Tasawuf/Akhlak

Bolehkah Berdoa Hal yang Mustahil, Seperti Terhindar dari Covid-19 Tanpa Waspada?

Rab, 20 Mei 2020 | 13:45 WIB

Bolehkah Berdoa Hal yang Mustahil, Seperti Terhindar dari Covid-19 Tanpa Waspada?

Hanya Allah yang berhak mengubah hukum kausalitas pada orang-orang tertentu untuk memperkuat dakwah mereka, bukan karena nafsu manusia biasa.

Ada yang tanya: bolehkah kita berdoa (meminta) agar hal yang mustahil terjadi? Contoh: doa agar bisa terbang. Jarak yang seharusnya memakan waktu satu jam, kita meminta (berdoa) agar bisa menempuhnya hanya 20 menit. Dan lain-lain.

Jawab:
Dalam berdoa tidak boleh “kurang ajar” terhadap Allah. Abdullah bin Mughaffal pernah mendengar putranya berdoa seperti berikut:

اللهم إني أسألك القصر الأبيض عن يمين الجنة إذا دخلتها . فقال: أي بني سل الله الجنة ، وتعوذ به من النار ، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إنه سيكون في هذه الأمة قوم يعتدون في الطهور والدعاء

Artinya, “Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu istana putih di sebelah kanan di dalam surga, jika aku masuk surga.”

Ibnu Mughaffal lantas berkata, “Hai anakku. Mintalah kepada Allah surga dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka. Sungguh aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Nanti pasti akan ada dari umatku orang-orang yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa,’” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Contoh sikap “kurang ajar” dalam doa adalah meminta hal-hal yang mustahil, seperti minta bisa terbang, kembali menjadi muda, dan lain-lain.

Namun ada pengecualian, seperti: 

1. Doanya para nabi. Mereka punya hak untuk meminta hal-hal yang di luar kebiasaan (khariqul adat), karena mereka membutuhkan mukjizat untuk mendukung dakwah mereka. Sebagian ulama juga memasukkan para wali dalam pengecualian ini. Ada wali yang diberikan anugerah (karamah) sehingga sesuatu yang di luar kebiasaan bisa terjadi karena doa mereka.

2. Orang yang dalam kondisi sangat darurat, seperti berada di dalam hutan, kemudian berhadapan dengan segerombolan macan. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh berdoa memiliki kekuatan luar biasa hingga mampu melawan gerombolan macan. Atau, minta diselamatkan dengan menghilang. Soal dikabulkan atau tidak, itu hal lain.

Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ Al-Fatawa, menyatakan, “Kurang ajar dalam berdoa adalah seperti orang meminta tetap hidup abadi sampai hari kiamat; meminta pertolongan untuk melakukan maksiat (contoh: berdoa agar bisa korupsi tapi selamat, tidak tertangkap pihak yang berwenang, dan lain-lain); meminta agar dirinya bisa hidup tanpa makan dan minum; meminta agar bisa melihat hal-hal gaib (seperti surga dan neraka); meminta agar dirinya menjadi orang yang tidak pernah salah dan berdosa (ma’shum); minta punya anak tanpa berhubungan badan. Doa-doa seperti ini merupakan sikap kurang ajar terhadap Allah. Allah tidak suka doa seperti itu dan Allah tidak suka pada orang yang berdoa seperti itu.” (15/22).

Alauddin Al-Hashkafi Al-Hanafi, dalam Kitab Ad-Durr Al-Mukhtar (halaman 73), menyatakan, “Haram hukumnya orang berdoa agar dirinya selalu sehat sepanjang umurnya; berdoa agar bisa mendapatkan makanan yang diturunkan dari langit.”

Dalam Kitab Hasyiyah Ad-Durr Al-Mukhtar (1/522), Ibnu Abidin mengutip pendapat beberapa ulama yang menyatakan haram berdoa untuk terjadinya hal-hal yang mustahil kecuali doa itu dipanjatkan oleh nabi atau wali.

Dalam Kitab Al-Furuq, Abul Abbas Ahmad bin Idris Ash-Shanhaji Al-Qurafi Al-Maliki menyatakan, "Haram hukumnya berdoa agar hal-hal mustahil bisa terjadi kecuali bagi para nabi karena mereka memiliki hak untuk meminta hal-hal yang luar biasa (khariqul adat), seperti meminta makanan turun dari langit dan unta keluar dari batu. Begitu pula halnya dengan wali. Dia boleh berdoa untuk terjadinya hal-hal yang luar bisa. Bagi para nabi dan para wali, berdoa seperti itu bukan merupakan kekurangajaran terhadap Allah.” (4/268).

Prinsipnya, manusia biasa tidak boleh berdoa untuk hal-hal yang mustahil, seperti doa Nabi Ibrahim AS meminta agar diperlihatkan bagaimana Allah menghidupkan orang mati (Surat Al-Baqarah ayat 260); doa Nabi Musa AS meminta agar dia bisa melihat Allah (Surat Al-Araf ayat 143); doanya Nabi Isa AS meminta makanan turun dari langit (Surat Al-Maidah ayat 114); meminta didatangi oleh malaikat agar sang malaikat mengabarkan apa-apa yang terjadi di alam gaib; tidak boleh meminta agar orang tuanya (sudah meninggal dunia) hidup lagi.

Allah menetapkan segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum sebab-akibat (kausalitas). Hanya Allah yang berhak mengubah hukum kausalitas pada orang-orang tertentu untuk memperkuat dakwah mereka, bukan karena nafsu manusia biasa.

Nah, menghadapi wabah virus Corona, orang yang tidak taat pada aturan kesehatan, tetapi selalu berdoa agar dirinya terlindung dari virus Corona, apakah termasuk orang kurang ajar terhadap Allah? Tanyakan dirimu sendiri. Wallahu a’lam.
 

KH M Taufik Damas Lc., Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta