Tafsir

Tafsir Surat At-Tin Ayat 7 dan 8: Tanda Paling Jelas atas Kekuasan Allah Membangkitkan Manusia dari Alam Kubur

Sen, 19 September 2022 | 05:00 WIB

Tafsir Surat At-Tin Ayat 7 dan 8: Tanda Paling Jelas atas Kekuasan Allah Membangkitkan Manusia dari Alam Kubur

Kuburan, tempat manusia setelah kematian. Tafsir Surat At-Tin Ayat 7 dan 8.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat At-Tin ayat 7 dan 8:
 

 

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِۗ (7) اَلَيْسَ اللّٰهُ بِاَحْكَمِ الْحٰكِمِيْنَ(8)


(7) Fa maa yukadzibu kaba' dubiddin.(8) Alaisallahu ahkamil haakimiin.


Artinya, "(7) Maka apakah yang menyebabkan (mereka) mendustakan (tentang) hari pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?"; "(8) Bukankah Allah hakim yang paling adil?"


 

Ragam Tafsir Surat At-Tin Ayat 7 dan 8

Syekh Nawawi al-Jawi menjelaskan ayat "Fa maa yukadzibu kaba' dubiddin" dengan menyebutkan dua pendapat berbeda:
 

Pertama, 'ما' dalam ayat adalah isim istifham dengan maksud inkar dan ta'jub. Adapun khitabnya (ك) adalah manusia dengan jalan iltifat atau memalingkan (dari mukhatab satu ke banyak); sehingga maksudnya ayat adalah:
 

"Maka apa yang mendorongmu untuk mendustakan hari kebangkitan setelah jelasnya dalil yang mengatakan adanya hari pembalasan, wahai manusia. Sesungguhnya penciptaan manusia dari nutfah atau mani, membentuknya menjadi manusia yang sempurna, kemudian berubah dari sempurna menjadi kurang sempurna, merupakan dalil paling jelas atas kekuasaan Allah untuk membangkitkan manusia kembali dan memberi pembalasan. Maka barangsiapa yang menyaksikan hal tersebut namun tetap dalam pengingkarannya atas hari hasyr atau hari pengumpulan di akhirat setelah dibangkitkan dari kematian, maka tidak ada yang lebih mengherankan darinya."
 

Kedua, khitabnya untuk Rasullah Muhammad saw, sedangkan 'ما' adalah isim istifham atau bermakna 'من أي'. Maka maknanya adalah:
 

"Apa yang menjadikanmu Muhammad dianggap orang yang berbohong dengan mereka orang kafir tetap mengingkari atas adanya hari pembalasan setelah adanya bukti-bukti ini". Atau: "Siapa yang mendustakanmu wahai Rasul setelah jelasnya bukti-bukti ini". (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II halaman 455).
 

Dari kedua alternatif penafsiran di atas penafsira pertamalah yang dipilih kebanyakan mufasir seperti Jalaluddin al-Mahalli, dan Wahbah az-Zuhaili. Bahkan Abu Hayyan al-Alusi dalam tafsirnya Bahrul Muhit mengatakan penafsiran pertama adalah penafsiran Juhmur atau mayoritas mufasir, yakni khitabnya ayat (ك) adalah al-insan atu manusia.
 

Kemudian Allah menyebutkan ayat berikutnya, ayat 8 "Alaisallahu ahkamil haakimiin", sebagai penguat apa yang telah disebutkan. Syekh Mustafa al-Maraghi menjelaskan ayat ini: "Bukankah Allah hakim yang paling adil dalam penciptaan dan pengaturan-Nya?. karena itu Allah meletakkan ganjaran pahala atau pembalasan untuk manusia supaya derajat kemuliaannya terjaga, sebagaimana telah disiapkan sejak penciptaannya. 
 

Kemudian Allah menurunkan derajat luhurnya pada derajat yang rendah sebab kebodohan dan buruknya pemikirkan dan pertimbangannya. Karena itu, Allah mengutus Rasul-Nnya untuk memberi kabar gembira dan peringatan. Bersamaan dengan itu, Allah menurunkan syariat supaya para rasul menjelaskan kepada manusia dan mengajak mereka untuk menetapi syariat tersebut, karena belas kasih-Nya kepada mereka. (Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Matba'ah Musthafa al-Babil Halabi: 1365H/1946M], jus XXX, halaman 196).
 

Kesunahan di Akhir Surat At-Tin

Terakhir, disunahkan bagi siapa saja yang membaca atau mendengar bacaan surat at-Tin sampai selesai baik di dalam shalat ataupun di luar shalat untuk menjawabnya dengan ucapan:
 

بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ
 

Artinya, "Iya, benar. Saya menyaksikan bahwa Allah adalah Zat yang paling bijaksana."
 

Kesunahan membaca jawaban akhir surah At-Tin ini juga menjadi fatwa Imam An-Nawawi kitabnya At-Tibyan sebagai berikut:
 

ومنها أنه يستحب له أن يقول ما رواه أبو هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه قال من قرأ والتين والزيتون فقال أليس الله بأحكم الحاكمين فليقل بلى وأنا على ذلك من الشاهدين
 

Artinya, “Di antaranya, disunahkan membaca apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda: ‘Barangsiapa membaca ‘wattini wazzaitun’ kemudian membaca ‘alaisallaahu bi-ahkamil hakimin’ maka ucapkanlah ‘bala wa ana ‘ala dzalika minasy syahidin”. Wallahu a'lam  (Muhyiddin Yahya bin Syarof An-Nawawi, At-Tibyan Fi Adabi hamalati Al-Qur’an, [Bairut, Dar Ibnu Hazm: 1414 H], halaman 121).
 

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo