Tasawuf/Akhlak

Sikap Pejabat Publik Sesuai Tuntutan Al-Qur’an

Jumat, 10 Maret 2023 | 14:00 WIB

Sikap Pejabat Publik Sesuai Tuntutan Al-Qur’an

Pemimpin dan pejabat publik (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Sebagai sebuah agama yang holistik, Islam memberikan panduan etika yang komprehensif bagi seluruh aspek kehidupan, termasuk bagi pejabat publik. Dalam Islam, pejabat publik diharapkan untuk memegang amanah dan bertanggung jawab dalam mengurus urusan publik dengan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan.


Secara khusus, dalam gaya hidupnya, pejabat publik harus menjaga kehormatan dan integritas dirinya serta keluarganya, menghindari perilaku yang merusak citra dan martabat jabatannya, serta tidak terlibat dalam praktik-praktik korupsi atau nepotisme yang merugikan masyarakat.


Al-Qur'an , sebagai kitab suci yang jadi pedoman umat Islam, seyogianya menjadi landasan dalam etika dan moral pejabat publik. Pasalnya Al-Qur’an menyediakan beberapa prinsip dan pedoman yang harus diikuti oleh pejabat publik untuk memastikan bahwa mereka memenuhi tanggung jawab mereka dengan adil dan bertanggung jawab. Beberapa prinsip tersebut adalah:


Pertama, keadilan. Keadilan: Al-Qur'an menekankan pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk di dalam pemerintahan. Pejabat publik harus memastikan bahwa mereka tidak memihak kepada satu kelompok atau individu tertentu dan harus memperlakukan semua orang dengan adil dan sama. Allah berfirman dalam QS.Al Maidah [5] ayat 8: 


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ٨


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”


Menurut Imam Fakhrudin Ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafātihul Ghaib, bahwa ayat ini menekankan sikap adil kepada siapa pun. Allah melarang manusia untuk melakukan tindakan zalim dan melenceng dari kebenaran. Jika seseorang tidak berlaku adil, maka sejatinya ia telah berlaku zalim [tidak adil] pada manusia lain. 


Lebih lanjut, keadilan yang dimaksud oleh Imam Fakhruddin Ar Razi di atas adalah bersifat general [umum], termasuk kepada orang yang berbeda agama dan akidah dengan kaum muslimin. Allah melalui ayat ini, menekankan untuk bersikap adil pada nonmuslim. Itulah hakikat keadilan dalam Islam. Imam Fakhruddin Ar Razi berkata;


فَهَذَا خِطَابٌ عَامٌّ، وَمَعْنَاهُ أَمَرَ اللَّه تَعَالَى جَمِيعَ الْخَلْقِ بِأَنْ لَا يُعَامِلُوا أَحَدًا إِلَّا عَلَى سَبِيلِ الْعَدْلِ وَالْإِنْصَافِ، وَتَرْكِ الْمَيْلِ وَالظُّلْمِ وَالِاعْتِسَافِ


Artinya:  “Ini [ayat] khitab-nya bersifat umum, adapun makna ayat ini; Allah SWT sejatinya memerintahkan kepada seluruh makhluk untuk tidak berinteraksi dengan siapa pun kecuali dengan cara/jalan yang adil, dan tidak melenceng dan tidak zalim, serta tidak menyimpang,” (Lihat karya Imam Fakhrudin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, jilid VI, halaman 168).


Kedua, transparansi. Seorang pejabat publik, yang digaji oleh negara, yang salah satu sumber uangnya dari kantong publik [pajak], maka sikap transparansi merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu Al-Qur'an menekankan pentingnya transparansi dalam semua aspek kehidupan, termasuk di dalam pemerintahan. Pejabat publik harus memberikan informasi yang jelas dan terbuka tentang keputusan dan tindakan mereka agar dapat dipertanggungjawabkan oleh masyarakat.


Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Anfal [8]: ayat 27;


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٧


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.


Ketiga, menjaga amanah. Al-Qur'an menekankan pentingnya menjaga amanah dalam semua aspek kehidupan, termasuk di dalam pemerintahan. Pejabat publik harus memastikan bahwa mereka menjalankan tanggung jawab mereka dengan baik dan tidak menyalahgunakan kekuasaan yang telah dipercayakan kepada mereka.


