Syariah

Menjaga Silaturahmi di Tengah Beda Keyakinan

NU Online  ·  Senin, 11 Agustus 2025 | 19:00 WIB

Menjaga Silaturahmi di Tengah Beda Keyakinan

Ilustrasi simbol agama-agama. Sumber: Canva/NU Online.

Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang majemuk, terdiri dari beragam suku, ras, dan agama. Tidak jarang, dalam satu keluarga besar terdapat anggota yang memeluk keyakinan berbeda, misalnya, kakek dari pihak ibu yang beretnis Tionghoa, atau bibi dari pihak ayah yang beragama Katolik. Meski berbeda keyakinan, seorang muslim tetap diajarkan untuk menjaga hubungan baik dan berinteraksi dengan penuh hormat. Islam pun memberikan panduan bijak untuk mengatur hubungan keluarga yang berbeda agama.


Berinteraksi dengan kerabat yang memiliki keyakinan berbeda bagi banyak orang terasa biasa saja. Namun bagi sebagian lainnya, interaksi antar agama di tengah keluarga juga menyentuh batas-batas keyakinan mereka. Bagi mereka, di satu sisi, Islam menekankan pentingnya kasih sayang dan menjaga silaturahmi, terlebih kepada keluarga. Di sisi lain, ada prinsip akidah yang perlu dijaga tanpa mengurangi rasa hormat dan kebaikan dalam berhubungan.


Dahulu, ada salah satu seorang sahabat bernama Hatib bin Abi Balta’ah. Ia memiliki ikatan emosional dan loyalitas terhadap masyarakat non muslim kala itu. Sahabat Hatib terlalu banyak menyampaikan informasi-informasi kepada orang orang Yahudi dan Nasrani, yang mana seharusnya tetap dirahasiakan. Karena perilakunya, Allah menurunkan ayat 28 surat Ali Imran. 


قَالَ مُقَاتِلٌ: نَزَلَتْ فِي حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ وَغَيْرِهِ، وَكَانُوا يَتَوَلَّوْنَ الْيَهُودَ وَالْمُشْرِكِينَ وَيُخْبِرُونَهُمْ بِالْأَخْبَارِ وَيَرْجُونَ أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الظَّفَرُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ


Artinya, “Muqatil berkata, Ayat ini turun berkenaan dengan Hatib bin Abi Balta'ah dan yang lainnya. Mereka menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi dan musyrik, serta memberi mereka informasi (rahasia), dan mereka berharap agar pihak tersebut memperoleh kemenangan atas Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini.” (Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Ar-Razi, [Beirut, Darul Ihya’: 2000], Juz 8, halaman 192).


Ayat yang dimaksud adalah:


لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةًۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ ۝٢٨


Artinya, “Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah tempat kembali.” 


Berdasarkan ayat ini, para ulama menjelaskan batasan interaksi antara seorang muslim dengan non-muslim dalam tiga bentuk. Pertama, meridhai atau membenarkan keyakinan non-muslim, serta menjadikan mereka sebagai wali karena alasan keyakinannya. Sikap ini termasuk mengakui kebenaran agama selain Islam, dan membenarkan kekufuran adalah kekufuran itu sendiri.


Kedua, menjalin interaksi secara lahiriah dalam hal-hal yang dibolehkan syariat, selama tidak bertentangan dengan prinsip iman. Misalnya bekerja sama dalam perdagangan atau urusan sosial yang mubah. Pola interaksi ini diperkenankan.


Ketiga, berada di antara dua pola tersebut, yaitu menjalin kedekatan yang disertai bantuan atau dukungan kepada non-muslim karena faktor kekerabatan atau hubungan pribadi, namun tetap meyakini bahwa agamanya tidak benar. Meskipun hal ini tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam, para ulama memandangnya terlarang karena dikhawatirkan dapat mengarah pada sikap memaklumi agama selain Islam (Tafsir Ar-Razi, [Beirut: Darul Ihya’, 2000], Juz VIII, hlm. 192).


Ketiga pola interaksi dengan non-muslim yang telah dijelaskan para ulama dapat menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dapat memilih untuk lahir di keluarga yang seluruh anggotanya beragama Islam, bahkan bisa saja berada pada posisi minoritas. Karena itu, berinteraksi dengan keluarga non-muslim tetap perlu dijaga kelangsungannya, tanpa melibatkan keridhaan terhadap keyakinan yang dianut mereka.


Menjalin hubungan kekeluargaan yang berbeda agama sering menghadirkan dinamika yang kompleks. Seorang muslim kerap menemui situasi yang membutuhkan kepekaan, seperti menunjukkan kepedulian, memberi bantuan, atau membangun kedekatan emosional. Dalam Islam, menjaga ikatan kekerabatan adalah hal yang utama, namun ada batasan yang jelas agar kebaikan tersebut tidak berkembang menjadi bentuk loyalitas yang bertentangan dengan akidah.


Contoh sikap yang bijak dapat dilihat dari hadits tentang sahabat Umar bin Khattab RA terhadap saudaranya yang non-muslim di Makkah. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Umar melihat sebuah jubah indah tergantung di pintu masjid. Ia pun memuji Rasulullah SAW, membayangkan beliau memakainya pada hari Jumat atau ketika menerima tamu penting. Rasulullah menjelaskan bahwa jubah tersebut terbuat dari sutra dan hanya dipakai oleh non-muslim.


Beberapa waktu kemudian, jubah serupa datang kepada Rasulullah SAW, dan beliau memberikan salah satunya kepada Umar. Umar pun bertanya mengapa beliau memberikannya, padahal sebelumnya menolak. Rasulullah menjelaskan bahwa beliau tidak bermaksud agar Umar memakainya. Umar kemudian menghadiahkan jubah tersebut kepada saudaranya yang musyrik di Makkah.


Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dengan tingkat keakuratan yang sangat tinggi. Imam Nawawi, dalam Syarah Muslim, menjelaskan bahwa peristiwa ini menjadi dalil kebolehan menjaga kekerabatan, bersikap baik dan simpatik, bahkan memberikan hadiah kepada saudara atau orang lain yang beragama selain Islam (Imam Nawawi, Syarah Muslim, [Beirut: Darul Ihya’, 1976], Juz XIV, hlm. 39).


Dari sini dapat disimpulkan bahwa memberikan bantuan, simpati, dan hadiah kepada keluarga non-muslim diperbolehkan. Adapun yang dilarang adalah mengakui kebenaran agama saudaranya yang non muslim. Maka, langkah praktis dalam menjaga hubungan keluarga beda agama menurut pandangan Islam:

  1. Menjalin hubungan baik dan tetap berinteraksi dengan keluarga atau lingkungan non-muslim sebagaimana mestinya.
  2. Tidak membenarkan atau merelakan agama yang dianut oleh keluarga yang non-muslim.
  3. Memberikan pertolongan, simpati, dan dukungan sebagaimana relasi keluarga seperti biasanya.


Dengan demikian, menjaga kekerabatan dengan keluarga non-muslim adalah hal yang dibolehkan, selama tetap berada dalam koridor batasan yang diajarkan Islam: mengedepankan kasih sayang, bantuan, dan penghormatan, namun tetap teguh menjaga akidah. Wallahu a'lam.


Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Ainul Yaqin.