Moh Soleh Shofier
Kolomnis
Beberapa tahun terakhir fenomena gadai SK (Surat Keputusan) pengangkatan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) mengemuka ke publik. Seperti beberapa anggota dewan yang baru terpilih pada Pemilu 2024 menggadaikan SK pengangkatan mereka ke bank sebagai jaminan pinjaman setelah dilantik.
Di Kota Serang, 10 anggota DPRD diketahui telah menggadaikan SK untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Demikian fenomena ini juga terlihat di beberapa wilayah lain di Jawa Timur, seperti Bangkalan dan Malang. (metrotvnews.com).
Tujuan gadai SK antara lain lantaran dianggap menjadi solusi cepat untuk mengatasi kebutuhan dana akibat tingginya biaya kampanye. Bank sendiri menawarkan pinjaman mulai dari Rp500 juta hingga Rp1 miliar sesuai kalkulasi gaji dan jangka waktu masa jabatan lima tahun.
Namun, hal ini berpotensi mendorong anggota dewan untuk mencari tambahan dana dengan cara yang melanggar hukum. Gejala demikian yang dibaca oleh Titi Anggraini, pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia. Menurutnya, praktik gadai SK ini tidak melanggar hukum, tetapi berpotensi meningkatkan risiko korupsi. (tirto.id).
Baca Juga
Humor Gus Dur: Menteri Pegadaian
Bagaimana hukum anggota DPRD atau pejabat pemerintah menggadaikan SK sebagai solusi masalah finansial mereka?
Hasil Keputusan Bahtsul Masail Kubro Se-Jawa di Pondok Pesantren HM Ngunut, Tulungagung, 30-31 Oktober 2024, menyatakan bahwa hukumnya dibolehkan. Karena Surat Keputusan (SK) yang diserahkan kepada pihak bank sah menjadi watsiqah (jaminan) atau tadzkirah (pengingat), meskipun tidak memenuhi syarat sebagai marhun atau barang gadai.
Kebolehan SK DPRD sebagai jaminan hutang karena diilhaqkan (disamakan) dengan jaminan gadai yang tidak memenuhi syarat, tetapi berlaku sebagai jaminan secara tinjauan bahasa saja.
Semisal orang meminjam buku perpustakaan, lalu pengurus perpustakan meminta suatu jaminan agar peminjam buku mengembalikannya. Praktik seperti itu sah tetapi bukan sebagai gadai secara syar’i.
Sayyid Ahmad bin Umar As-Syathiri, mengatakan:
وَمِنَ الْأَخْطَاءِ الَّتِي يَعْمَلُ بِمَا الْبَعْضُ أَنَّهُ إِذَا طَلَبَ مِنْهُ شَحْصٌ إِعَارَتَهُ كِتَابًا أَوْ غَيْرَهُ طَلَبَ الْمُعِيْرُ مِنَ الْمُعَارِ لَهُ شَيْأَ رَهْنَا حَتَّى يُعِيدُهُ وَهَذَا رَهْنٌ لا يَصِحُ لِأَنَّ الرَّهْنَ لَا يَكُوْنَ إِلا فِي دَيْنٍ وَلَكِنْ يُقَالُ إِنَّ هَذَا تَذْكِيرٌ لِلْمُسْتَعِيْرِ حَتَّى لَا يَنْسَى الْإِعَارَةَ اهـ
Artinya, “Di antara kesalahan yang dilakukan sebagian orang adalah adalah ketika seseorang meminjam suatu barang darinya, seperti kitab atau lainnya, lalu ia meminta peminjam memberikan jaminan sampai mengembalikan barang yang dipinjam. Gadai ini tidak sah, karena gadai hanya diperuntukkan untuk utang. Namun bisa dikatakan, barang gadai tersebut hanya sebagai pengingat agar peminjam kitab tidak melupakan pinjamannya.” (Syarhul Yaqutun Nafis, [Jeddah, Darul Minhaj: tt.], halaman: 371).
Selain itu, Imam As-Subki, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-Haitami merinci hukum barang yang diserahkan sebagai jaminan karena meminjam kitab wakafan sebagai berikut.
Pertama, bila barang yang diserahkan itu dianggap sebagai jaminan dari akad gadai (rahn) secara syar'i, maka hukumnya tidak sah karena tidak memenuhi kriteria gadai.
Kedua, beda halnya bila penyerahan barang gadai kepada pihak bank dianggap sebagai jaminan secara bahasa, yaitu hanya sebagai pengingat agar buku wakaf yang dipinjam tidak lupa dikembalikan, maka hukumnya sah.
Ketiga, kalau penyerahan barang tersebut tidak jelas, apakah sebagai gadai secara bahasa atau secara syar’i maka hukumnya diperinci:
- Ada kemungkinan diarahkan secara syar’i, karenanya hukum gadainya batal. Karena tidak sesuai prosedur gadai secara syariat.
- Ada kemungkinan diarahkan pada jaminan secara bahasa, sehingga jaminan itu sah. Yang kedua ini yang lebih mendekati kemaslahatan, karena berusaha mengamalkan syaratnya orang yang mewakafkan selama memungkinkan.
إنْ عَنَى الرَّهْنَ الشَّرْعِيَّ فَبَاطِلٌ، أَوْ اللُّغَوِيَّ وَأَرَادَ أَنْ يَكُونَ الْمَرْهُونُ تَذْكِرَةً صَحَّ. وَإِنْ جُهِلَ مُرَادَهُ احْتَمَلَ بُطْلَانُ الشَّرْطِ حَمْلًا عَلَى الشَّرْعِيِّ، فَلَا يَجُوزُ إخْرَاجُهُ بِرَهْنٍ لِتَعَذُّرِهِ وَلَا بِغَيْرِهِ لِمُخَالَفَتِهِ لِلشَّرْطِ أَوْ لِفَسَادِ الِاسْتِثْنَاءِ، فَكَأَنَّهُ قَالَ: لَا يُخْرَجُ مُطْلَقًا وَشَرْطُ هَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ خُرُوجَهُ مَظِنَّةُ ضَيَاعِهِ وَاحْتَمَلَ صِحَّتَهُ حَمْلًا عَلَى اللُّغَوِيِّ وَهُوَ الْأَقْرَبُ تَصْحِيحًا لِلْكَلَامِ مَا أَمْكَنَ اهـ
Artinya, “Jika maksud pewakaf (menysaratkan gadai untuk boleh mengeluarkan kitab wakafan dari tempatnya) adalah gadai secara syar’i, maka tidak sah gadainya. Atau maksudnya adalah gadai secara lughawi (bahasa), dan pewakaf menghendaki barang yang digadaikan sebagai pengingat saja, maka sah.
Jika maksud pewakaf tidak diketahui, maka (1) pensyaratan gadai mungkin batal karena diarahkan ke gadai syar'i. Karenanya tidak boleh mengeluarkan kitab wakafan dari tempatnya dengan jaminan gadai, karena tidak memungkinkan secara syar'i; dan tidak boleh mengeluarkan kitab wakafan dari tempatnya dengan jaminan lainnya, karena bertentangan dengan syarat dari pewakaf atau bahkan karena rusaknya pengecualian kebolehan mengeluarkan kitab dari tempatnya. Seolah-olah pewakaf berkata: 'Kitab wakafan tidak boleh dikeluarkan dari tempatnya secara mutlak". Syarat semacam ini benar, karena keluarnya kitab wakafan dari tempatnya membuatnya berpotensi tersia-siakan.
(2) pensyaratan gadai dari pewakaf untuk kebolehan mengeluarkan kitab wakafan dari tempatnya itu mungkin saja sah, karena mengarahkannya pada gadai secara bahasa saja. Kemungkinan ini yang lebih mendekati kebenaran, karena membenarkan ucapan pewakaf sebisa mungkin." (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Daru Ihya’it Turats Al-’Arabi: tt.], juz V, halaman 65).
Dari penjelasan itu, bahtsul masail melakukan ilhaq, yaitu menyamakan hukum kasus menggadaikan SK DPRD ke bank dengan hukum kasus penyerahan barang sebagai jaminan dalam peminjaman kitab wakafan. Yaitu dari sisi sama-sama tidak memenuhi syarat sebagai marhun atau barang gadai. Sebab itu, penyerahan SK tersebut dianggap boleh bila mana penyerahan SK DPRD diniatkan sebagai jaminan semata atau gadai secara bahasa.
Namun Ibnu Hajar Al-Haitami yang mengikuti keputusan yang membolehkan jaminan itu dianggap sebagai gadai secara bahasa, memberikan syarat jaminannya setara dengan harga kitab wakafan dengan pengandaian bisa dijual.
وَإِذَا قُلْنَا بِهَذَا فَالشَّرْطُ بُلُوغُهَا ثَمَنَهُ لَوْ أَمْكَنَ بَيْعُهُ عَلَى مَا بَحَثَ إذْ لَا يُبْعِثُ عَلَى ذَلِكَ إلَّا حِينَئِذٍ
Artinya, “Jika kita berpendapat dengan keabsahan syarat pewakaf semacam ini, maka syaratnya adalah nilai barang jaminan (watsiqah) setara dengan harga kitab wakafan seandainya kitab itu bisa dijual sesuai apa yang As-Subki bahas. Karena jaminan itu tidak akan mendorong peminjam untuk mengembalikan kitab wakafan kecuali nilai jaminan sama dengannya.” (Al-Haitami, V/65).
Penjelasan di atas mendasari kebolehan SK pengangkatan anggota DPRD dijadikan sebagai watsiqah (jaminan) yang fungsinya menjadi pengingat dan pendorong peminjam untuk melunasi utangnya, sebagaimana keputusan bahtsul masail di Pondok Pesantren HM Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur.
Namun demikian menggadaikan SK pengangkatan anggota dewan atau sejenisnya tidak dianjurkan, agar praktik seperti ini tidak mengarah pada aktivitas yang melanggar etik, semisal berpotensi mengganggu fungsi publik, atau bahkan melanggar hukum semisal mendorong tindak korupsi. Wallahu a'lam.
Ustadz Moh Soleh Shofier, Pegiat Literasi Pesantren dan Alumnus Ma’had Aly Situbondo.
Terpopuler
1
Pengurus JATMAN 2025-2030 Terima SK Kepengurusan dari PBNU
2
Hukum dan Tata Cara Shalat Sunnah pada Malam Nisfu Syaban
3
Arifatul Choiri Fauzi Pimpin PP Muslimat NU Periode 2025-2030
4
Profil Arifatul Choiri Fauzi, Nakhoda Baru PP Muslimat NU 2025-2030
5
4 Ragam Membaca Yasin pada Malam Nisfu Sya'ban
6
Khutbah Jumat: Beramallah, Rezeki Kita akan Berkah dan Bertambah
Terkini
Lihat Semua