Hal ini pula yang dipraktikkan dalam konteks Indonesia. Setiap pejabat publik, baik itu dalam ranah eksekutif, yudikatif, dan legislatif, jika ingin dilantik menjadi pejabat, maka terlebih dahulu disumpah di atas kitab suci masing-masing. Seorang pejabat Kristen, akan disumpah di atas Bibel. Seorang muslim , maka ia akan disumpah untuk setia dan amanah dalam menjalan tugasnya.


اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا ٥٨


Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”


Keempat, menghindari korupsi. Dalam konteks ini Al-Qur'an melarang praktek-praktek korupsi dan menekankan pentingnya menghindari praktek tersebut. Pejabat publik harus memastikan bahwa mereka tidak memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri, golongan, keluarga, dan koloninya. 


Pada sisi lain, disebutkan terkait ancaman bagi orang yang korupsi adalah api neraka. Orang yang senantiasa korupsi, kelak di neraka masyarakat yang hartanya dicuri akan meminta  untuk mengembalikan harta yang dikorupsinya. Imam Baghawi dalam Kitab Tafsir Ma'alimut Tanzil atau populernya Tafsir al-Baghawi mengisahkan orang yang korupsi kelak akan menderita di neraka. Imam Baghawi berkata;


وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ( قَالَ الْكَلْبِيُّ: يَمْثُلُ لَهُ ذَلِكَ الشَّيْءُ فِي النَّارِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: انْزِلْ فَخُذْهُ فَيَنْزِلُ فَيَحْمِلُهُ عَلَى ظَهْرِهِ فَإِذَا بَلَغَ مَوْضِعَهُ وَقَعَ فِي النَّارِ ثُمَّ يُكَلَّفُ أَنْ يَنْزِلَ إِلَيْهِ، فَيُخْرِجُهُ فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِ


Artinya: “Firman Allah (Barang siapa yang berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu), berkata Kalbi; perumpamaan bagi demikian adalah sesuatu yang ada di neraka, kemudian dikatakan padanya; turunlah dan ambillah yang kamu khianati, maka turun ia dan membawanya yang dikorupsi/khianati tersebut di pundaknya, maka bila sampai di tempatnya, maka jatuh lagi barang tersebut ke dalam neraka, kemudian turun ia kembali untuk mengambilnya, maka keluar ia dan memperbuat ia demikian secara terus menerus.”


Termasuk dalam kategori korupsi ialah gratifikasi [pemberian hadiah]. Menurut  Imam an-Nawawi, dengan tegas mengatakan termasuk bentuk korupsi, bahwa memberikan sesuatu atau hadiah kepada pejabat yang sudah ditugaskan oleh negara. Perilaku gratifikasi termasuk dalam tindakan melalaikan amanah Allah.


وفي هذا الحديث بيان أن هدايا العمال حرام وغلول لأنه خان في ولايته وأمانته، ولهذا ذكر في الحديث في عقوبته وحمله ما أهدي إليه يوم القيامة كما ذكر مثله في الغال، وقد بين صلى الله عليه وسلم في نفس الحديث السبب في تحريم الهدية عليه وأنها بسبب الولاية بخلاف الهدية لغير العامل فإنها مستحبة


Artinya: “Di dalam hadits ini ada penjelasan bahwa hadiah kepada pegawai (yang sudah ditugaskan) itu haram dan bentuk penipuan. Karena yang menerimanya telah berkhianat atas amanah dan kekuasaannya. Karena inilah dalam hadits itu disebutkan hukumannya berupa membawa apa yang diterimanya sebagai hadiah (yang haram tadi) di hari kiamat.”


Simpulannya, Islam menegaskan pentingnya etika dalam gaya hidup pejabat publik, termasuk menjaga kehormatan diri, mengutamakan kepentingan umum, menghindari korupsi, dan menjadi teladan dalam melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan. Wallahu a’lam.


Ustadz Zainuddin Lubis, pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat