Syariah

Perempuan di Kepengurusan PBNU dalam Kajian Ushul Fiqih

Ahad, 30 Januari 2022 | 06:00 WIB

Perempuan di Kepengurusan PBNU dalam Kajian Ushul Fiqih

Berdasarkan dua alasan tersebut, partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU dianggap suatu hal yang ‘terlarang’ dalam pandangan fiqih oleh sebagian orang. Minimal dianggap tak patut dan tidak elok (khilaful awla)

Landasan Fiqhiyah

Ada semangat baru dalam kepengurusan PBNU 2022-2027 yang dikomandani KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kali ini dengan diikutsertakannya para tokoh kaum perempuan NU dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.


Meski sempat mengundang perdebatan karena partisipasi kaum perempuan adalah suatu hal yang baru dan ‘out of box’ dalam tubuh PBNU selama ini, namun harus diakui bahwa itulah upaya Gus Yahya sebagai pemimpin baru di NU untuk me-refresh kepengurusan PBNU serta ijtihad para kiai pimpinan PBNU untuk melakukan tajdid di tubuh jam’iyah Nahdlatul Ulama secara umum menjelang 100 tahun umurnya. Sehingga kepengurusan baru bukan sekadar pengurusnya yang berwajah baru, tapi juga semangat serta gelora berjamiyah yang baru. 


Pada umumnya, penentangan keikutsertaan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU muncul dengan melihat dan mempertimbangkan dua sisi. Pertama; mengakomodir kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU dianggap melanggar tradisi dan kebiasaan NU yang sudah dianggap baik dan mapan.


Kedua; kecurigaan atas pelanggaran atas doktrin fiqih NU tentang ikhtilathur rijal wan nisa’, yakni bercampurnya secara lahiriyah antara kaum laki-laki dan perempuan yang jelas diharamkan dalam hukum empat mazhab fiqih Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya fiqih Syafi’i yang dipegangi mayoritas warga NU. Padahal jika dikaji lebih dalam, ikhtilath (percampuran) kaum laki-laki dan perempuan tersebut bukanlah bersifat lahiriyah, tapi sekadar pada nama dalam SK kepengurusan PBNU.


Berdasarkan dua alasan tersebut, partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU dianggap suatu hal yang ‘terlarang’ dalam pandangan fiqih oleh sebagian orang. Minimal dianggap tak patut dan tidak elok (khilaful awla) dilakukan oleh organisasi muslim terbesar di dunia sekelas NU yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam di Indonesia, di mana fiqih sebagai etika agama maupun etika sosial dijadikan rujukan utama NU. Namun, sebenarnya bagaimanakah landasan dan kajian manhajiyah Aswaja NU dalam memandang persoalan tersebut? 

 


Landasan Ushuliyah

Harus diakui bahwa memasukkan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU adalah hal yang sama sekali baru. Ijtihad tersebut dilandasi pada kebutuhan NU pada saat ini yang harus mengakomodir perempuan dalam peran-peran publik sekaliber tugas untuk mengemban amanat berat menjadi pengurus besar Nahdlatul Ulama. Dan itu dilakukan sebagai bentuk penghargaan NU atas hak-hak kaum perempuan yang selama ini menjadi bagian dari konsen perjuangan NU itu sendiri. 


Sebagai ormas Islam terbesar di dunia, NU sangat perlu untuk menampakkan keberpihakan dan pembelaan terhadap hak-hak kaum perempuan pada dunia untuk menghilangkan stigma dan stereotip negatif bahwa kaum perempuan di dalam jam’iyah NU hanya dijadikan sebagai ‘konco wingking’ saja.


Sebenarnya perjuangan terhadap pembelaan hak-hak kaum perempuan tersebut sejak awal sudah dilakukan NU. Hasilnya, bukan hanya kader-kader Fatayat dan Muslimat yang terbukti punya peran besar dalam dunia publik bahkan politik di mana banyak dari kader tersebut berhasil menjadi kepala daerah dari tingkat kabupaten, gubernur hingga menteri.


Realita banyaknya kaum perempuan NU yang menjadi pengasuh pesantren-pesantren NU dalam menghasilkan kader-kader santri, serta banyaknya para bu nyai di NU yang bertugas untuk memimpin jamaah NU juga menjadi bukti lain bahwa kaum perempuan di NU bukan hanya menjadi subordinat kaum laki-laki. Tetapi mereka juga peran besar dalam upaya melakukan transformasi sosial dan budaya serta pemberdayaan terhadap masyarakat secara langsung dan nyata. 


Ada tiga landasan ushuliyah yang bisa diajukan untuk melegitimasi atas ijtihad para kiai pemimpin NU untuk mengakomodir kaum perempuan di dalam kepengurusan PBNU saat ini. 


Pertama, landasan manhaj istishab. Secara lughah, istishab berarti menetapi hukum asal. Otoritas manhaji ini digunakan para ulama untuk menyikapi realitas persoalan fiqhiyah yang terjadi ketika doktrin teks tidak pernah secara tegas menjelaskan secara implisit maupun eksplisit atas hukum larangan ataupun perintahnya.


Dalam arti lain, realitas persoalan fiqhiyah yang terjadi tersebut tidak pernah ditentang syari’ah karena tidak ada sama sekali doktrin dalil naqli yang melarangnya, juga tidak pernah diperintahkan syari’ah karena tidak ada otoritas teks yang memerintahkan, baik dalam doktrin teks al-Quran maupun Sunnah Rasulullah Saw. 


Dengan demikian untuk menyikapi realita persoalan fiqih tersebut, para ulama dituntut untuk berijtihad dengan menggunakan logika asal muasal dari hukum syari’ah; bahwa asal dari segala hal yang tidak dibicarakan oleh Syari’ di mana otoritas utamanya dipegang langsung oleh Allah melalui doktrin teks al-Quran maupun Rasulullah Saw melalui doktrin as-sunnah adalah boleh, berdasarkan kaidah “al-aslu fil asyya’ al-ibahah” (asal hukum segala hal adalah mubah). 


Harus diakui, partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan keorganisasian seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah suatu hal yang baru, di mana otoritas teks al-Quran maupun doktrin as-Sunnah tidak pernah membicarakan keharamannya maupun kehalalannya.


Dengan begitu dalam logika hukum asal muassal syari’ah, sikap diamnya syari’ (Allah dan Rasulullah) ini jelas menunjukkan kebolehan. Jika ditentang, pasti syari’ah akan mengharamkannya, dan jika diperintahkan pasti syari’ah akan mewajibkannya. Namun realitanya tidak demikian sehingga realita hukum keikutsertaan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU ataupun organisasi lainnya dalam otoritas syariah adalah diperbolehkan. 


Kedua; landasan istishlah atau maslahah mursalah. Otoritas manhaji ini digunakan para ulama berdasarkan logika munasib dalam syari’ah. Munasib adalah otoritas dan doktrin dasar dalam syari’ah yang meletakkan tiga pilar maqashidus syari’ah sebagai tujuan utama; yaitu (1) jalbun naf’i (menarik manfaat), (2) daf’un dharar (menolak mudharat) dan yang (3) raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan manusia).


Prinsip jalbun naf’i’ terimplementasikan dalam perintah-perintah syari’ah karena tidak ada satu pun hal yang diperintahkan syari’ah dalam otoritas Islam manapun melainkan pasti di dalamnya ada kemanfaatan bagi umat.


Manakala prinsip daf’ud dharar terejawantah dalam larangan-larangan syari’ah di mana tak ada satu pun larangan dalam syari’ah melainkan pasti ada mudharat dan mafsadah bagi umat.


Pun prinsip raf’ul haraj, merupakan salah satu bentuk moderatisme Islam dalam memberlakuan syari’ah agar syari’ah sebagai aturan baku dalam agama bisa diaplikasikan dengan baik oleh umat. Sehingga segala hal yang menyulitkan dalam pemberlakuan syari’ah karena faktor tuntutan keadaan harus diupayakan untuk diringankan, berdasarkan kaidah “idza dhaqal amru ittasa’a”. 


