Muhamad Hanif Rahman
Kolomnis
Pada dasarnya hukum aqiqah dan kurban atau udhiyah adalah sama. Mulai dari niat, jenis hewan, umur, kesehatan, dan lain sebagainnya. Di antara perbedaan dari keduanya adalah terkait dengan kesunahan mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak. Oleh sebagian orang, daging ini dimanfaatkan sebagai sajian walimah. Jadi yang dilakukan adalah melakukan aqiqah sekaligus walimah, di mana daging aqiqahnya dimasak dan dijadikan sajian untuk orang-orang yang menghadiri walimah.
Lantas sebenarnya bagaimana hukumnya menjadikan daging aqiqah yang sudah dimasak menjadi sajian untuk tamu-tamu walimah? Berikut penjelasannya.
Menjadikan masakan daging aqiqah sebagai sajian walimah memang nampaknya lebih efektif dan efesien. Pasalnya shahibul hajat (yang memiliki hajat) tidak perlu susah payah mengantarkan masakan daging aqiqah. Para tamu akan datang sendiri dengan undangan walimah sehingga tercapailah dua hal sekaligus yakni aqiqah dan walimah.
Namun demikian, aqiqah merupakan ibadah yang hukumnya sunah muakkad dan mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Di antara ketentuannya adalah mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak, kemudian membagikan atau mengirimkannya kepada orang-orang fakir. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (wafat 987 H) yang bermadzhab Syafi'i dalam kitabnya, Fathul Mu'in sebagai berikut:
والتصدق بمطبوخ يبعثه إلى الفقراء: أحب من ندائهم إليها ومن التصدق نيئا
Baca Juga
Doa-doa seputar Aqiqah
Artinya: "Mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak kemudian mengirimkannya kepada orang-orang fakir lebih disukai daripada mengundang mereka (untuk hadir ke rumah hal ini berdasarkan perkataan Aisyah Ra bahwasanya hal ini hukumnya sunah), dan lebih baik daripada mensedekahkan daging mentah." (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu'in ,[Bairut, Darul Hazm], halaman 304).
Penjelasan ini menyatakan bahwa mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak dan mengirimkan kepada masing-masing penerimanya lebih disukai. Ibarot ini tidak menyebutkan secara jelas hukum mengundang penerima daging aqiqah ke rumah. Dalam penjelasan tersebut hanya menyebutkan lebih disukai (ahabu) mengantar masakan daging aqiqah daripada mengundang orang-orang untuk memakan masakan aqiqah.
Sementara seorang ulama bermazhab Maliki, Syihabuddin an-Nafrawi (wafat 1126 H) menjelaskan dengan jelas hukum mengundang orang-orang untuk memakan masakan aqiqah dan menjadikanya sebagai sajian walimah seperti walimatul ursy. Dalam kitabnya, Al-Fawakih ad-Dawani ia menjelaskan:
(وَ) يُسْتَحَبُّ أَنْ (يُؤْكَلَ) أَيْ يُطْعَمَ (مِنْهَا) أَهْلُ الْبَيْتِ وَالْجِيرَانُ (وَيُتَصَدَّقُ) مِنْهَا بَعْدَ الطَّبْخِ وَقَبْلَهُ، وَيُكْرَهُ جَعْلُهَا وَلِيمَةً وَيَدْعُو لَهَا النَّاسَ كَمَا تَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ جَعْلِهِمْ لَهَا كَالْعُرْسِ، وَإِنَّمَا كُرِهَ لِمُخَالَفَةِ فِعْلِ السَّلَفُ، وَلِخَوْفِ الْمُبَاهَاةِ وَالْمُفَاخَرَةِ، بَلْ الْمَطْلُوبُ إطْعَامُ كُلِّ أَحَدٍ فِي مَحَلِّهِ، فَلَوْ وَقَعَ عَمَلُهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَتْ، وَإِنْ كُرِهَتْ، وَلَا يُطَالَبُ بِإِعَادَتِهَا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Artinya, "Disunahkan untuk memberi makan keluarga dan tetangga dari daging aqiqah dan untuk mensedekahkannya setelah dimasak dan sebelumnya. Dimakruhkan menjadikan daging aqiqah sebagai sajian walimah dan mengundang masyarakat sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang menjadikan daging aqiqah sebagai sajian walimah seperti walimatul ursy. Hal ini, dimakruhkan karena menyelisihi perbuatan ulama salaf, dan karena ditakutkan timbulnya rasa membanggakan diri dan sombong. Akan tetapi yang dituntut adalah memberi makan kepada setiap orang yang berada di tempatnya. Apabila menjadikan aqiqah sebagai walimah maka hal itu tetap mencukupi sekalipun hal tersebut dimakruhkan dan ia tidak dituntut untuk mengulangi akikahnya. Wallahu a'lam." (Syihabuddin an-Nafrawi al-Azhari al-Maliki, Al-Fawakih ad-Dawani, [Bairut, Darul Fikr: 1415 H] juz I halaman 393).
Walhasil, hukum menjadikan daging aqiqah yang sudah dimasak menjadi sajian untuk tamu-tamu walimah adalah makruh. Karena kesunahannya adalah mengantar masakan aqiqah kepada masing-masing penerimannya. Bukan mengundang mereka untuk makan di rumahnya sebagai sajian walimah ursy dan sejenisnya.
Kemakruhan ini karena menyelisihi perbuatan ulama salaf, dan karena ditakutkan akan menimbulkan rasa bangga diri dan sombong. Namun, sekalipun hukumnya makruh, aqiqah yang dilakukan sudah mencukupi dan tidak ada tuntutan untuk mengulangi aqiqahnya. Wallahu a'lam bisshawab.
Ustadz Muhammad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
4
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua