Koreksi 'Tipis-Tipis' Sayyid Muhammad Al-Maliki atas Doa Nisfu Sya’ban
Kamis, 13 Februari 2025 | 11:00 WIB
Muhamad Abror
Kolomnis
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitab Ma Dza fi Sya’ban mengoreksi redaksi doa malam Nisfu Sya’ban yang sudah banyak beredar di sejumlah kitab, bahkan redaksi tersebut sudah banyak dipakai oleh masyarakat. Berikut adalah pernyataan tegas Sayyid Muhammad terkait koreksi tersebut:
قلتُ: وقوله في هذا الدعاء «اللهم إن كنت كتبتني عندك ... إلخ»، هذا هو الصواب عند التحقيق والمراجعة. وفي كثير من الكتب المشهورة المتداولة زيادة لفظ في أم الكتاب وهو غلط، ولعله تحريف من النساخ، وذلك لأن ما في أم الكتاب لا يقبل المحو ولا الإثبات. كما قال تعالى: ﴿يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ﴾، وقد عرضت هذا الأمر على جملة من مشايخنا من أئمة الحديث والفقه فثبتني عليه.
Artinya, “Saya (Sayyid Muhammad) berkata: Redaksi dalam doa ini, 'Allahumma in kunta katabtani ‘indaka… (Ya Allah, jika Engkau telah menulisku di sisi-Mu...)', dan seterusnya, inilah yang benar menurut penelitian dan peninjauan." Dalam banyak kitab terkenal yang beredar, terdapat tambahan redaksi fi ummil kitab (dalam Ummul Kitab) yang merupakan kesalahan, dan mungkin saja itu adalah kesalahan dari penyalin.
Hal ini karena apa yang tertulis dalam Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz) tidak dapat dihapus atau diubah. Sebagaimana firman Allah Ta'ala: 'Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (kitab yang menjadi acuan segala sesuatu).' (QS. Ar-Ra'd: 39). Dan sungguh, saya telah menyampaikan hal ini kepada sejumlah guru kami dari kalangan imam hadits dan fikih, dan mereka membenarkannya." (Sayyid Muhammad, Ma Dza fi Sya’ban, 2003: h. 108-110)
Pernyataan Sayyid Muhammad ini menegaskan bahwa bacaan atau redaksi doa Nisfu Sya’ban yang sudah banyak beredar di kitab-kitab, bahkan dipakai banyak masyarakat hari ini, terdapat sedikit kekeliruan sebab ada penambahan lafaz Fi Ummil Kitab (yang artinya Lauh Mahfudz) setelah lafaz 'Allahumma in kunta katabtani ‘indaka.
Penambahan lafaz tersebut, kata Sayyid Muhammad, tidak tepat sebab bisa menimbulkan salah paham bahwa catatan atau suratan takdir di Lauh Mahfudz bisa diubah atau direvisi. Padahal, imbuhnya, segala sesuatu yang sudah dicatat di Lauh Mahfudz sudah tidak bisa ditetapkan secara mutlak oleh Allah swt, sehingga tidak bisa ditambah atau direvisi.
Untuk menguatkan koreksinya, Sayyid Muhammad menyebutkan sudah memvalidasi teks doa Nisfu Sya’ban tersebut ke sejumlah gurunya, dari yang berlatar belakang pakar hadits hingga fikih. Dari guru-guru yang ia temui, tidak ada yang menambahkan lafaz Fi Ummil Kitab tersebut. Berikut adalah redaksi doa Nisfu Sya’ban yang sudah divalidasi oleh Sayyid Muhammad:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ، وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. اللَّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْهِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَا ذَا الطَّوْلِ وَالْإِنْعَامِ، لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، ظَهْرَ اللَّاجِينَ، وَجَارَ الْمُسْتَجِيرِينَ، وَمَأْمَنَ الْخَائِفِينَ. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي عِنْدَكَ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُومًا، أَوْ مَطْرُودًا، أَوْ مُقْتِرًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ؛ فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَطَرْدِي وَإِقْتَارَ رِزْقِي، وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيدًا مَرْزُوقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ. فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِي كِتَابِكَ الْمُنَزَّلِ عَلَىٰ لِسَانِ نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ: ﴿يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ﴾. إِلٰهِي بِالتَّجَلِّي الْأَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ، الَّتِي يُفْرَقُ فِيهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ وَيُبْرَمُ، أَسْأَلُكَ أَنْ تَكْشِفَ عَنَّا مِنَ الْبَلَاءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لَا نَعْلَمُ، وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ. وَصَلَّى اللَّهُ تَعَالٰىٰ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Artinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya. Ya Allah, Engkaulah Sang Pemilik Anugerah yang tak membutuhkan imbalan, Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Yang Maha Pemurah dan Pemberi Kenikmatan. Tiada Tuhan selain Engkau, Engkaulah tempat berlindung bagi yang mencari perlindungan, penolong bagi yang meminta pertolongan, dan tempat aman bagi mereka yang ketakutan.
Ya Allah, jika Engkau telah menetapkan aku dalam catatan-Mu sebagai orang yang sengsara, terhalang dari rahmat-Mu, terusir, atau sempit dalam rezeki, maka hapuslah ketetapan itu dengan anugerah-Mu. Tetapkanlah aku dalam kitab-Mu sebagai orang yang bahagia, mendapat rezeki, dan diberi taufik untuk melakukan kebaikan. Sungguh, Engkau telah berfirman dalam kitab-Mu yang diturunkan melalui lisan Nabi-Mu yang diutus: "Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)." (QS. Ar-Ra’d: 39)
Wahai Tuhanku, dengan keagungan-Mu yang tampak nyata di malam Nisfu Sya’ban yang mulia, malam di mana segala urusan bijak ditetapkan, aku memohon kepada-Mu agar Engkau mengangkat segala musibah dari kami, baik yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui, sebab Engkau lebih mengetahui segalanya. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya.”
Perbedaan Pendapat
Berdasarkan penelusuran penulis, pendapat Sayyid Muhammad bukanlah argumen tunggal. Artinya, penyertaan lafaz Ummul Kitab (Lauh Mahfudz) dalam doa Nisfu Sya‘ban masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini sebagaimana penjelasan Fakhruddin ar-Razi saat menafsiri Ar-Ra’ad ayat 39 berikut:
في هَذِهِ الآيَةِ قَوْلانِ: القَوْلُ الأوَّلُ: أنَّها عامَّةٌ في كُلِّ شَيْءٍ كَما يَقْتَضِيهِ ظاهِرُ اللَّفْظِ. قالُوا: إنَّ اللَّهَ يَمْحُو مِنَ الرِّزْقِ ويَزِيدُ فِيهِ، وكَذا القَوْلُ في الأجَلِ والسَّعادَةِ والشَّقاوَةِ والإيمانِ والكُفْرِ، وهو مَذْهَبُ عُمَرَ وابْنِ مَسْعُودٍ، والقائِلُونَ بِهَذا القَوْلِ كانُوا يَدْعُونَ ويَتَضَرَّعُونَ إلى اللَّهِ تَعالى في أنْ يَجْعَلَهم سُعَداءَ لا أشْقِياءَ، وهَذا التَّأْوِيلُ رَواهُ جابِرٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ. والقَوْلُ الثّانِي: أنَّ هَذِهِ الآيَةَ خاصَّةٌ في بَعْضِ الأشْقِياءِ دُونَ البَعْضِ.
Artinya, “Dalam ayat ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: Ayat ini bersifat umum mencakup segala sesuatu, sebagaimana ditunjukkan oleh makna lahiriahnya. Mereka mengatakan bahwa Allah menghapus dan menambah rezeki, demikian pula dalam hal ajal, kebahagiaan, kesengsaraan, keimanan, dan kekufuran. Pendapat ini dianut oleh Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud.
Para pendukung pendapat ini berdoa dan memohon dengan penuh ketundukan kepada Allah Ta’ala agar Dia menjadikan mereka sebagai orang-orang yang bahagia, bukan orang-orang yang celaka. Tafsiran ini diriwayatkan oleh Jabir dari Rasulullah ﷺ. Pendapat kedua: Ayat ini khusus berlaku bagi sebagian orang yang celaka, tetapi tidak mencakup semuanya.” (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, 1981: juz 19, h. 66)
Dari pernyataan Ar-Razi ini dapat dipahami bahwa ulama berbeda pendapat terkait suratan takdir yang sudah Allah tetapkan dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfudz). Pendapat pertama menyebutkan bahwa semua (tanpa terkecuali) ketetapan yang ada di Lauh Mahfudz masih bisa diubah atau direvisi sesuai kehendak Allah swt.
Sedangkan pendapat kedua menyebutkan bahwa suratan takdir terbagi menjadi dua, yaitu takdir yang bisa diubah (disebut takdir mu’allaq) dan yang tidak bisa diubah (disebut takdir mubram). Takdir yang bisa diubah seperti nasib rezeki dan kesehatan seseorang, sedangkan yang tidak bisa diubah seperti waktu kematian seseorang dan datangnya hari kiamat.
Dari penjelasan ini bisa ditarik kesimpulan, berkaitan dengan penyertaan lafaz Ummul Kitab pada doa Nisfu Sya’ban, sebenarnya sah-sah saja kita menambahkannya dalam doa tersebut, baik dengan berpijak pada pendapat pertama atau pendapat kedua.
Jika berpijak pada pendapat pertama, dasar argumennya jelas bahwa suratan takdir di Lauh Mahfudz bisa diubah sesuai kehendak Allah. Jika mengacu pada pendapat kedua, maka yang dikehendaki adalah takdir mu’allaq, bukan mubram. Boleh jadi, pilihan Sayyid Muhammad untuk tidak menyertakan Ummul Kitab pada doa Nisfu Sya’ban berangkat dari kahati-hatian agar orang tidak salah paham bahwa takdir mubram bisa diubah. Sebab, secara redaksional doa tersebut tidak membedakan dua jenis takdir tersebut. Wallahu a’lam.
Muhamad Abror, Dosen Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
4
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
5
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
6
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Peduli Lingkungan dan Sosial
Terkini
Lihat Semua