Dalam konteks prinsip munasib sebagai tujuan pemberlakuan syari’ah itulah partisipasi kaum perempuan dan para bu nyai dalam kepengurusan PBNU patut dikaji dan dipertimbangkan dengan baik dalam konteks kemanfaatan dan kemudharatannya serta upaya untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan yang melanda umat.


Dalam aspek kemanfaatan (jalbun naf’i), partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU adalah satu hal yang positif, baik dan jelas sangat bermanfaat. Sebab kebijakan tersebut bertujuan untuk memberikan penghargaan terhadap perjuangan para bu nyai dan kader perempuan di NU yang selama ini telah berhasil dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat, khususnya upaya mereka dalam ‘ngrumat dan ngramut’ jamaah dan santri NU. Baik dalam peran-peran mereka sebagai bunyai di pesantren untuk mencetak generasi santri NU, maupun peran-peran mereka sebagai pengasuh pengajian di jamaah Muslimat dan Fatayat NU untuk mencetak kader-kader perempuan NU yang berkualitas dalam jamiyah NU. 


Manakala dalam aspek kemudharatan (daf’ud dharar), dapat dipastikan bahwa mengakomodir kaum perempuan di dalam kepengurusan PBNU bukanlah hal yang mudharat dan mafsadah secara nyata, kecuali adanya pandangan negatif beberapa kalangan yang tidak siap dalam menerima hal yang baru sehingga hal tersebut dianggap suatu yang tabu.


Namun seiring dengan perjalanan waktu, dapat dipastikan bahwa kemanfaatan besar untuk mengakomodir kaum perempuan dalam pengurus besar NU pasti akan menghapus stereotip negatif tersebut. 

Adapun kekhawatiran terjadinya ikhtilath kaum laki-laki dan perempuan juga tidak perlu menjadi kekhawatiran yang berlebihan, mengingat NU sebagai organisasinya para kiai pasti akan selalu menjaga prinsip moralitas syariah dan tetap menjunjung tinggi etika fiqih sebagai pijakan amaliyah dan harakahnya dalam mengharamkan adanya ikhtilath lahiriyah tersebut. 


Ketiga; landasan ‘kebutuhan umum’ sebagai manhaj dan dalil syari’ah. Dalam kajian manhaji mazhab Hanafi, celah mencari hukum berdasarkan kebutuhan umum ini diformulasikan dalam kaidah istihsan. Namun dalam kajian mazhab Syafi’i, legislasi hukum Islam yang didasarkan pada kebutuhan umum ini diformulasikan dalam kaidah fiqhiyah “al-hajah al-‘ammah tanzilu manzilatad dharurah”, bahwa kebutuhan umum yang terjadi secara nyata dalam masyarakat, senyampang masih maslahah bagi masyarakat dan sahih dalam pandangan syari’ah dengan tidak menghalalkan yang haram, merupakan hal yang baik dan bisa diakomodir dalam legislasi hukum Islam. Sebab kebutuhan umum merupakan bagian dari kondisi kedaruratan dalam syari’ah.


Al-hajah al-‘ammah tersebut dalam analisis para ulama salaf dikategorikan pada tiga tuntutan kondisi;


(1) Tuntutan sosial akibat perubahan zaman. Hal ini seperti dalam kasus tuntutan atas kebutuhan ketersediaan bank konvensional dalam sistem perekonomian modern, sehingga mustahil bank konvensional dalam konteks kekinian diharamkan karena kebutuhan masyarakat dunia atas kehadiran bank konvensional jelas mengalahkan kajian-kajian tekstual atas keharaman bank yang dipersepsikan sebagai bagian dari praktek riba.


Praktik jual beli online yang sekarang menjadi kebutuhan umum juga merupakan contoh lain dari kategori tuntutan sosial yang pertama ini. 


(2) Tuntutan tradisi akibat perbedaan tempat pemberlakuan syari’ah. Hal ini seperti dalam kasus tuntutan pentingnya mengakomodir tradisi-tradisi lokal di Nusantara seperti selametan serta ritual keagamaan lainnya dalam tradisi masyarakat NU yang tidak ditemukan di belahan dunia Islam yang lain.


Sebab jika tradisi tersebut dihilangkan justru akan mengakibatkan kesulitan dan kemudharatan. Itulah sebabnya para ulama NU lebih banyak memilih untuk melestarikan tradisi dan budaya tersebut dengan pola modifikasi, konversi maupun asimilasi agar tradisi tersebut tetap bernilai Islami. 


(3) Tuntutan sosial dan tradisi secara bersamaan.


Pada kategori ketiga inilah ijtihad kiai NU untuk mengakomodir kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU menemukan urgensinya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa modernitas saat ini telah menuntut adanya peran kaum perempuan lebih luas dalam dunia publik meski tidak boleh melupakan peran utamanya dalam dunia domestik.


Dan kondisi ini telah menjadi bagian penting dari tradisi kita di Nusantara puluhan tahun lamanya, terlebih dalam kondisi modern saat ini. Terbukti, partisipasi kaum perempuan dalam perekonomian nasional justru lebih dominan dibanding kaum laki-laki dengan banyaknya pegawai dan kaum buruh dari kelompok yang dianggap sebagian kalangan hanya sebagai ‘konco wingking’ ini. 


Pun dalam peran-peran sosial masyarakat, tidak sedikit saat ini kaum perempuan yang memiliki kemampuan untuk memegang kepemimpinan sosial dan politik dalam masyarakat, entah menjadi lurah, camat hingga bupati.


Terlebih di dalam jamiyah NU, di mana kita secara nyata menemukan realitas bahwa bukan hanya kiai yang saat ini menjadi pengawal agama dan pemimpin keagamaan masyarakat. Tetapi juga para bu nyai yang menjadi pemimpin bagi masyarakat dan jamaah NU dengan ribuan pengikut, serta kader-kader Muslimat dan Fatayat NU yang saat ini banyak memegang jabatan publik seperti bupati, gubernur hingga menteri.


Inilah realita yang menuntut NU sebagai ormas dakwah dan fokus untuk melakukan pemberdayaan pada masyarakat untuk tidak lagi memandang remeh terhadap peran kaum perempuan dalam proses transformasi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Sehingga mengakomodir kaum perempuan, khususnya para bu nyai Nusantara dalam kepengurusan PBNU dengan pertimbangan atas peran penting mereka dalam sosial dan keagamaan dalam jamiyah NU adalah kebutuhan mendesak agar stereotip negatif atas posisi kaum perempuan dalam kehidupan sosial yang sering kali digambarkan negatif dan bias menjadi hilang.

 


Penutup

Ijtihad para ulama dan para kiai NU dalam persoalan furu’iyah memang bukanlah suatu hal yang memiliki kebenaran mutlak. Sehingga ruang perdebatan pasti akan selalu ada, karena kebenaran yang sesungguhnya hanya menjadi otoritas Allah SWT. 


Pun dalam persoalan diakomodirnya kaum perempuan dan para bunyai nusantara dalam kepengurusan PBNU periode 2022-2027 saat ini jelas membuka ruang ikhtilaf. Namun, sebagai santri, kita patut untuk menerima dan mengapresiasi ijtihad para pimpinan jamiyah Nahdlatul Ulama tersebut dengan pikiran terbuka dan lapang dada. Bukankah santri harus nderek kiai? 


Terlebih, jika kita bicara tentang otoritas agama, perdebatan apapun dalam fiqhiyah maka keputusan mutlak pemberlakuannya adalah kembali kepada para pemegang otoritas tersebut. Dan otoritas itu kini dipegang oleh para kiai NU yang menjadi bagian dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.


Di sinilah pentingnya kita sebagai warga NU untuk selalu husnuzhan kepada para ulama dan kiai yang menjadi pemimpin kita, karena mustahil beliau-beliau mengabaikan otoritas fiqih Ahlus Sunnah yang selalu berujar “tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyah manuthun bil maslahah”. Maka yakinlah, bahwa ijtihad itu adalah untuk kemaslahatan NU dan warga NU. 


KH Abu Yazid AM, Katib Syuriyah PBNU 2022-2027.