mendalam terhadap individu tersebut. Dalam konteks ini, tindakan ma'ruf dapat dilakukan meskipun tidak ada rasa kasih sayang yang kuat, hingga menghadirkan kompleksitas dalam interaksi sosial dan hubungan interpersonal.


Berdasarkan ayat ini, Asy-Sya’rawi menghimbau umat Islam agar dapat berpikir jernih bahwa pernikahan itu tidak hanya dibangun berlandaskan cinta semata. Sebab apabila cinta telah hilang, maka ada potensi salah satunya akan meninggalkan rumah alias meminta cerai (Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Al-Khawathir, [Mesir: Akhbar El Yom Press, t.t], jilid IV, hal. 2082).


Meskipun rasa cinta atau mawadah dapat menjadi pemicu awal dalam memulai sebuah hubungan, komitmenlah yang menjaga keberlangsungan dan kekokohan hubungan tersebut. Komitmen merupakan janji dan keputusan sadar untuk tetap bersama pasangan dalam segala situasi, baik senang maupun susah.


Kemaslahatan yang muncul dari komitmen dalam rumah tangga meliputi keberlangsungan hubungan yang harmonis, kestabilan emosional, saling menghormati, dan respek satu sama lain, serta terciptanya lingkungan keluarga yang sehat dan langgeng hingga akhir hayat.


Demikianlah penjelasan mengenai konsep mawadah dan ma’ruf. Adapun tentunya yang paling ideal adalah hadirnya komitmen (ma’ruf) sekaligus mawadah pada setiap rumah tangga, sehingga sakinah, mawadah dan rahmah menjadi sempurna dengan balutan komitmen untuk hidup bersama. Wallahu a’lam


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta