Syariah

Korupsi Pejabat Publik dalam Islam

Jum, 10 Maret 2023 | 17:00 WIB

Korupsi Pejabat Publik dalam Islam

Korupsi (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Dalam Islam, tindakan korupsi dianggap sebagai tindakan yang sangat merusak dan merugikan orang banyak. Tindakan korupsi merupakan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip moral dan etika yang diterapkan dalam Islam. Lebih jauh, korupsi dianggap sebagai suatu tindakan yang sangat tidak bermoral dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut.


Dalam pandangan Islam, tindakan korupsi dianggap sebagai dosa besar yang harus dihindari oleh setiap muslim. Dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah ayat 188 Allah berfirman:


وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ ١٨٨


Artinya, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”


Tafsir dari ayat ini menurut Ibnu Asyur dalam Kitab Tahrir wa Tanwir, bahwa Allah melarang memakan harta dengan cara yang batil dan melakukan perdamaian atasnya. Allah juga melarang memberikan uang haram kepada hakim untuk memihak salah satu dari dua belah pihak dalam pengadilan. Ia berkata;


في هذه الآية الكريمة حرم الله تعالى أكل الأموال بالباطل والتراضي عليه، وكذلك ترشيح الحكام بالمال الحرام لتفضيل أحد بين الطرفين في الحكم، وفيها إظهار أن الجرم يوجب عقوبة على المجتمع الذي لا يحاربه أو يمنعه، وليس بكفارة إلا إذا تاب صاحبه وأخلص منه


Artinya: “Dalam ayat yang mulia ini, Allah melarang memakan harta dengan cara yang batil dan melakukan perdamaian atasnya. Allah juga melarang memberikan uang haram kepada hakim untuk memihak salah satu dari dua belah pihak dalam pengadilan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa kejahatan tersebut memerlukan hukuman bagi masyarakat yang tidak memerangi atau mencegahnya, dan hanya bisa diampuni jika pelakunya bertobat dan membebaskan dirinya dari dosa tersebut,” [Ibnu Asyur, Tahrir wa Tanwir, juz I, halaman 427].


Lebih lanjut, Allah dengan tegas mewanti-wanti bagi orang korupsi, kelak di hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang dikhianatinya dan dicurinya. Misalnya, orang yang mencuri harta orang miskin, kelak di akhirat akan diminta pertanggungjawaban terkait harta yang diambilnya dengan cara zalim tersebut. Itulah hukuman akhirat, bagi mereka yang mencuri uang rakyat. Sebagaimana Q.S Ali Imran [3] ayat 161: 


وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ


Artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”


Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa Allah mengancam barang siapa yang berkhianat dalam konteks mengambil barang yang dikorupsinya, maka dia datang dengan apa yang dikhiantinya. Maksud ayat ini, pelaku khianat tersebut akan benar-benar memikul di punggungnya  apa yang ia ambil dengan cara yang khianat.


Kelak manusia yang korupsi tersebut akan sangat tersiksa dengan beban yang dibawanya. Lebih jauh lagi, manusia tersebut akan dipermalukan , sebab semua mata tertuju kepadanya, tidak ubahnya dengan seseorang yang memikul seekor unta yang mengeluarkan suara. Itu sebagai siksaan terhadap kelakuannya di dunia. (Profesor M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Jakarta, Lentera Hati: 2017 M], volume II, halaman 320-321).


Ancaman Allah Bagi yang Menyalahgunakan Kekuasaan

Pada sisi lain, hal lain yang lumrah dilakukan oleh pejabat tinggi, ialah menyalahgunakan kekuasaannya yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Tindakan penyelewengan kekuasaan ini termasuk perkara yang melanggar hukum Islam.


Jenis-jenis menyalahgunakan jabatan amat sangat banyak di antaranya penyalahgunaan wewenang, pemerasan, intimidasi, pamer kekayaan, korupsi, dan memperkaya diri dan kolega.


Pada dasarnya, jabatan adalah sebuah amanah yakni sesuatu yang dititipkan atau dipercayakan kepada seseorang. Ketika pekerjaan tidak diselesaikan dengan baik, atau lalai dalam mengerjakan tanggung jawab, maka tindakan tersebut tergolong pada sikap khianat. Perkara khianat termasuk tindakan yang dilarang Allah, sebagaimana dalam QS Al-Anfal [8]: 27:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.”


Menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam Kitab Tafsir Al-Munir, ayat ini menegaskan pentingnya menjaga amanat dan tidak melakukan pengkhianatan terhadap amanat yang telah dipercayakan, baik itu dalam hal-hal yang bersifat dunia maupun agama.


Lebih lanjut, amanat dalam ayat ini mencakup segala hal yang dipercayakan oleh orang lain kepada kita, seperti kepercayaan akan sesuatu, amanah, janji, dan tanggung jawab. Sehingga, jika kita tidak dapat memenuhi amanat tersebut dengan baik, maka sudah masuk dalam golongan yang khianat.


Syekh Wahbah Zuhaili juga menekankan bahwa ayat ini mencakup pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya bisa terjadi jika kita tidak mematuhi perintah-perintah-Nya dan menyelewengkan ajaran-ajaran agama.


Ustadz Zainuddin Lubis, pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat.