Syariah

Hukum Korupsi Dana Baznas Seperti Kasus di Bengkulu Selatan

Sab, 17 Desember 2022 | 10:00 WIB

Hukum Korupsi Dana Baznas Seperti Kasus di Bengkulu Selatan

Korupsi merupakan tindakan kejahatan luar biasa.

Zakat merupakan kewajiban bagi setiap kaum muslim. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beraagama Islam dan merunjadi negara dengan pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, kesadaran membayar zakat semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah lembaga yang menangani pengelolaan zakat baik yang berupa lembaga resmi negara ataupun swasta.


Dengan adanya lembaga-lembaga tersebut, memungkinkan terjadinya perbaikan dalam sistem pemungutan, pengelolaan dan pendistribusian zakat dari muzakki, oleh amil untuk mustahiq.


Hal demikian semakin mendukung realisasi lahirnya tujuan utama zakat sebagaimana tertera dalam Alquran surat al-Hasyr ayat 7:


كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ


Artinya, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukumannya.”


Manajemen sistem pemungutan zakat yang baik dari orang kaya dan tata kelola dengan baik oleh amil akan bisa memangkas kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin dan membuat stabilitas kehidupan umat Islam semakin membaik.


Namun sayangnya, tujuan mulia diatas dirusak oleh beberapa oknum sebagaimana yang kita lihat baru-baru ini. Terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurus badan amil zakat (Baznas) dengan nilai yang cukup fantastis. Zakat yang sedianya dikeluarkan oleh orang kaya untuk menyucikan harta mereka dan diterima oleh orang yang membutuhkan malah dinodai dengan tindakan sebagian oknum ini.


Ironisnya kejadian ini membuat netizen menyamakan dengan kasus korupsi dana Al-Qur’an dan korupsi dana pembangunan tugu antikorupsi yang dulu sempat terjadi.


Padahal apabila kita cermati, sesungguhnya amil atau badan pengelola zakat ini sudah mendapatkan “bagian” mereka yang nilainya cukup besar yakni 1/8 dari total dana yang masuk atau 12,5 % sebagaimana difatwakan oleh MUI No. 8 Tahun 2011:


“Tegasnya, mereka mendapatkan bagian dari bagian amil sebesar 1/8 dari harta zakat karena mereka merupakan bagian dari Amil yang berhak mendapatkan upah sesuai dengan kewajarannya (Imam Al-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab).”


Lantas bagaimanakah syariat mengatur hukuman yang pantas bagi pelaku tindak korupsi dana zakat ini:


Sebagaimana tindak korupsi pada sektor lainnya, syariat memandang korupsi ini sebagai bentuk pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat selain sebagai bentuk pencurian. Maka ada dua perspektif pidana yang bisa dilihat dalam persoalan ini, yakni pencurian (sariqah) yang dalam syariat islam hukumannya ialah potong tangan dan pengkhianatan (ghulul) yang hukumannya ialah ta’zir. Bentuk ta’zir itu sendiri disesuaikan dengan kepentingan umat yang bisa memberikan efek jera kepada pelaku atau calon pelaku di kemudian hari.


Dari perspektif korupsi sebagai tindak pencurian (sariqah), dalam Kitab Hasyiyah Jamal, juz V, halaman 388 dijelaskan bahwa pelaku korupsi atau pencurian pada umumnya wajib mengembalikan harta yang ia curi karena itu adalah hak orang lain dan diberi hukuman potong tangan sebagai bentuk hukuman yang Allah berikan ketentuannya dalam Al-Qur’an:


ثم رأيت فى منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التى بين العباد إما فى المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجز عن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه فى أن يرضيه عنه يوم القيامة .اهـ


Artinya: “Kemudian aku melihat dalam Kitab Minhaj al-‘Abidin karya al-Gazali dikatakan: dosa yang terjadi antar sesama hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila dalam kondisi berkemungkinan, bila tidak mampu karena kefakirannya maka mintalah halal darinya, bila tidak mampu meminta halal karena ketiadaannya atau telah meninggalnya dan (pemilik tanggungan) berkemungkinan bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya, dan bila masih tidak mampu maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri di hadapan-Nya agar kelak di hari kiamat Allah meridhai beban tanggungan harta (yang masih belum tertuntaskan)”


Berikutnya, untuk perspektif ghulul yang berkonsekuensi ta’zir, bentuk riil hukumannya bisa dengan cara yang bervariasi, yakni bisa dipermalukan dengan dipukuli, dimiskinkan, atau bahkan dihukum mati sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Tanwirul Qulub halaman 392:


التعزير هو التأديب بنحو حبس وضرب غير مبرح كصفح ونفى وكشف رأس وتسويد وجه – إلى أن قال – أما التعزير لوفاء الحق المالى فإنه يحبس إلى أن يثبت إعساره وإذا امتنع من الوفاء مع القدرة ضرب إلى أن يؤديه أو يموت لأنه كالصائل .اهـ


Artinya: “Ta’zir adalah bentuk pembelajajaran tatakrama agar bisa menimbulkan efek jera, dapat dilakukan dengan semacam memenjarakan, memukul dengan tanpa merusakkan anggota tubuh seperti dengan menampar, mengisolasi, membuka penutup kepala dan mencorengi hitam mukanya... Sedang ta’zir yang diberlakukan atas pengembalian harta benda dilakukan dengan mengekangnya hingga ia jatuh miskin, bila dalam kondisi mampu namun tidak mau mengembalikan harta tanggungannya dengan dipukuli hingga menyakitkannya atau membuatnya mati karena ia seperti sha’il (orang yang menjarah hak orang lain).”


Demikian penjelasan kami, semoga di kemudian hari tidak akan terjadi lagi tindak korupsi semacam ini. Kita berharap pelaku korupsi dana zakat dapat ditindak sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Wallahu a‘lam bis shawab.


Ustadz Mohamad Ibnu Sahroji atau dikenal Ustadz Gaes