Syariah

Hukum Menunda Pembagian THR perspektif Kajian Fiqih Islam

Sen, 8 April 2024 | 09:00 WIB

Hukum Menunda Pembagian THR perspektif Kajian Fiqih Islam

Hukum menunda pembagian THR atau Tunjangan Hari Raya. (freepik).

Salah satu hal yang sangat dinanti-nantikan di akhir Ramadhan menjelang Idul Fitri adalah pembagian THR, tunjangan hari raya, atau gaji ke-13. Pasalnya kebutuhan menjelang Idul Fitri meningkat. Seperti untuk beli baju baru, makanan untuk jamuan hari raya dan lain sebagainya. Harapannya THR mengcover kebutuhan-kebutuhan tersebut. Namun demikian, terkadang ada saja oknum perusahaan atau pengusaha yang menunda atau bahkan tidak memberikan THR. Lantas bagaimana hukumnya menurut kacamata fiqih Islam? 


Ketentuan THR dalam Hukum Positif

Sebelum menjawab dari sisi fikih Islam tentunya perlu diketahui hukum positif berkaitan dengan THR:

  1. Dasar peraturan pembayaran THR Keagamaan adalah pasal 9 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
     
  2. Definisi THR berdasar pada Pasal 1 angka 1 Permenaker 6/2016 THR adalah Tunjangan Hari Raya Keagamaan atau yang biasa dikenal dengan THR sebagai pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.
    THR wajib dibayarkan pengusaha kepada karyawan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan masing-masing karyawan.
     
  3. Kemudian angka 7 SE Menaker No. M/2/HK.04/III/2024 secara tegas menyebutkan THR wajib dibayarkan oleh pengusaha secara penuh dan tidak boleh dicicil. Bahkan terkait kapan THR harus dibayarkan, Pemerintah mengimbau agar perusahaan membayar THR lebih awal sebelum jatuh tempo kewajiban pembayaran THR.
 

4 Sanksi bagi Perusahaan yang Telat Membagikan THR

Perusahaan yang telat bayar THR akan dikenakan denda 5% dari total THR yang harus dibayar. Sementara perusahaan yang tidak bayar THR akan dikenakan sanksi administratif antara lain:

  1. teguran tertulis,
  2. pembatasan kegiatan usaha,
  3. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan
  4. pembekuan kegiatan usaha
     

Sanksi ini memiliki dasar hukum PP Nomor 36 Tahun 2021 dan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016.
 

Dengan demikian dapat disimpulkan, THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan maksimal tujuh hari sebelum hari raya dan apabila ditunda atau tidak diberikan, maka perusahaan akan dikenakan denda dan sanksi, bahkan sampai taraf pembekuan kegiatan usaha. 
 

THR dalam Kajian Fiqih Islam

Melihat definisi THR di atas dapat dipahami bahwa THR bukan merupakan ujrah atau upah dari sebuah pekerjaan. Melainkan sebagai hibah, hadiah, atau sedekah. Dalam kitab I'anatut Thalibin Sayyid Bakri menjelaskan:
 

والحاصل أنه إن ملك لأجل الاحتياج أو لقصد الثواب مع صيغة، كان هبة وصدقة، وإن ملك بقصد الإكرام مع صيغة، كان هبة وهدية، وإن ملك لا لأجل الثواب ولا الإكرام بصيغة، كان هبة فقط. وإن ملك لأجل الاحتياج أو الثواب من غير صيغة، كان صدقة فقط، وإن ملك لأجل الإكرام من غير صيغة، كان هدية فقط
 

Artinya, "Walhasil, apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan membantu orang tersebut atau disertai maksud mengharap pahala dengan disertai shighat dalam melakukannya, maka yang demikian dinamakan hibah dan sedekah.

Apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan memuliakannya  dengan disertai shighat, maka yang demikian disebut hibah dan hadiah. Apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain tidak dengan maksud mengharap pahala, tidak juga untuk memuliakannya serta menggunakan shighat dalam melakukannya, maka yang demikian dinamakan hibah.

Apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan membantu atau disertai maksud mengharap pahala namun tidak menggunakan shighat, maka yang demikian dinamakan sedekah. Apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan memuliakannya tanpa disertai shighat dalam melakukannya, maka yang demikian disebut hadiah."
(Abu Bakar bin Ustman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 171). 
 

Suatu pemberian baik dinamakan hibah, sedekah, atau hadiah, mempunyai ketentuan atau syarat masing-masing. Semisal hibah disyaratkan adanya ijab dan qabul (menurut pendapat kuat). Mengingat dalam prakteknya mungkin ada berbagai macam mekanisme. Menurut Penulis, pemberian THR adalah bentuk daripada sedekah atau hadiah.  
 

Kita tentu sepakat bahwa secara hukum asal sedekah, hadiah, atau bahkan hibah, hukumnya tidak wajib dan tidak dilarang, melainkan diperbolehkan bahkan dianjurkan. Dalam fiqih Islam, sesuatu yang secara asal hukumnya sunah atau bahkan perkara mubah yang mengandung kemaslahtan umum, ketika diinstruksikan oleh pemerintah maka status hukumnya naik wajib dan harus ditaati.
 

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam kitab Hasyiyah 'alal Khatib menjelaskan:
 

وَحَاصِلُهُ، أَنَّهُ إذَا أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوبُهُ، وَإِنْ أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ وَجَبَ، وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ، فَإِنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ. بِخِلَافِ مَا إذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ عَامَّةً
 

​​​Artinya, "Kesimpulannya, ketika seorang pemimpin memerintahkan suatu kewajiban, maka kewajiban itu semakin kuat. Jika ia memerintahkan sesuatu yang sunah, maka hal itu menjadi wajib. Jika ia memerintahkan sesuatu yang mubah, selama mendatangkan kemaslahatan umum, seperti larangan merokok, maka menjadi wajib menjauhi merokok.

Lain halnya bila pemimpin memerintahkan suatu keharaman atau hal-hal yang bersifat makruh atau suatu perkara mubah, akan tetapi tidak memuat unsur maslahah umum di dalamnya, (maka tidak wajib mengikuti perintah tersebut)." 
(Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimi, Hasyiyah Al- Bujairimi 'alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 238).
 

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, pemberian THR oleh perusahan atau pengusaha menurut istilah fiqih Islam masuk kategori hadiah atau sedekah yang secara hukum asalnya tidaklah wajib.
 

Namun hukumnya menjadi wajib dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur soal ketentuan pemberian THR sampai adanya sanksi denda dan pembekuan kegiatan usaha bagi perusahaan yang terlambat atau bahkan tidak memberikan THR kepada pekerjanya. 
 

Keharaman Menangguhkan Gaji Pekerja

Hal ini juga relevan dengan keharaman menunda atau menangguhkan gaji pekerja sampai pekerjaannya telah selasai, padahal sebenarnya mampu memenuhinya. Dalam hadits riwayat Abdullah bin 'Umar, Nabi saw bersabda:
 

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عرقُهُ
 

Artinya, "Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering." (HR. Ibnu Majah).
 

Dalam menjelaskan hadits di atas Al-Hafizh Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir berkata:
 

 فيحرم مطله والتسويف به مع القدرة فالأمر بإعطائه قبل جفاف عرقه إنما هو كناية عن وجوب المبادرة عقب فراغ العمل إذا طلب وإن لم يعرق أو عرق وجف 
 

Artinya, "Diharamkan menunda atau menangguhkan pemberian gaji padahal mampu membayarkannya sebelum keringatnya kering (tepat waktu).

Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah bentuk kinayah atau kiasan dari kewajiban menyegerakan pemberian gaji setelah pekerjaan itu selesai, ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering."  
(Abdurauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Mesir, Maktabah At-Tijariyah: 1358 H), juz I, halaman 562).
 

Simpulan Hukum

Walhasil, menunda atau bahkan tidak memberikan THR hukumnya haram, karena pemberian THR oleh para pengusaha atau perusahan kepada para pekerjanya hukumnya wajib. Selain itu, menunda atau bahkan tidak memberikan THR adalah tindakan zalim, yakni menahan untuk memberikan hak orang lain padahal sebenarnya dia mampu memberikan. Wallahu a'lam.
 


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo