Syariah

Makanan-Minuman Kejatuhan Serangga, Apakah Najis?

Ahad, 24 Maret 2019 | 15:15 WIB

Makanan-Minuman Kejatuhan Serangga, Apakah Najis?

Ilustrasi (flipflopflyin.com)

Serangga seringkali berlalu-lalang di sekitar kita. Selain kadang mengganggu aktivitas, juga menimbulkan sejumlah permasalahan hukum Islam, misalnya ketika serangga hinggap di makanan atau minuman yang akan kita konsumsi: apakah makanan atau minuman itu berstatus najis, sehingga tidak boleh untuk kita konsumsi; atau sebaliknya, tetap suci sehingga masih halal dikonsumsi?

Dalam menyikapi problem tersebut, perlu dikaji dari berbagai dalil yang ada. Rasulullah dalam salah satu haditsnya pernah menjelaskan hal ini:

إِذَا سَقَطَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِى الآخَرِ شِفَاءً

“Ketika lalat jatuh pada minuman kalian, maka benamkan lalat itu lalu ambillah. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terkandung suatu penyakit dan pada sayap yang lain terkandung kesembuhan.” (HR Bukhari)

Hadits di atas seolah menegaskan bahwa lalat ketika jatuh pada makanan bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, sehingga tetap dihukumi suci dan dapat dikonsumsi, bahkan terdapat hikmah lain yang terkandung di dalamnya. Namun apakah para ulama fiqih dalam mengaji permasalahan ini berkesimpulan tetap suci?

Dalam menjawab permasalahan diatas, perlu dibedakan antara serangga yang telah mati atau menjadi bangkai dan serangga yang masih hidup. Sebab perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap status makanan yang kejatuhan serangga.

Pendapat para ulama fiqih tentang serangga mati pada makanan dan minuman terbagi setidaknya dalam dua kelompok, yakni mereka yang berpandangan tetap suci dan mereka yang berpandangan menjadi najis. Hal ini berdasarkan analogi dalam permasalahan jatuhnya serangga pada air yang mana terdapat dua pendapat tentang status suci tidaknya air tersebut. Analogi ini seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:

القولان بنجاسة الماء بموته يجريان في جميع المائعات والأطعمة صرح به أصحابنا واتفقوا عليه والصحيح في الجميع الطهارة للحديث وعموم البلوى وعسر الاحتراز

“Dua pendapat dalam status najisnya air sebab matinya hewan yang tidak keluar darah ketika tubuhnya dibedah, juga berlaku pada semua benda cair dan makanan. Hal tersebut ditegaskan oleh para al-Ashab dan mereka menyepakati hal ini. Pendapat yang sahih pada semua permasalahan di atas adalah tetap berstatus suci karena terdapat hadits yang menjelaskannya dan karena seringnya hal ini terjadi sekaligus sulit untuk menghindarinya.” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 1, hal. 130)

Namun kesucian makanan yang kejatuhan serangga menurut ulama yang tetap menganggapnya suci pada makanan tersebut dibatasi selama jatuhnya serangga tidak sampai mengubah makanan atau minuman baik dari segi rasa, warna, ataupun bau. Jika manakan sampai berubah dengan jatuhnya serangga, maka makanan tersebut dihukumi najis dan tidak boleh untuk dikonsumsi. Batasan ini seperti yang dikutip dalam kitab Fath al-Mu’in:

لا بوصول ميتة لا دم لجنسها سائل عند شق عضو منها كعقرب ووزع إلا إن تغير ما أصابته ولو يسيرا فحينئذ ينجس

“Air tidak najis  sebab jatuhnya bangkai yang tidak ada darah yang keluar ketika dibedah tubuhnya, seperti kalajengking dan tokek, kecuali sampai mengubah terhadap air yang dijatuhi hewan tersebut, meskipun perubahannya hanya sedikit, maka ketika air berubah, statusnya menjadi najis.” (Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 33)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status makanan dan minuman yang kejatuhan serangga diperselisihkan oleh para ulama antara yang menghukumi suci dan najis. Namun menurut pendapat yang sahih makanan dan minuman tersebut tetap berstatus suci dan dapat dikonsumsi selama tidak terdapat perubahan dalam makanan dan minuman.

Dua pendapat di atas berlaku ketika serangga yang jatuh pada makanan masih wujud dan dapat dilihat. Sedangkan ketika serangga jatuh pada makanan dan hancur lebur pada makanan, maka menurut al-Ghazali makanan tersebut tetap dapat dikonsumsi. Hal ini misalnya ketika serangga jatuh pada makanan yang sedang dimasak dan larut pada makanan itu. Penjelasan ini secara tegas disampaikan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal yang mengutip redaksi dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din:

 ففي الإحياء في كتاب الحلال والحرام أنه إذا وقعت نحلة أو ذبابة في قدر طبيخ وتهرت أجزاؤها لا يحرم أكل ذلك الطبيخ ؛ لأن تحريم أكل الذباب ونحوه إنما كان للاستقذار ولا يعد هذا مستقذرا

“Dalam kitab Ihya’ tepatnya dalam membahas bab halal-haram dijelaskan bahwa ketika tawon atau lalat jatuh pada wadah masakan, dan bagian tubuh hewan hancur (pada makanan) maka tidak haram mengonsumsi masakan tersebut. Sebab keharaman mengonsumsi lalat dan sejenisnya dikarenakan menjijikkan, sedangkan dalam permasalahan ini lalat sudah tidak dianggap menjijikkan.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 22, hal. 232).

Berbeda halnya ketika serangga yang jatuh pada makanan atau minuman dalam keadaan masih hidup, maka status makanan dan minuman tersebut tetap dihukumi suci selama tidak terlihat oleh mata bahwa serangga yang jatuh itu membawa najis. Selagi kita tak menyaksikan najis itu dan tak melihat secara pasti serangga tersebut pernah menempel pada benda najis, maka status makanan adalah suci alias tetap dapat dikonsumsi. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status makanan yang kejatuhan serangga diperinci: ketika serangga yang terdapat pada makanan sudah menjadi bangkai, maka terjadi dua perbedaan pendapat ulama. Menurut pendapat yang sahih, makanan tetap dihukumi suci dan dapat dikonsumsi. Sedangkan ketika serangga yang terdapat pada makanan masih dalam keadaan hidup, maka secara umum makanan tetap dihukumi suci selama tidak terlihat mata bahwa dalam serangga menempel benda najis. Wallahu a’lam.


Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur