Sirah Nabawiyah

Tergoda Korupsi Harta Anak Yatim? Baca Kisah Ini

Sab, 13 Agustus 2022 | 15:00 WIB

Tergoda Korupsi Harta Anak Yatim? Baca Kisah Ini

Anak yatim merupakan amanah. Jangan sampai kita terjebak pada ekspolitasi dan ikut memakan harta anak yatim.

Santunan anak yatim utamanya pada 10 Muharam semakin diminati masyarakat luas. Sisi positifnya santunan anak yatim menjadi ladang amal saleh bagi para donatur dan tentu sangat membantu biaya hidup atau living cost anak yatim yang kekurangan.


Namun sisi negatifnya menjadi godaan bagi para pengelolanya. Baik panitia penyelenggara, lembaga filantropi, juga wali atau perawat anak yatim. Apakah mereka dapat menjaga amanah benar-benar menyampaikan donasi yang dikumpulkan, atau justru mengorupsi dan menyelewengkannya?


Sebab Awal Korupsi Harta Anak Yatim

Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani (898-973 H), pakar fiqih Syafi’i sekaligus sufi agung thariqah Syadziliyah asal Mesir, meskipun ulama besar, namun enggan bila diminta mengurusi harta anak yatim, karena khawatir melakukan kecurangan dan mengorupsinya.


Lain halnya dengan segolongan tokoh agama lain yang penuh percaya diri mau mengelolanya, dan bahkan berani mengorupsinya. Ketika hal itu dikasuskan, dengan kealimannya ia berani mendebat para penegak hukum dan saudara kerabat si anak yatim yang bersangkutan. Berani melakukan tipu muslihat untuk mempertahankan posisinya sebagai pengelola harta anak yatim. Demikianlah, godaan harta sangat menggiurkan, tanpa pandang bulu, juga menerpa ahli ilmu.


Lalu siapa yang akan mengelolanya bila semua tidak mau?


Dalam hal ini Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani memberi panduan bagi orang yang diminta mengelola harta anak yatim. Bila orang itu melihat dirinya sendiri adalah orang yang benar-benar takut kepada Allah dan tidak berani nekat melakukan maksiat karena malu kepada-Nya, maka bolehlah ia menerima permintaan mengelola harta anak yatim. Namun bila ia lihat dirinya masih suka bermaksiat ketika sedang sendirian, secara sembunyi, maka ia tidak pantas menjadi pengelolanya. Sebab wali yatim yang sebenarnya adalah Allah. (Abdul Wahab as-Sya’rani, Lawaqihul Anwar fi Bayanil ‘Uhudil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiyah: 2005], halaman 589-590).


Saat Rasulullah Melarang Sahabat Mengurus Harta Anak Yatim

Rasulullah saw sendiri pernah melarang salah satu sahabatnya, yaitu Abu Dzar ra, agar tidak berani-berani mengurus harta anak yatim, karena kelemahan yang ada padanya. Rasulullah saw menegaskan:


يَا أَبَا ذَرٍّ، إنِّي أرَاكَ ضَعِيفا، وَإنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي. لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ، وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ. رواه مسلم


Artinya, “Hai Abu Dzar, aku melihatmu sebagai orang lemah. Sungguh aku mencintaimu dengan apa yang aku cintai untuk diriku sendiri. Sungguh kamu jangan sampai memimpin atas dua orang (pun), dan sungguh jangan sampai kamu mengelola harta anak yatim.” (HR Muslim).


Kelemahan yang dimaksud adalah Abu Dzar ra merupakan pribadi yang terlalu zuhud dan tidak begitu memikirkan dunia. Nah, pribadi seperti ini biasanya tidak mementingkan urusan harta dan dunia. Karenanya tidak cocok menjadi pemimpin dan pengelola harta anak yatim. Demikian penjelasan Imam al-Qurthubi. (Jalaluddin as-Suyuthi, Hasyiyah as-Suyuthi was Sunanin Nasai, juz V, halaman 254).


Nah, kisah-kisah teladan di atas semestinya menjadi cerminan bagi semua orang lebih berhati-hati bila berurusan dengan harta anak yatim. Terlebih bila menjadi panitia penyelenggara, pengelola, pengurus lembaga filantropi, atau perawat anak yatim. Wallâhul musta’ân.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.