Syariah

Teknis Shalat di Atas Kendaraan saat Bepergian

Sel, 28 Maret 2023 | 06:00 WIB

Teknis Shalat di Atas Kendaraan saat Bepergian

Ilustrasi: perjalanan (freepik).

Untuk melakukan suatu pekerjaan ataupun kepentingan, sebagian kalangan memilih alat transportasi publik seperti kereta api, bus, kapal, dan pesawat terbang. Transportasi publik menjadi pilihan banyak orang sebab selain harganya yang relatif murah juga dapat diakses dengan mudah bagi mereka yang hendak melakukan suatu perjalanan. 
 

Meski begitu, sejumlah problematika muncul, yakni tatkala masuk waktu shalat. Banyak di antara penumpang yang masih kebingungan perihal teknis pelaksanaan shalat yang benar di atas kendaraan. Kebanyakan di antara mereka melaksanakannya dengan cara duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya, seolah dirinya sedang melakukan perpindahan rukun shalat yang dilakukannya. Bahkan ada pula yang langsung berdiri melaksanakan shalat di tengah-tengah bus, kereta, atau pesawat meski itu merupakan jalur umum yang dilalui oleh para penumpang. 
 

Selain melakukan kedua praktik shalat tersebut, tak jarang ditemukan pula penumpang yang lebih memilih berniat untuk mengqadha' shalat di rumahnya masing-masing, mereka beranggapan bahwa shalat di atas kendaraan cukup ribet dan tidak praktis.
 

Lantas bagaimanakah sikap yang tepat dan teknis pelaksanaan shalat di atas kendaraan yang sesuai fiqih?
 

Dalam Islam, shalat merupakan ibadah serta kewajiban bagi seorang mukallaf yang tidak dapat gugur selama akalnya masih dianggap normal. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh pakar fiqih kenamaan asal Suriah Syekh Dr Wahbah Az-Zuhaili (wafat 2015 M) dalam ensiklopedi fiqihnya:
 

وَلاَ تَسْقُطُ الْصَّلاَةُ حِيْنَئِذٍ عَنِ الْمُكَلَّفِ، مَا دَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا، لِقُدْرَتِهِ عَلَى أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ، مَعَ الْإِيْمَاءِ بِطَرْفِهِ أَوْ بِدُوْنِهِ، وَلِعُمُوْمِ أَدِلَّةِ وُجُوْبِ الْصَّلاَةِ

 

Artinya: “Dan kewajiban shalat ini tidak bisa gugur dari seorang mukallaf selama akalnya masih berfungsi, sebab ia masih mampu untuk berniat dengan hatinya, disertai memberikan isyarat dengan anggota tubuh atau selainnya. Juga karena keumuman dalil wajibnya shalat.” (Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, [Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir], juz II, halaman 830). 
 

Karenanya, tatkala dihadapkan pada kondisi apa pun dan di mana pun, kewajiban shalat tetap berlaku. Tak terkecuali saat bepergian dengan jarak tempuh yang relatif jauh.
 

Lalu bagaimana cara yang tepat melakukan shalat di atas kendaraan?
 

Dalam literatur fiqih dijelaskan, teknis shalat dalam kendaraan adalah dengan melaksanakan rukun dan syarat shalat secara sempurna, seperti menghadap kiblat, ruku’, sujud dan lain-lain apabila mampu serta mungkin dilakukan. Akan tetapi jika tidak mampu, maka boleh melaksanakan rukun dan syarat shalat semampunya, meskipun dengan isyarat dalam rangka shalat li hurmatil waqti (shalat dalam rangka menghormati waktu). Ketetapan demikian selaras dengan pernyataan pemuka mazhab Syafi’i Imam An-Nawawi (wafat 676 H): 
 

قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الإِعَادَةُ لأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ 
 

Artinya: “Ashab Syafi’i berkata, apabila waktu pelaksanaan shalat fardhu telah tiba sedangkan musafir dalam kondisi perjalanan, dan khawatir bila turun untuk shalat dengan menghadap kiblat tertinggal oleh rombongannya, khawatir terhadap keselamatan​​​​​ dirinya atau hartanya, maka dia tidak diperkenankan meninggalkan shalat dan mengeluarkan shalat dari waktunya. Bahkan, ia harus melaksanakan shalat di atas kendaraan li hurmatil waqti (dalam rangka menghormati waktu), dan wajib baginya untuk i’adah (mengulang kembali shalatnya) karena termasuk kategori uzur yang jarang terjadi.” (Syarafuddin Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz III, halaman 242). 
 

Senada dengan pendapat An-Nawawi perihal teknis shalat di atas kendaraan, ada keterangan menarik yang ditulis Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Kaff dalam kitabnya At-Taqriratus Sadidah:
 

وَإِذَا كَانَ يُصَلِّي فِي سَفِيْنَةٍ أَوْ قِطَارٍ وَمِثْلُهُ الْهَوْدَجُ وَالْمَرْقَدُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُتِمَّ رُكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ إِنْ سَهُلَ وَيَجِبُ عَلَيْهِ اِسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ فِي جَمِيْعِ الصَّلَاةِ إِنْ سَهُلَ عَلَيْهِ كَذَلِكَ، وَإِلَّا فَلَا يَجِبُ، وَمِثْلُ ذَلِكَ الصَّلَاةُ فِي الطَّائِرَةِ، فَتَجُوْزُ مَعَ الصِّحَّةِ صَلَاةُ النَّفْلِ، وَأَمَّا صَلَاةُ الْفَرْضِ إِنْ تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ أَثْنَاءَ الرِّحْلَةِ وَكَانَتْ الرِّحْلَةُ طَوِيْلَةً، بِأَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ الصَّلَاةَ قَبْلَ صُعُوْدِهَا أَوْ انْطِلَاقِهَا أَوْبَعْدَ هُبُوْطِهَا فِي الْوَقْتِ، وَلَوْ تَقْدِيْمًا أَوْ تَأْخِيْرًا، فَفِيْ هَذَا الْحَالَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ. وَفِيْهَا حَالَتَانِ:

