Tafsir

Tafsir Surat At-Tin Ayat 4-6: Kesempurnaan Manusia dan Titik Terendahnya

Ahad, 18 September 2022 | 05:00 WIB

Tafsir Surat At-Tin Ayat 4-6: Kesempurnaan Manusia dan Titik Terendahnya

Merenugkan kesempurnaan manusia dan titik rerendahnya dalam tafsir Surat At-Tin ayat 4-6.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemah, sababun nuzul dan sejumlah tafsir ulama atas surat At-Tin ayat 4-6 tentang kesempurnaan manusia dan titik terendahnya:


لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)


(4) Laqad khalaqnal insaanafii ahsanitaqwiim.(5) Summaradadnaahu asfala safiilin. (6) Illalladziina 'aamanuu wa 'amilusshoolihaati falahum ajrun ghairumamnuun.


Artinya, "(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (5) Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putusnya".
 


Sababun Nuzul

Sebab turun ayat 5 disampaikan Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
 


أخرج ابن جرير عن ابن عباس في قوله: ثُمَّ رَدَدْناهُ أَسْفَلَ سافِلِينَ قال: هم نفر، ردوا إلى أرذل العمر، على عهد رسول اللَّه صلّى اللَّه عليه وسلّم، فسئل عنهم حين سفهت عقولهم، فأنزل اللَّه عذرهم، أن لهم أجرهم الذي عملوا، قبل أن تذهب عقولهم
 


Artinya, "Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam firman Allah: "Summaradadnaahu asfala safiilin". Ibnu Abbas berkata: 'Mereka adalah sekelompok orang yang dikembalikan pada umur paling lemah (pikun) di masa Rasulullah. Mereka ditanya takkala akalnya menjadi lemah dan bodoh (pikun). Oleh karena alasan mereka, kemudian Allah menurunkan (ayat ini), bahwa tetap bagi mereka pahala, seperti pahala amal mereka sebelum  hilangnya akal". (Wahbah bin Mustafa az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 304). 
 


Ragam Tafsir Surat At-Tin Ayat 4-6

Setelah Allah bersumpah dengan empat (4) hal, yaituat-Tiin, az-Zaitun, Thuurisiiniin dan al-Baladil amiin, sebagaimana ayat 1-3, ayat 4 merupakan jawab sumpah-Nya, bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik dan seindah-indahnya bentuk. Tegak lurus perawakannya, serasi anggota tubuhnya, indah struktur tubuhnya, makan dengan tangan, dan dapat membedakan (baik dan buruknya segala sesuatu) dengan ilmu, pikiran, dan ucapannya. Singkatnya, Allah menciptakan manusia dengan bentuk terbaik sebagaimana dikatakan mayoritas mufasir.
 


Berkaitan ayat 5 "asfala safiilin", ada dua alternatif penafsiran. Pertama, dikembalikan pada umur paling lemah, yakni pikun dan lemahnya akal setelah masa muda dangan pikiran yang kuat. Maka, dengan kedaan itu amal kebaikannya tidak lagi dicatat. Kedua, dikembalikan pada tempat yang paling rendah, yakni neraka.
 


Dengan demikian maka ayat 6: "Illalladziina 'aamanuu wa 'amilusshaalihaati falahum ajrun ghairumamnuun", jika mengikuti pendapat pertama, maka istisna'nya munqati' (istisna’ yang mustasna'nya berlainan jenis dengan mustasna minhu), sehingga maknanya: "Kemudian Kami kembalikan pada keadaan yang serendah-rendahnya setelah bagusnya wajah, yakni dibalikkan keadaannya dengan bengkoknya punggung (bungkuk), lemah pengelihatan dan pendengarannya. Akan tetapi orang-orang pikun yang saleh, baginya pahala terus-menerus  yang tidak ada putusnya."
 


Pendapat ini yang diamini Jalaluddin al-Mahalli sebagaimana dalam tafsirnya, Tafsir Jalalain. Syekh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya bekata bahwa pendapat ini adalah pendapat yang rajih atau ungguh menurutnya.
 

 

Adapun jika mengikuti pendapat kedua, maka istisna'nya muttashil, (istisna’ yang mustasnanya sejenis dengan mustasna minhu), dari dhamir pada ayat "radadnahu", sehingga maknanya adalah "Kemudian kami kembalikan pada keadaan yang serendah-rendahnya yakni lebih jelek dari yang jelek, dan lebih rendah dari yang paling rendahnya tingkatan ahli neraka, kecuali orang-orang saleh tidak kami kembalikan ke tempat paling rendahnya orang-orang rendah". (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 455).
 

 

Abu Hayyan dalam tafsirnya menyebutkan hadis sebagai penguat penafsirannya sebagai berikut:
 


وَفِي الْحَدِيثِ: إِذَا بَلَغَ مِائَةً وَلَمْ يَعْمَلْ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِي صِحَّتِهِ وَلَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ سَيِّئَةٌ. وَفِيهِ أَيْضًا: إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا رُدَّ لِأَرْذَلِ الْعُمُرِ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِي قُوَّتِهِ
 


Artinya, "Dijelaskan dalam hadits: "Jika seseorang umurnya telah mencapai 100 tahun dan ia tidak beramal, maka amalnya dicatat seperti amal yang ia kerjakan semasa sehatnya, serta tidak dicatat kesalahan dan dosanya".  Dalam hadis lain dijelaskan juga: "Sesungguhnya orang mukmin jika ia dikembalikan pada umur yang paling lemah (pikun) akan dicatat baginya amal yang dikerjakan saat dalam keadaan kuatnya". Wallahu a'lam. (Abu Hayyan Al-Andalusi, Al-Bahrul Muhit, [Bairut, Darul Fikr:1420 H], juz X, halaman 504).

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo