Syariah

Hukum Pipa Gading Gajah Menurut Empat Madzhab

Rab, 13 September 2023 | 17:00 WIB

Hukum Pipa Gading Gajah Menurut Empat Madzhab

Hukum Pipa Gading Gajah Menurut Empat Madzhab. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Bagi perokok, mengunakan pipa gading gajah merupakan sesuatu yang prestisius. Mereka akan merasa lebih percaya diri mengunakannya karena memang harganya yang tidak murah. Selain sebagai life style citra kelas atas, merokok menggunakan pipa gading gajah konon bermanfaat untuk menambahkan kenikmatan dalam merokok dan juga mampu menyembuhkan sakit gigi. Lantas bagaimana sebenarnya hukum mengunakan pipa gading gajah?. Berikut penjelasannya.


Sebelum menjelaskan hukum menggunakan pipa gading gajah, terlebih dahulu penting untuk diketahui terkait hukum najis tidaknya gading gajah. Tentang najis tidaknya gading gajah ini, fuqaha berbeda pendapat. Ada yang menyatakan najis, suci, dan yang terakhir tafsil. Berikut ringkasnya: 


Pertama, gading gajah najis merupakan pendapat madzhab Hanabilah, madzhab Syafi'i dan Muhammad Ibn Hasan dari Madzhab Hanafi. Mereka berkata: "Sesuatu yang terbuat dari gading gajah hukumnya najis, karena tulang gajah najis baik diambil dari gajah hidup ataupun mati, karena sesuatu yang terpisah dari hewan yang hidup ia adalah bangkai, dan baik diambil setelah disembelih atau setelah mati."


Dalil mereka adalah firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 3: 


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ


Artinya, "Diharamkan atas kalian bangkai".


Menurut pandangan madzhab ini, tulang termasuk dari pada bangkai sehingga diharamkan. Sedangkan gajah tidak dapat dimakan dagingnya maka bagaimana pun juga ia najis. 

 

Imam Nawawi dalam Majmu' sebagai berikut: 


(فرع) العاج المتخذ من عظم الفيل نَجِسٌ عِنْدَنَا كَنَجَاسَةِ غَيْرِهِ مِنْ الْعِظَامِ لَا يجوز استعماله في شئ رَطْبٍ فَإِنْ اُسْتُعْمِلَ فِيهِ نَجَّسَهُ: قَالَ أَصْحَابُنَا وَيُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْأَشْيَاءِ الْيَابِسَةِ لِمُبَاشَرَةِ النَّجَاسَةِ وَلَا يَحْرُمُ لِأَنَّهُ لَا يَتَنَجَّسُ بِهِ


Artinya, "(cabang) menurut kami "Al-Aaj" yang terbuat dari tulang gajah hukumnya najis sebagaimana najisnya tulang-tulang yang lain. Tidak diperbolehkan menggunakannya pada sesuatu yang basah. Jika digunakan pada perkara yang basah maka dia akan menajiskannya. Ashab kami berkata: "Dan dimakruhkan menggunakannya pada perkara yang kering karena bersentuhan langsung dengan perkara yang najis, dan hal itu tidaklah haram, karena benda yang kering tidak menjadi najis sebabnya." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 243).


Kedua, gading gajah suci menurut madzhab Hanafi kecuali Muhammad ibn Hasan. Satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hambal dan Ibnu Wahab dari madzhab Maliki berargumen: 


وَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّ الْعَظْمَ لَيْسَ بِمَيِّتٍ؛ لأَِنَّ الْمَيْتَةَ مِنَ الْحَيَوَانِ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ اسْمٌ لِمَا زَالَتْ حَيَاتُهُ لاَ بِصُنْعِ أَحَدٍ مِنَ الْعِبَادِ، أَوْ بِصُنْعٍ غَيْرِ مَشْرُوعٍ وَلاَ حَيَاةَ فِي الْعَظْمِ فَلاَ يَكُونُ مَيْتَةً، كَمَا أَنَّ نَجَاسَةَ الْمَيْتَاتِ لَيْسَتْ لأَِعْيَانِهَا، بَل لِمَا فِيهَا مِنَ الدِّمَاءِ السَّائِلَةِ وَالرُّطُوبَاتِ النَّجِسَةِ، وَلَمْ تُوجَدْ فِي الْعَظْمِ 

 
Artinya, "Mereka berargumen: "bahwa tulang tidak termasuk mayit karena bangkai dalam pengertian syara' adalah nama untuk hewan yang mati tanpa adanya perlakuan (disembelih) seseorang atau ada perlakuan manusia, namun dengan cara yang tidak sesuai syariat. Sehingga karena tidak adanya kehidupan pada tulang maka ia bukan bangkai, seperti halnya najisnya bangkai bukan karena bendanya yang najis  melainkan karena adanya darah dan cairan-cairan najis yang mengalir di dalamnya, dan ini tidak ditemukan pada tulang." 


Adapun hukum mengunakannya menurut madzhab Hanafi dan ulama lain yang sependapat diperbolehkan mengunakan sesuatu yang terbuat dari gading gajah. Hal ini berdasarkan bahwa Nabi pernah mengunakan sisir yang terbuat dari gading gajah, kenyataan ini menunjukan kebolehan mengunakan sesuatu yang terbuat dari tulang gajah. 


Ketiga, pendapat yang menyatatakan gading gajah hukumnya tafsil antara disembelih dan tidaknya gajah yang diambil gadingnya. Ini adalah pendapat masyhur madzhab Maliki. Menurut madzhab ini, jika gading gajah diambil dari gajah yang masih hidup atau mati tanpa disembelih maka gadingnya najis. Jika diambil setelah menyembelihnya, maka gadingnya dihukumi suci. Lihat:( Kementerian Waqaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XXIV halaman 212-213). 


Walhasil, mengunakan pipa yang terbuat dari gading gajah adalah masih diperselisihkan para ulama. Menurut mazhab Syafi'i dan Hambali tidak diperbolehkan dan haram digunakan pada perkara yang salah satunya basah karena dapat menajiskannya.  Sedangkan hukum melumurkan najis tanpa adanya hajat hukumnya haram. Hukumnya pun makruh digunakan pada perkara yang kering karena gading gajah yang notabenya najis tidak dapat menajiskan perkara lain yang sama-sama keringnya.


Menurut madzhab Hanafi dan ulama-ulama yang sependapat dengannya diperbolehkan secara mutlak. Menurut madzhab Maliki hukumnya makruh. Perbedaan pendapat ini bersumber pada perbedaan sudut pandang tentang najis tidaknya tulang atau gading gajah. 


Hukum ini belum mangaitkan dengan peraturan perundang-undangan terkait pengunaan pipa gading gajah. Jika ternyata pengunaan pipa gading gajah ilegal dan melanggar peraturan pemerintah maka hukumnya haram secara mutlak karena mematuhi peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syari'at hukumnya wajib. Sebagaiman dijelaskan dalam Mugnil Mughtaj: 


تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِي أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ مَا لَمْ يُخَالِفْ حُكْمَ الشَّرْع


Artinya: "Wajib mematuhi perintah dan larangannya Imam selama tidak melanggar hukum syar'i." (Al-Khatib As-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, [ Bairut, Dar Kutub Ilmiyah: 1415 H], jus I halaman 604). Wallahu a'lam bissowab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo