Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Tradisi belajar-mengajar agama di Indonesia, dilaksanakan tidak hanya dalam ruang lingkup lembaga pendidikan. Dengan tujuan mencapai sasaran masyarakat yang lebih luas, kegiatan belajar-mengajar seringkali dilaksanakan di hadapan publik sebagaimana dalam pengajian umum.
Berbeda dengan nuansa pembelajaran di dalam kelas, pengajian umum mengusung kegiatan belajar dengan lebih ringan dan menyenangkan. Selain mengisi pengajian umum dengan tema-tema keislaman dasar, tokoh agama sering memberikan selingan gurauan.
Namun hal ini kadang menimbulkan pro kontra. Tak jarang lontaran lelucon atau humor yang tidak pantas terucap oleh penceramah.
Dalam menganalisa konteks permasalahan ini, perlu dimahami terlebih dahulu bagaimana Islam memandang gurauan. Dalam salah satu hadits, Nabi saw mengatakan bahwa aktivitas bergurau merupakan tipu daya dari setan, sebagaimana hadits:
المزاح استدراج من الشيطان واختداع من الهوى
Artinya, “Bergurau adalah manipulasi setan dan tipu daya hawa nafsu.” (HR Ibnu Abid Dunya).
Gurauan dalam bahasa Arab disebut mizah karena menjadikannya jauh terhadap kebenaran. (Ibnu Hibban, Raudhatul Uqala’, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah], halaman 78).
Kendatipun guraun oleh Nabi saw disimbolkan sebagai hasutan setan, bukan berarti bergurau secara total ditentang oleh Islam.
Nabi saw sendiri pernah bergurau, ketika seorang nenek meminta kepadanya untuk diajak masuk surga bersama. Dengan nada gurauan, Nabi saw menimpali nenek tersebut bahwa di surga tidak ada orang tua.
Setelah melontarkan humornya, Nabi saw menyebut salah satu ayat dari surat Al-Waqiah yang menjelaskan bahwa di surga semua orang tetap dalam kondisi perawan.
Cerita ini selaras dengan pernyataan Nabi saw, bahwa beliau bergurau masih dalam taraf kebenaran.
عن النبي ﷺ قال: إني لأمزح، ولا أقول إلا حقا
Baca Juga
Gus Dur Sumbang Canda
Artinya, “Dari Nabi Muhammad bersabda: Sesungguhnya aku pun bergurau namun tetap dalam kebenaran.” (HR At-Thabarani)
Islam tidak benar-benar melarang seseorang bergurau secara total. Adapun gurauan disimbolkan sebagai tipu daya setan, sebab seringkali seseorang melupakan kewajiban-kewajiban saat terlalu larut dalam bergurau. Apabila gurauan tidak sampai menjadikan seseorang lalai, maka status hukumnya boleh-boleh saja.
Bahkan menurut Imam Al-Mawardi, orang dengan hati yang lembut, tidak mampu terhindar dari bergurau dalam dua kondisi. Kondisi pertama untuk menghibur orang-orang yang sedang bersama dan menunjukkan kasih sayang kepada orang yang berinteraksi dengannya. Kondisi kedua, saat seseorang ingin menghilangkan kejenuhan dan meringankan kesedihan. (Adabud Dunya wad Din,[Beirut, Darul Maktabah Al-Hayah: 1986], halaman 310).
Kaitannya dengan batasan bergurau bagi seorang penceramah dalam pengajian umum, tentu harus selaras dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, yakni bergurau dalam tataran kebenaran.
Terlebih lagi, pengajian seringkali menjadi pelarian susahnya hidup bagi masyarakat. Maka menyelipkan gurauan menjadi pendekatan yang tepat sebagai pelipur lara. Namun tetap dengan proporsi yang seckupnya, sehingga tidak mengurangi substansi dari pengajian umum itu sendiri. Mungkin prosentasenya sebanyak 20% dari 100% substansi materi pengajian, atau semisalnya.
Selain itu, secara etika tidak pantas pula mengawali sebuah pengajian langsung melontarkan gurauan. Karena dari situ seringkali muncul perkataan yang menjurus pada caci-maki, seperti yang dikatakan oleh Maimun bin Mihran:
إذا كان المزاح أمام الكلام، فآخره الشتم واللطام
Artinya, “Ketika mengawali komunikasi dengan gurauan, maka akan berujung hinaan dan celaan.” (Ibnu Muflih, Al-Adab As-Syar'iyyah, [Riyad, 'Alamul Kutub], juz II, halaman 223).
Selain itu, batasan yang tidak kalah penting adalah diksi yang digunakan dalam menyisipkan gurauan bukan berupa kebohongan dan dominan meneror umat. Dua hal ini justru bukan memunculkan kegembiraan ataupun keceriaan bagi siapa saja yang hadir, melainkan memunculkan rasa ketakutan, kebencian, ketersinggungan, dan merasa diintimidasi. (Muhammad Al-Khadimi, Buraiqah Mahmudiyah, [Mesir, Al-Halabi: 1930], juz IV, halaman 17).
Tidak hanya dalam pengajian umum, secara umum bergurau memiliki ketentuan etika berupa terhindar dari hal-hal yang berkaitan dengan tindakan dosa. Misalnya candaan yang mengandung hinaan, celaan, cacian, tuduhan, cemoohan, taruhan dan lain-lain. Ini berlaku bagi semua orang, baik itu seorang profesional, guru, pejabat dan seluruh kalangan masyarakat.
Justru gurauan harus mengandung kegembiraan dan kesenangan, sehingga orang yang mendengarkan menjadi tenang dan teralihkan dari problematika yang sedang dialami.
Sebagaimana disarankan oleh Ibnu Hatim, bagi seseorang yang berakal wajib meletakkan candaannya dalam konteks kebaikan, tanpa bermaksud menyakiti siapapun atau membuat seseorang senang atas penderitaan orang lain. (Ibnu Hibban, 79-80).
Dengan demikian, dalam pengajian umum seorang penceramah yang menyelipkan humor harus tetap dalam koridor kebenaran dan tidak dengan porsi yang terlalu banyak. Pun tidak dengan menggunakan diksi yang kasar, mencela, apalagi menghina di depan khalayak umum. Bergurau dalam majelis ilmu dapat diniatkan untuk menebar kasih sayang dan menenangkan hati semua orang. Wallahu a’lam.
Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Kampus Ainul Yaqin
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Khutbah Jumat: Cara Meraih Ketenangan Hidup
3
Munas NU 2025 Putuskan 3 Hal tentang Penyembelihan dan Distribusi Dam Haji Tamattu
4
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
5
Khutbah Jumat: Etika Saat Melihat Orang yang Terkena Musibah
6
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
Terkini
Lihat Semua