  1. إِنْ صَلَّى بِإِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ: فَفِي وُجُوْبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ خِلَافٌ، لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الطَّائِرَةِ فِي الْأَرْضِ، وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ.
  2. وَإِنْ صَلَّى بِدُوْنِ إِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ أَوْ بِدُوْنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ مَعَ الْإِتْمَامِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِلَا خِلَافٍ
     

Artinya: “Apabila seseorang melaksanakan shalat di atas perahu, kereta api, begitu pula di atas tandu dan​​​​​​ kasur yang berada di atas hewan kendaraan dan sebagainya, maka ia wajib menyempurnakan rukuk dan sujudnya apabila mudah untuk dilakukan, dan wajib baginya untuk menghadap kiblat dalam seluruh shalatnya apabila mudah dilakukan. Apabila tidak, maka tidak wajib. Sama halnya dengan kasus di atas ialah shalat dalam pesawat terbang, maka boleh dan sah melakukan shalat sunnah. Adapun shalat fardhu yang hanya bisa dilakukan di tengah perjalanan jauh, dengan gambaran tidak mampu melakukan shalat sebelum lepas landas pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing) secara tepat waktu, meski dengan cara jama’ taqdim atau jama’ ta’khir, maka dalam keadaan tersebut ia wajib melakukan shalat untuk menghormati waktu dengan tetap menghadap kiblat. Dalam hal ini, terdapat dua kondisi:

  1. Apabila ia shalat dengan menyempurnakan rukuk dan sujud, maka dalam hukum mengulangi shalatnya terdapat perbedaan pendapat, dikarenakan pesawat tidak berpijak di atas bumi. Menurut pendapat mu’tamad ia wajib mengqadha' shalatnya.
  2. Apabila ia shalat dengan tidak menyempurnakan rukuk maupun sujudnya, atau tidak menghadap kiblat namun menyempurnakan rukunnya, maka ia wajib untuk mengqadha' shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat.” (Hasan bin Ahmad Al-Kaff, At-Taqriratus Sadidah fil Masailil Mufidah, [Surabaya: Dar Al-Ulum Al-Islamiyah], halaman 201).
 

Adapun mengenai kewajiban qadha' shalatnya, terdapat perincian sebagai berikut:
 

Apabila dapat menyempurnakan rukun dan syarat shalatnya, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Versi pendapat mu’tamad ia wajib menqadha' shalat tersebut. Sedangkan jika tidak bisa melaksanakan syarat dan rukunnya secara sempurna, seperti halnya tidak bisa menghadap kiblat dan selainnya, maka ulama sepakat wajib untuk mengqadha' shalatnya:
 

مَنْ خَافَ مِنْ نُزُوْلِهِ مَشَقَّةً شَدِيْدَةً أَوْ فَوْتَ رُفْقَةٍ يَتَوَحَّشُ بِفَوْتِهَا صَلَّى الْفَرْضَ رَاكِبًا بِحَسَبِ حَالِهِ وَهَلْ يُعِيْدُ؟ فِي التُّحْفَةِ يُحْمَلُ الْقَوْلُ بِالْإِعَادَةِ عَلَى مَنْ لَمْ يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ أَوْ لَمْ يُتَمِّمْ الْأَرْكَانَ وَقَالَ م ر صَلَّى وَأَعَادَهُ

 

Artinya: “Barangsiapa khawatir terjadi kepayahan ketika turun dari kendaraan, atau tertinggal dari rombongan, yang akan menyebabkannya berada dalam keresahan, maka ia shalat di dalam kendaraan semampunya. Apakah ia wajib mengulai shalatnya atau tidak? Di dalam kitab At-Tuhfah redaksi ulama yang mengatakan ‘wajib mengulangi shalat’, dipahami kewajiban tersebut bagi orang yang shalat tanpa menghadap kiblat atau tidak menyempurnakan rukun-rukunnya. Sedangkan Imam Ar-Ramli mengatakan: Ia melakukan shalat dan mengulangi shalat tersebut.” (Ali bin Ahmad Bashabirin, Ismidul Ainain fi Ba’dhi Ikhtilafis Syaikhain, [Surabaya: Al-Haramain], halaman 22).

 

Simpulan

Dari pelbagai referensi di atas dapat disimpulkan, teknis pelaksanaan shalat di atas kendaraan saat dalam bepergian yang sesuai fiqih ialah dengan melaksanakan rukun dan syarat shalat secara sempurna, seperti menghadap kiblat, ruku’, sujud dan lain-lain apabila mampu serta mungkin dilakukan. Namun, jika tidak mampu serta tidak mungkin dilakukan, maka ia diperkenankan untuk melaksanakan rukun dan syarat shalat semampunya meskipun hanya dengan isyarat, dalam rangka shalat li hurmatil wakti (shalat dalam rangka menghormati waktu).

 

Sedangkan terkait kewajiban qadha' shalatnya, terdapat pemilahan hukum:
 

Apabila ia dapat menyempurnakan rukun dan syarat shalatnya, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut pendapat mu’tamad ia wajib menqadha' shalat tersebut;  sedangkan jika tidak bisa melaksanakan syarat dan rukunnya secara sempurna, seperti halnya tidak bisa menghadap kiblat dan selainnya, maka ulama sepakat ia wajib mengqadha' shalatnya. Wallahu ‘alam bis shawab.



 

Ustadz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari, Alumni Ma’had Aly Lirboyo Kediri dan pegiat literasi pesantren