Syariah

Terlanjur Terima Uang Politik, Bagaimana Tasarufnya?

Kam, 8 Februari 2024 | 14:00 WIB

Terlanjur Terima Uang Politik, Bagaimana Tasarufnya?

Ilustrasi: uang - rupiah (freepik)

Sebenarnya telah jelas lewat fatwa MUI, NU melalui bahtsul masailnya dan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjihnya, demikian pula para kiai dan ustadz secara pribadi, menyatakan bahwa politik uang termasuk perbuatan haram, disamakan dengan riswah, diharamkan bagi pemberi dan penerimanya. 

 

Demikian juga dari aspek hukum positif, politik uang dilarang dan masuk tindak pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan sanksi pidana berupa kurungan penjara selama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta bagi pemberi dan penerimanya. 

 

Namun sudah menjadi rahasia umum jika setiap penyelenggaraan Pemilu baik tingkat nasional maupun tingkat daerah masih dikotori dengan politik uang.

 

Ironisnya persoalannya politik uang itu disukai dan dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat dan calon dalam praktek pelaksanaan pemilu. Dengan demikian harus dikemanakan uang yang sudah terlanjur diterima? Berikut penjelasannya. 

 

Dalam kacamata fiqih uang yang diperoleh dari politik uang disamakan dengan risywah hukumnya haram. Kemudian setelah jelas keharamannya maka bagi yang sudah terlanjur menerimanya tidak dapat memiliki dan menasarufkannya, melainkan harus mengembalikannya. 

 

Berikut urutannya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab

 
  1. Mengembalikan kepada pemilik atau wakilnya. Jika sudah meninggal maka menyerahkannya kepada ahli warisnya.
  2. Jika pemiliknya tidak diketahui maka hendaknya dialokasikan untuk kemaslahatan umum. 
  3. Disedekahkan kepada fakir miskin.
 

Adapun yang mengalokasinnya bukan dirinya sendiri melainkan qadhi. Jika qadhi tidak dapat dipercaya, maka diserahkan kepada orang yang dianggap cakap dalam urusan agama. 

 

Jika tidak juga ditemukan, maka baru ia dapat mengalokasikannya sendiri. Perlu diketahui harta haram yang diberikan kepada fakir statusnya menjadi halal.

 

Yang menarik, jika ternyata penerima juga seorang fakir, maka ia boleh mengalokasikan untuk dirinya dan keluarganya sendiri. 

وَلَهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ عَلَى نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ إذَا كَانَ فَقِيرًا لِأَنَّ عِيَالَهُ إذَا كَانُوا فُقَرَاءَ فَالْوَصْفُ مَوْجُودٌ فِيهِمْ بَلْ هُمْ أَوْلَى مَنْ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَهُ هُوَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ قَدْرَ حَاجَتِهِ لِأَنَّهُ أَيْضًا فَقِيرٌ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْغَزَالِيُّ 

 

Artinya, "Baginya diperbolehkan untuk menyedekahkan harta haram tersebut untuk dirinya sendiri dan keluarganya, jika dirinya fakir. Karena jika kelurganya fakir maka sifat fakir ada dalam diri mereka, bahkan keluarga yang fakir adalah orang yang paling utama untuk disedekahi. Dirinya diperbolehkan mengambil dari harta haram tersebut sekira kebutuhannya saja, karena ia juga seorang fakir. Ini adalah pendapat Al-Ghazali." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr], juz IX, halaman 351).

 

Demikian ketentuan tasaruf uang haram dalam kajian fiqih.
 

 

Perspekif Hukum Positif

Dalam hukum positif, menasarufkan uang haram dari money politik ke sektor kemaslahatan umum atau fakir miskin bisa jadi termasuk TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) atau money loundry sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 8/2010, yang menerangkan bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer, melakukan pengalihan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang maupun surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya dan patut diduga sebagai hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut dipidana atas tindak pidana pencucian uang tersebut. Pidana yang dikenakan terhadapnya yakni maksimal 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.

 

Dengan demikian uang suap politik yang secara fiqih statusnya adalah uang haram dan merupakan tindakan pidana dalam hukum positif, nampaknya yang benar secara fiqih dan hukum positif adalah dikembalikan kepada negara. Dalam bahasa fiqihnya, diserahkan kepada qadhi untuk kemudian ditasarufkan sesuai peruntukannya.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo