Sebelum berangkat haji, mereka biasanya melakukan tasyakuran atau selamatan. Tradisi ini kelihatannya sudah membumi di Nusantara. Hampir di semua daerah ditemukan tradisi ini, meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Secara umum mereka menyebutnya walimah safar.
Istilah ini memang jarang ditemukan dalam litaratur fikih. Tapi sebenarnya ada istilah yang hampir mirip, yaitu naqiโah. Hanya saja, istilah naqiโah secara spesifik digunakan untuk menyambut kedatangan musafir, terutama yang balik dari perjalanan jauh semisal haji. Masyarakat menyambutnya dengan mengadakan walimah atau acara makan-makan. Naqiโah ini bisa diadakan oleh musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambutnya.
Al-Nawawi dalam Al-Majmuโ Syarah Al-Muhadzdzab berpendapat:
Artinya, โDisunahkan melangsungkan naqiโah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.โ
Pendapat ini didukung oleh hadis riwayat Jabir bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah selepas pulang dari perjalanan, Beliau menyembelih unta atau sapi (HR Al-Bukhari). Dalil ini memperkuat kesunahan mengadakan selamatan setelah pulang dari perjalanan jauh. Selamatan sebagai bentuk rasa syukur atas diselamatkannya musafir dari bahaya perjalanan.
Demikian pula dengan selamatan sebelum haji. Hukumnya dapat disamakan dengan naqiโah. Terlebih lagi, substansi acaranya tidak melenceng sedikit pun dari syariat Islam. Di dalamnya terdapat unsur silaturahmi, sedekah, doโa, baca Al-Qurโan, dan lain-lain. Kendati istilah walimah safar jarang ditemukan dalam literatur hadits maupun fikih, bukan berarti mengadakannya dianggap haram atau bidโah tercela.
Al-ibraru bil musamma, la bil ismi, yang diperhatikan ialah substansi yang dinamai, bukan soal nama itu sendiri. Berdasarkan prinsip ini, yang menjadi acuan dalam menghukumi sebuah perbuatan ialah isi dan substansinya. Selama isi dan substansinya tidak bertentangan dengan syariat Islam, ia diperbolehkan sekalipun istilah atau penamaannya tidak ditemukan di masa Rasulullah SAW.
Terlebih lagi, dalam Madzhab Syafiโi, istilah walimah tidak hanya dikhususkan untuk pesta pernikahan. Istilah walimah mencakup semua perayaan yang diselenggarakan lantaran mendapat rezeki yang tidak terduga atau kebahagian tertentu. Maka dari itu, menurut Madzhab Syafiโi kesunahan mengadakan walimah tidak dibatasi hanya untuk nikah, tapi juga disunahkan pada saat bangun rumah, khitan, pulang dari perjalanan, dan lain-lain. Pendapat ini sebagaimana dikutip Al-Jaziri dalam Al-Fiqhu โala Madzahibil Arbaโah:
Artinya, โMadzhab Syafiโi mengatakan disunahkan menghidangkan makanan dan mengundang orang untuk memakannya pada setiap kejadian yang membahagiakan, baik saat pernikahan, nikah, kedatangan orang dari perjalanan, dan lain-lain.โ
Merujuk pada pendapat di atas, tradisi walimah safar yang dilakukan masyarakat Nusantara sangat baik dilakukan. Pada saat itulah momen berbagi kepada sesama masyarakat atas kesempatan dan nikmat yang diberikan Allah SWT. Apalagi tidak semua orang yang diberikan kesempatan untuk berhaji.
Selain ajang silaturahmi dan sedekah, walimah safar merupakan bentuk rasa syukur atas peluang yang diberikan Allah SWT dan ajang meminta doโa kepada sanak-saudara supaya diselamatkan selama menjalani ibadah haji. Wallahu aโlam. (Hengki Ferdiansyah)
Terpopuler
1
Gubernur Jabar Tuai Kritik: Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer Abaikan Akar Masalah dan Hak Anak
2
Beasiswa PBNU ke Maroko 2025 Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya
3
Pengasuh Pesantren Al-Fadllu KH Alamudin Dimyati Rois Alami Kecelakaan di Tol Pemalang
4
Khutbah Jumat: Bahaya Kecanduan HP yang Menggerus Ibadah dan Merusak Muamalah
5
Khutbah Jumat: Menjaga Pangan, Menjaga Negeri
6
Psikolog: Pembinaan Karakter Berbasis Militer ala Gubernur Jabar Bukan Solusi Tepat Atasi Anak Nakal
Terkini
Lihat Semua